IMAM DI ANTARA CALON IMAM
Oleh : Rm. Beni Lalo, Pr
Tulisan ini dibuat dalam rangka Pancawindu imamat Rm. Bene Daghi. Beliau mendesak saya agar segera menuntaskan tulisan ini untuk dimasukkan ke dalam Buku Pancawindunya. Setiap kali ketemu selalu beliau bertanya “sudah selesai ko ?”. Di awal bulan Januari saya mengatakan kepadanya, ”sudah tuntas Ka’e…”. Saya tidak sangka kemendesakkan pertanyaan Rm. Bene sebagai pertanda bahwa ia tidak lama lagi hidup di dunia ini. Tanggal 1 Pebruari 2021 beliau menarik napas terakhir di RSU Bajawa dan dikuburkan dengan cara khas di usia imamat ke 36 menuju 37 tahun.
Dalam duka kita menyerahkan Rm. Bene ke dalam tangan Tuhan. Sambil kita bersyukur atas 36 tahun imamatnya sebagai rahmat Allah bagi dunia dan gereja. Benar motto tahbisan imamatnya: “Cuma dalam Dia yang menguatkan aku, aku mampu…” (bdk.Fil. 4: 13). Rahmat Allah meneguhkan kesetiaan seorang imam yang rapuh secara manusiawi. Rahmat yang ditumpahkan dalam kondisi batin hidup seseorang, dalam dialog internal dari waktu ke waktu antara dinamika panggilan/tindakan Allah dan dinamika jawaban/tindakan manusia (Darminta,2006: 16). Allah yang hadir dalam seluruh proses panjang panggilan dari tahap awal ke tahap perutusan: undangan Allah pada seseorang; keinginan seseorang untuk bersatu dengan Allah; komitmen dalam iman; perkembangan spiritual; dan mandat apostolik (Konseng, 1995: 14).
Tahap-tahap yang sama juga dialami oleh Romo Bene Daghi sepanjang 36 tahun sebagai imam. Dalam tulisan ini, saya tidak mendalami tahap-tahap di atas. Saya membuat refleksi yang bersumber dari konsep imamat (biblis dan tradisi gereja) kepada fenomena-fenomena yang sempat tertangkap lensa dalam pengalaman hidup bersama Rm. Bene Daghi.
A. Menjadi imam Tuhan
Pada saat seseorang menyebut kata “imam”, muncul dalam pikirannya gambaran sosok seorang yang berperan sebagai pengantara manusia dan Tuhan, seorang yang berperan sebagai penghubung yang menyampaikan doa dan harapan umat pada Tuhan. Sebaliknya juga, imam menjadi tanda kehadiran Tuhan di tengah umatNya. Surat Ibrani mencatat bahwa seorang imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah (Ibr.5:1).
Konsili Vatikan II menyatakan bahwa imam menyandang kewibawaan Kristus dan berkat meterai istimewa, dijadikan serupa dengan Kristus, sehingga mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala (PO 2). Dengan demikian, imam menjadi simbol kesucian. Simbol kesucian pada diri imam dinyatakan melalui pelaksanaan tugas-tugasnya, yakni tugas mengajar (pelayanan Sabda Allah), menguduskan (pelayanan sakramen) dan memimpin (pelayanan kepemimpinan).
1. Pelayan Sabda Allah: sebagai pelayan Sabda Allah, imam bertugas untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Perjanjian Lama dalam Kitab Ulangan mencatat peran mengajar dari imam adalah mengajarkan aturan-aturan Tuhan kepada Israel (Ul.33: 10). Dalam teks ritus tahbisan imam, ada ajakan terhadap imam baru untuk mengajar dan melaksanakan aturan Tuhan. Seperti pesan Paus Fransiskus,”…dengan merenungkan hukum Tuhan, pastikan kalian percaya akan apa yang kalian baca, kalian ajarkan apa yang kalian percaya, dan kalian menjalankan apa yang kalian ajarkan…”.
Tentang sosok Rm. Bene, saya mengenal sebagai pribadi imam yang berpusat pada Sabda Allah. Dia berusaha hidup konsisten. Boleh saya bilang, dalam kerapuhannya, dia menghidupi apa yang dia baca dan percaya, serta apa yang dia wartakan. Hal ini terlahir dari bagaimana ia bersungguh-sungguh membaca, merenung dan membagi Sabda Allah setiap hari. Sabda Allah dihadapkan pada diri sendiri untuk dihayati, baru sesudah itu dibagikan pada sesama. Tampak dalam persiapannya untuk merayakan Ekaristi pada semua hajatan, entah peristiwa harian sederhana, entah peristiwa hari besar/hari raya. Buku agenda khusus untuk renungan/kotbah tersiapkan dan disimpan secara rapi dari dulu sampai sekarang. Kotbahnya disiapkan dan dibawakan secara tertulis atau diketik. Jarang dia berkotbah tanpa teks.
Peran pelayan Sabda Allah identik dengan peran guru. Sebagai calon imam (frater TOP) dan imam, dia selalu ditempatkan sebagai guru di lembaga pendidikan calon imam, kecuali sebagai seorang diakon ditempatkan di paroki Wolofeo.
Satu kelebihan dari Romo Bene sebagai seorang guru adalah konsistensi antara apa yang diajarkan dan apa yang dihidupinya. Dia menunjukkan keteladanan kepada kami para imam di seminari. Keteladanan yang paling terasa adalah pada disiplin diri. Pϋnktlich ! Waktu benar-benar terdiri atas detik per detik, menit per menit.
Peran pelayan sabda identik juga dengan peran kenabian yang mewartakan kebenaran. Memang benar pribadi ini berbicara tentang kebenaran. Berbicara sesederhana apa pun harus benar dengan verifikasi data yang jelas. Dia menertibkan dirinya pada jalan lurus sampai pada cura minimorum, seperti mengurus keuangan harus dipertanggungjawab sampai pada satu sen. Kebenaran yang dihayatinya adalah buah dari kedalaman diri yang berakar pada Sabda Allah yang direnungkannya setiap hari. Kedalaman diri bukan ruang kosong, melainkan lahan subur untuk kebenaran hidup (Reinhard Lettmann: Innerlichkeit ist kein Hohlraum oder inhaltlose Leere…)
2. Pelayanan sakramen: sebagai pelayan sakramen, imam bertugas untuk mempersembahkan kurban rohani atau melayani karya pengudusan lewat sakramen (PO 5). Dalam surat kepada umat di Ibrani (5,1), dikatakan secara jelas bahwa imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, supaya ia mempersembahkan persembahan karena dosa. Dengan melayani sakramen-sakramen, seorang imam menghadirkan Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya di kayu salib.
Searah dengan disiplin dirinya yang baik, pribadi Romo Bene selalu setia merayakan Ekaristi harian pada waktunya, kecuali kalau dia dalam perjalanan atau sakit. Ekaristi harian disiapkan sejak sebelumnya. Omnia parata sunt. Semua disiapkan termasuk membaca kalender liturgi setiap hari dengan semua titik komanya, sehingga semua teman imam yang merayakan hut kelahiran dan tahbisan hari itu, didoakan.
Kekurangan yang berkaitan dengan pelayanan sakramen adalah dia jarang melayani sakramen permandian, sakramen nikah dan sakramen orang sakit, karena alasan yang sangat jelas, full di seminari. Sakramen tobat tetap dilaksanakan untuk para imam/ suster yang datang mengaku dosa dan terlebih pelayanan untuk para siswa seminari.
Seiring dengan masa tuanya dan memiliki kematangan rohani yang mumpuni, dia pernah dipercayakan oleh Uskup sebagai Delegatus untuk cura animarum biara-biara di kevikepan Bajawa dan sering pula melayani ret-ret para imam/suster.
3.Pelayanan kepemimpinan/gembala: sebagai pemimpin umat Allah, imam mengemban tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala dengan menghimpun semua orang, dalam persaudaraan sejati dan menghantar mereka menuju komunio Allah Tritunggal (PO 6). Seperti kata Paus Fransiskus bahwa imam menjalankan tugas di dalam Kristus, Kepala dan Gembala, dalam persatuan dengan Uskup. Imam menjalankan tugas seperti Kristus, bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.
Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Rm. Bene bertugas lebih di lembaga-lembaga pendidikan calon imam, maka boleh dibilang dia menjadi gembala dan pemimpin di seminari-seminari. Domba-dombanya adalah para siswa seminari/para frater, dan saat beliau menjadi Praeses di Ritapiret dan Mataloko, domba-dombanya adalah seluruh anggota komunitas itu.
Penempatan Romo Bene di Seminari Menengah Mataloko sejak 2006, sebenarnya dimaksudkan oleh Uskup, agar di tengah komunitas pendidikan calon imam, harus ada seorang imam senior yang berperan sebagai teladan, sekaligus sebagai seorang tua yang matang, yang berperan sebagai sosok bijak dan tenang di tengah orang muda. Menjadi tokoh pemersatu dan menjaga persaudaraan adalah salah satu sayap dari tugas kegembalaan atau kepemimpinan seorang imam.
B. Menjadi imam Diosesan
Siapakah imam diosesan itu ? Rm. Domi Balo (alm.) dalam brosur pendidikan calon imam, menjelaskan secara negatip bahwa imam diosesan adalah imam yang tidak termasuk Ordo atau Konggregasi/Tarekat tertentu. Imamatnya adalah imamat perdana atau rasuli (seperti diterima para Rasul), yakni imamat seperti yang diserahkan Kristus kepada para murid-Nya pada awalnya. Atau sekurang-kurangnya berpangkal pada imamat awali tersebut, tanpa atribut lainnya, terkecuali bahwa ia oleh tahbisannya di-tua-kan. Dalam bahasa aslinya disebut “Presbyter”, yang berarti “tetua/penatua”, yang kemudian diterjemahkan dengan “imam”. Oleh sebab itu, di belakang nama seorang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan (khususnya di Indonesia) ditambahkan atribut “Pr” (singkatan dari presbyter, bukan projo)
Imam non tarekat ini disebut imam diosesan yang dikaitkan dengan kata “diocesis” (Lat. wilayah) karena ia terikat pada salah satu wilayah keuskupan tertentu. Dioses sama dengan praja dalam bahasa Jawa. Dalam hubungan dengan Gereja, yang dimaksudkan dengan wilayah tertentu/dioses, adalah wilayah tertentu gerejawi, yakni keuskupan. Oleh karena mereka terikat dengan keuskupan tertentu, maka mereka disebut imam diosesan. Pimpinan mereka adalah seorang Uskup Diosesan (Uskup dengan yurisdiksi wilayah “kekuasaan”, sebagai pemimpin resmi partikular). Dengan Uskup itu, ia mengikatkan diri.
Romo Bene mengambil keputusan masuk Seminari Tinggi Ritapiret pada tahun 1974 dengan motivasi yang sangat personal. Dia merasa dirinya cocok untuk menjadi imam yang mengabdikan diri untuk umat setempat di Keuskupan Agung Ende. Dia mau menghayati spiritualitas imam diosesan “dari dunia kembali ke tengah dunia”. Ke tengah dunia dan bersatu dengan dunia, menghadirkan diri di sana secara lain dan baru sambil memberikan kesaksian khusus imamiahnya. Dikatakan secara lain dan baru, sebab sejak tahbisan, imamatnya dituntut oleh martabatnya itu, harus dijalani di tengah dunia menurut nasehat injil (ketaatan, kemiskinan, kemurnian) secara konsekuen. Pelbagai hak yang seharusnya dimiliki oleh dunia, oleh karena tahbisannya dan misinya yang baru itu, harus ditinggalkan dan ditanggalkannya. Di tengah dunia, dia harus memberikan kesaksian yang baru.
Hanya sayangnya, harapan Romo Bene untuk bekerja secara langsung bersama umat di paroki-paroki yang sederhana, tidak terwujud. Sebagai penghayatan pada spiritualitas alkitabiah, sebagai dasar spiritualitas imam diosesan, dia harus taat pada keputusan Uskup. Uskup sudah mempunyai rencana lain untuk dia. Dia disiapkan untuk studi lanjut di Roma untuk mendalami bidang Islamologi. Semuanya ini membuka jalan baru dan menentukan perjalanan imamatnya selanjutnya ke depan. Dia harus bekerja setiap hari di tengah para calon imam sebagai dosen dan guru sampai kematiannya.
Pelayanan kecil setiap hari dijalankannya dengan kesetiaan yang besar. Kesetiaan adalah buah Roh Kudus dalam diri sang imam. Kesetiaan adalah wewangian yang menyenangkan dunia dan manusia (Paus Fransiskus). Seperti kata Paulus, “…sebab bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa..” (2 Kor.2:15). Inilah yang disyukuri dalam perjalanan imamatnya sampai melewati 36 tahun dan tak sampai pada pancawindu yang direncanakan…Selamat jalan Rm. Bene menuju keabadian. Di sana perayaan syukur imamatmu menjadi sempurna.
Rm. Beny Lalo, Pr