JEJAKMU TAK PERNAH MENYEBERANG
(Mengenang Figur Romo Dominikus Balo)
Betapa tidak mudahnya ketika saya harus memulai menulis sesuatu tentang ROMO Domi Balo, sebagai senior, kakak, dan sahabat dalam imamat. Bukan karena tidak dekat dengannya dalam jarak tempat, jarak rasa, dan kurang mengenalnya. Tetapi terlebih karena alasan ini: saya harus memulainya dari mana dan tentang apa yang harus saya tulis terhadap figur dengan pengalaman karya yang luas, figur dengan latar belakang hidup dan karya hampir sempurna dalam empat generasi peradaban: generasi Orde Lama, generasi Orde Baru, generasi Reformasi, dan generasi Ledakan Teknologi Informasi atau generasi Milenial saat ini dalam setengah perjalanan Romo Domi.
Oleh karena itu, catatan mengenang figur Romo Domi, saya batasi pada lokus kebersamaan di lembaga pendidikan calon imam Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko, di mana Romo Domi berkarya terakhir selama kurang lebih 18 tahun. Dalam konteks karya, peran, dan tanggung jawabnya di lembaga ini, saya melihat Romo Domi, sebagai figur yang sungguh memberi warna bagi pendidikan seminari. Karena itu, ketika saat ini ia harus pergi menghadap Sang Khalik, saya memilih judul di atas: Romo Domi, Jejakmu Tak Pernah Menyeberang, untuk mengenang jejak-jejak kehadiran dan karyanya di lembaga ini.
Ada dua alasan mendasar untuk mengatakannya dengan judul dimaksud. Pertama, Romo Domi dengan karya-karyanya yang spektakuler, yang saat ini menjadi referensi lembaga dan para pengelola dalam membangun pendidikan calon imam. Pada poin ini, terdapat sejumlah hal yang bisa disebutkan.
1. Sesudah perayaan Intan, 75 tahun Seminari pada tahun 2004, Romo Domi menjadi ketua tim penyusun buku Pedoman Pembinaan Calon Imam. Buku pedoman ini, termasuk buku yang sangat lengkap dari segi Isi, Metode, dan Aplikasinya. Karena itu buku ini memuat hal-hal khas Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu – Mataloko seperti : tentang Nama, Pelindung Seminari, arti Logo Seminari, Visi, Misi, Komitmen, Profil para seminaris sebagai calon peserta bina dan profil lulusan, Asas-asas, Prinsip dan Isi Pembinaan, Materi Dasar Pembinaan, Lingkungan Pembinaan, Pelbagai Komponen Pembina, Pelbagai Sarana Penunjang, serta Peraturan dan Tata Tertib Sekolah dan Asrama.
Buku pedoman dengan isi yang sangat lengkap ini, tercatat di lembaga ini sebagai buku pedoman pertama yang disusun dengan mengadopsi dari berbagai sumber semenjak seminari ini didirikan. Karena itu pada awal pengantar buku ini ia menulis, “Baru untuk pertama kali inilah Seminari kita mengeluarkan sebuah Buku Pedoman Pembinaan Para Calon Imam, sebagai perwujudan kenekatan kita bersama dalam rangka merayakan 75 tahun seminari kita, yang berpuncak pada tanggal 15 September 2004 yang lalu.”
2. Sebagai guru dan pendidik para calon imam yang mengasuh mata pelajaran bahasa Latin, Romo Domi, telah menerbitkan beberapa modul pembelajaran Bahasa Latin. Modul-modul ini dihasilkan dari dasar pengalaman mengelola pembelajaran bahasa Latin, di satu pihak; dan pada pihak lain Romo Domi berkeinginan agar bahasa Latin sebagai bahasa liturgi gereja ini, harus mempunyai tempat khusus di dalam sistem kurikulum seminari dan kurikulum nasional. Karena itu, ketika masih aktif mengajar sampai dengan 4 tahun yang lalu, Romo Domi sangat tidak puas dengan alokasi waktu mengajar Bahasa Latin yang sangat terbatas yaitu dua jam seminggu. Padahal, menurutnya, dan hal ini juga diamini oleh banyak orang yang pernah belajar bahasa Latin, bahasa Latin adalah pemicu membentuk nalar untuk berpikir kritis dan teliti, serta sebagai alat pembentuk humaniora dalam konteks ilmu-ilmu bahasa pada umumnya.
3. Pada Januari 2013, kami menggelar satu kegiatan yang kami sebut “Reorientasi Sekolah”. Disebut demikian karena sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2003, kami sudah melaksanakan Orientasi Sekolah. Reorientasi sekolah itu pada prinsipnya ingin kembali meninjau sejauh mana kami menghidupi Visi, Misi, dan Komitmen serta bergumul meramu Materi Dasar Pembinaan sesuai dengan dokumen gereja, “Optatam Totius” dan “Presbyterorum Ordinis,” tentang Pembinaan Calon Imam di lembaga pendidikan ini, yang sudah kami bahas dan temukan sepuluh tahun sebelumnya. Kami merasa bahwa setelah sepuluh tahun berada dalam bingkai pendidikan seminari, ada banyak hal yang menguap hilang dalam rutinitas kami mengelola pendidikan. Selain itu, perubahan zaman pada umumnya, dan tuntutan kurikulum nasional pada khususnya, memang menuntut kami untuk menyesuaikan diri demi menjawab kebutuhan subjek bina dan subjek didik.
Berhadapan dengan tuntutan yang demikian, kami mencoba menjawab dalam bentuk dialog tanya jawab di antara kami para formator. Ada yang bertanya tentang tantangan riil yang dialami dan perlu dirumuskan secara konkret sehingga bisa mencari solusi. Ada yang meminta resep manjur apa yang bisa ditawarkan agar pendidikan calon imam tetap aktual, kontekstual, dan selaras zaman. Banyak pendapat yang diajukan saat itu dengan narasi argumentasi yang kuat dan masuk akal. Tetapi ketika tiba saatnya berbicara, Romo Domi merangkum semua pendapat dan berdiri pada jalan tengah untuk menjembatani arus pikiran yang berkembang serta menjaga keseimbangan antara hal-hal baru yang harus diperhatikan dalam pendampingan siswa dengan ketentuan-ketentuan umum pedoman pembinaan calon imam. Untuk tidak mengurangi pendapat asli yang terekam dalam dokumen Reorientasi Sekolah yang dilaksanakan pda tanggal 25-27 Januari 2013, di sini saya mengutipnya apa adanya:
Dua tahun lalu, redaktur majalah Seminari, Florete, datang pada saya dengan sepuluh pertanyaan. Judul umum Florete saat itu adalah “Pendidikan Calon Imam Dalam Arus Globalisasi”. Saya betul heran bahwa anak-anak itu punya pemikiran yang kritis. Mereka kelihatan cemas dengan globalisasi, tetapi di pihak lain mereka ingin agar pendidikan disesuaikan dengan arus globalisasi itu. Saya bergerak dari pemikiran mengenai globalisasi dan menempatkan pendidikan calon imam dalam era globalisasi. Globalisasi adalah arus yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya, tetapi menyerbu masuk dan menyerang segala prinsip yang kita pegang. Kelihatan anak-anak itu ingin supaya pendidikan seminari menjawabi arus globalisasi itu. Intinya ialah: kalau kita menginginkan agar pendidikan calon imam itu harus kontekstual, apa konsekwensinya? Apakah kita mengalah dan membiarkan arus globalisasi itu masuk? Saya kira kita harus membedakan yang harus diperhatikan dan dipegang teguh, dan upaya-upaya untuk menjawab globalisasi tanpa mengorbankan prinsip. Untuk pendidikan calon imam, prinsip-prinsip itu adalah berpegang pada Kitab Suci, Pedoman Gereja, dan Ajaran Para Paus. Kalau prinsip-prinsip ini kita lepaskan, kita akan jadi korban dari globalisasi. Apa kontektualisasinya? Pertama, bergegang teguh pada prinsip-prinsip itu. Kedua, kita tidak boleh memenuhi seluruh keinginan anak-anak, misalnya bebas keluar dari seminari, nonton video sebebasnya, bermain play station, dan lain-lain. Ini justru salah. Dikaitlan dengan pertanyaan ROMO Selly mengenai tuntutan dari pemerintah kita: tantangan untuk seminari kita adalah bahwa pendidikan nasional diwarnai gerakan politik pendidikan tertentu, dan banyak kali kita dituntut mengikuti gerakan politik pendidikan itu. Sering peraturan seminari jadi korban karena hal-hal seperti itu. Di banyak seminari lain, anak-anak mengikuti pendidikan umum di sekolah lain, lalu baru ketika pulang ke asrama mereka mengikuti pendidikan seminari. Kita beruntung mempunyai sekolah dan asrama di satu tempat, sehingga pendidikan itu bisa berjalan bersama. Dan karena itu kita masih bisa mendamaikan kedua tuntutan itu, yakni tuntutan pemerintah dan prinsip-prinsip pendidikan di seminari. Semua kita adalah formator. Kita harus betul menjaga agar tidak ada perpecahan antara sekolah dan asrama. Kita harus betul bekerja sama. Di sekolah kita bukan hanya mengajar, tetapi mendidik. Di asrama ada hal-hal praktis yang diperlukan untuk pendidikan para calon imam”.
4. Tidak hanya pada batas memberi pendapat dalam pertemuan yang kami gelar saat itu. Tetapi Romo Domi pun konsekuen, ketika solusi konkret kerja sama, kedisipilinan, tanggung jawab, sebagai nilai yang turut ditemukan untuk membangun kohesi para formator dengan media doa bersama sebelum dan sesudah proses pembelajaran, ia pun siap mengerjakan sebuah Buku Doa dengan tema dan masa liturginya untuk digunakan sehari-hari di lembaga pendidikan ini. Buku doa inipun harus dicatat sebagai yang pertama dihasilkannya selama seminari ini ada dan hidup.
Tentu hal yang harus dimengerti lebih jauh adalah kehendak Romo Domi yang tersembunyi di balik lahirnya buku doa ini, yaitu agar pembiasaan hidup rohani, pembiasaan memberi bobot spiritual dalam setiap kegiatan, harus mendapat tempat pertama dalam setiap aktivitas. Dan persis di situlah suasana ke-seminari-an, tradisi-tradisi lembaga pendidikan calon imam dijaga dan dirawat bersama seluruh komponen.
Pengalaman saat ini, rasanya menarik ketika para guru dan pegawai mengawali dan mengakhiri proses pembelajaran dengan doa di ruang guru, dan para siswa di masing-masing kelas. Terdengar di setiap sudut ruang tempat dan ruang hati bergema lagu pujian dan doa hormat bakti kepada Allah di tempatNya yang tinggi seperti yang dilantunkan dalam Kitab Mazmur ini, “Pujilah Tuhan di surga, pujilah Dia di tempat yang tinggi. Pujilah Dia, hai segala malaekatNya, pujilah Dia hai segala tentaraNya. Pujilah Dia hai matahari dan bulan, pujilah Dia hai segala bintang terang! Pujilah Dia hai langit yang mengatasi segala langit, hai air yang di atas langit. Baiklah semuanya memuji nama Tuhan, sebab Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta”(Mzr 148 : 2- 5).
Kedua, Romo Domi adalah figur teladan pemimpin, tempat saya belajar. Sebagai orang yang saat ini diberi kepercayaan memimpin lembaga ini, terkadang saya mengalami kebuntuan berpikir dan bertindak untuk sesuatu yang butuh kecepatan beraksi. Biasanya saya menggunakan forum pertemuan staf Pembina untuk urung rembuk. Tetapi untuk memastikan cara beraksi yang tidak berdampak negatif, saya berkonsultasi kepada sang sepuh dengan segudang pengalaman dan wawasan yang luas. Dengan itu saya bisa katakan bahwa kehadiran figur sepuh seperti Romo Domi, adalah kehadiran yang meneguhkan dan memberi kepastian untuk mengurai benang kusut permasalahan.
Selain pengalaman dan wawasan yang luas, Romo Domi juga, menjadi tempat saya bercermin tentang ketekunan dan kesetiaan dalam membina imamat. Seandainya Tuhan berkenan memberinya umur yang panjang lebih dari sekarang, di tahun 2020 nanti, bersamanya kita merayakan pesta emas 50 tahun imamatnya. Emas imamat dalam hitungan waktu memang tidak tercapai. Tetapi kebertahanan dalam imamat sampai maut menjemput, itulah nilai emas dalam kesetiaan.
Ketekunan dan kesetiaan yang lain ialah dengan membina disiplin belajar terus menerus, belajar yang tidak pernah berhenti. Ia sangat disiplin mengembangkan diri dengan wawasan yang luas sehingga tidak pernah terasa ia ketinggalan zaman dalam perspektif pastoral sosial politik, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini, Romo Domi, bisa menjadi “narasumber” tersendiri ketika kami berkomunikasi dan berdialog di meja makan. Ia sepertinya sungguh menghayati aksioma Latin yang menjadi bidang kompetensinya, “Ama disciplinam, et disciplina tibi qualitatem praebet” (Cintailah kedisiplinan, maka kedisiplinan akan memberikan anda suatu mutu).
Selamat jalan sang sepuh, guru, dan sahabatku dalam imamat. Kini kau berdiri di tepian waktu untuk menegaskan bahwa kau memang pergi, tapi jejakmu tak pernah menyeberang. Di sini geliat karya dan pelayananmu menyatu dalam harumnya “mawar putih,” lagu kebanggaan laskar Berkhmawan.
Rm. Gabriel Idrus