Kelas Daring: Adaptasi Baru Pembelajaran di Seminari

Dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 01/KB/2020, Menteri Agama Nomor 516 Tahun 2020, Menteri Kesehatan Nomor HK.03.01/Menkes/363/2020, dan Menteri Dalam Negeri Nomor 480-882 Tahun 2020, tentang Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran 2020/2021 dan Tahun Akademik 2020/2021, ditetapkan bahwa sekolah-sekolah berasrama yang berada di zonah hijau dilarang membuka asrama dan melakukan pembelajaran tatap muka, sekurang-kurangnya pada dua bulan pertama.

Menyikapi SKB tersebut, dan sesuai kebijakan Pemerintah Daerah Kaubupaten Ngada, SMPS dan SMA Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko memutuskan untuk menyelenggarakan  pendidikan calon imam dengan metode Dalam Jaringan (Daring) melalui Learning Management System (LMS). Dalam perencanaannya, metode pembelajaran Daring akan berlangsung selama dua bulan awal semester Ganjil 2020/2021, terhitung sejak 13 Juli-13 September 2020.

Dalam konteks dunia pendidikan di Pulau Flores, pembelajaran Daring merupakan sesuatu yang relatif baru. Dibutuhkan suatu persiapan yang sungguh matang agar keberlangsungan proses pembelajaran tetap sesuai dengan tuntutan kurikulum di era kenormalan baru.

Tentang keseluruhan proses persiapan itu, Kepala SMA Seminari Mataloko, Rm. Gabriel Idrus, Pr, mengatakan, “Sejauh ini kita telah mengadakan rapat bersama para bapa ibu guru di tingkat internal dan mengevaluasi persiapan-persiapan kita. Memang kita saat ini dalam kondisi siap meskipun adaptasi-adaptasi itu masih tetap terjadi dalam perjalanan waktu, karena kita berkenalan dengan sesuatu yang baru.”

“Adaptasi itu, baik di tingkat kita sendiri, ke dalam, para bapa ibu guru, yang menyiapkan pembelajarannya maupun juga para siswa kita.  Adaptasi itu menyangkut banyak aspek, baik menggunakan aplikasi ini (Google Classroom) maupun juga situasi secara umum ketika harus melaksanakan pembelajaran Daring.”

Selanjutnya Romo Idrus menambahkan bahwa secara umum sekolah ini telah siap melaksanakan pembelajaran daring melalui aplikasi Google Classroom. “Saya boleh katakan, secara umum memang kita siap, walaupun dalam perjalanan tetap harus beradaptasi dengan kondisi, beradaptasi dengan berbagai macam hal yang masih tetap berubah dalam waktu-waktu ke depan. Dari sisi kesiapan, kita siap tapi keterbukaan dan segala macam adaptasi itu masih dibutuhkan dalam masa perubahan.”

Sama seperti SMA, SMPS Seminari Mataloko juga telah sampai pada tahap persiapan yang maksimal. Hal ini disampaikan oleh Rm. Kristoforus Betu, Pr, selaku Kepala Sekolah di ruang kerjanya pada Senin, 20 Juli 2020. Setelah ditetapkan bahwa seluruh proses pembelajaran akan berlangsung dengan metode Daring dan menggunakan aplikasi Google Classroom, semua guru bergerak dan berusaha keras agar bisa mengoperasikan aplikasi ini.

Romo Kristo mengakui bahwa persiapan itu membutuhkan waktu paling kurang satu bulan. “Butuh waktu ya, kasarnya sebulanlah. Ada hari-hari yang efektif sekali, tapi ada hari-hari di mana para guru belajar mandiri. Belajar terpadu, terprogram, tersistematis, di bawah Romo Isto sebagai operator utama. Ada latihan bersama, tugas mandiri dan juga latihan-latihan bersama oleh teman-teman yang sudah mahir. Menurut saya, itu berjalan intensif.”

Kendala-kendala di Tingkat SMPS

Walaupun SMPS telah memiliki persiapan matang untuk memulai pembelajaran Daring, ditemukan beberapa kendala yang perlu dibenahi. Rm. Kristoforus Betu, Pr, menyampaikan bahwa ada tiga kendala utama yang dihadapi oleh SMPS pada saat ini.

Pertama laboratorium komputer. Menurut Romo Kristo, SMPS perlu memiliki laboratorium komputer sendiri. Kelas Daring mengakibatkan tingginya lalu lintas penggunaan laboratorium komputer, dan oleh karena itu, perlu diadakan laboratorium khusus untuk SMPS.

Kedua, kendala jaringan dan tenaga IT. SMPS memerlukan jaringan internet yang lancar demi meminimalisasi gangguan jaringan selama proses pembelajaran berlangsung. Kendala jaringan juga dialami oleh anak-anak yang tinggal di daerah-daerah yang tidak terjangkau jaringan internet. Di samping itu, SMPS juga membutuhkan tambahan tenaga IT. Menurut Romo Kristo, bila perlu semua guru diwajibkan menjadi tenaga IT.

Ketiga, SMPS kekurangan tenaga imam. Sebagai sekolah para calon imam, SMPS Seminari Mataloko masih membutuhkan tenaga-tenaga imam, sehingga tugas-tugas yang seharusnya dilakukan oleh seorang imam, tidak perlu diambilalih oleh para guru dan pegawai awam.

Persiapan para Guru

Dari sharing beberapa guru, kita mendapat informasi bahwa mereka maksimal menggerakkan roda pembelajaran Daring. Hal ini patut diberi apresiasi karena kelas Daring dan  penggunaan aplikasi Google Classroom merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi sebagian besar guru dan siswa.

Ibu Lindawati, misalnya, men-sharing-kan bahwa kelas Daring merupakan sesuatu yang sama sekali baru bagi beliau selama delapan belas tahun menjadi guru. Di tengah kerja keras mempelajari penggunaan aplikasi Google Classroom, Ibu Linda harus mengemas materi pembelajaran dalam bentuk teks, power point, dan video demi meningkatkan ketertarikan para siswa untuk mempelajari materi yang diberikan. Semua hal itu telah beliau kerjakan dengan baik.

Frater Vinsensius Sele, seorang guru baru yang mengampuh mata pelajaran Agama Katolik, mengakui bahwa beliau tidak mengalami kesulitan yang cukup berarti dalam menjalankan aplikasi Google Classroom.  “Bagi saya, ini cukup mudah. Yang menjadi tugas yang harus dibenahi sekarang ialah bagaimana menyajikan materi sekreatif mungkin agar para seminaris tertarik untuk mendalami setiap materi yang disajikan.”

Selain dari Ibu Linda dan Frater Vinsen, kita juga mendapat sharing yang cukup menggembirakan dari Ibu Theresia Emilia Woghe. Beliau menulis, “Persiapan saya untuk kelas online ini, baik dari segi persiapan materi maupun soal-soal sudah rampung (untuk dua Kompetensi Dasar pertama). Dari segi penguasaan aplikasi, saya kira sudah jauh lebih baik dari sebelum-sebelumnya, dalam arti sudah jauh lebih siap, walaupun saya tidak bisa memprediksi bagaimana action-nya nanti.”

 Sama seperti guru-guru SMA, para guru SMPS juga mengatakan bahwa pada umumnya mereka sudah siap mengajar di kelas-kelas Daring. Bapak Darius Yohanes Mau, S.Pd, misalnya berkisah bahwa beliau telah siap 100%.

“Mengenai persiapan kelas Daring,” kata Pak Aris, demikian beliau akrab disapa, “untuk saya punya kelas, saya wali kelas VIIA, persiapannya sudah memadai. Dalam grup-grup WhatsApp, sudah dipastikan semua anak tergabung untuk memudahkan pengontrolan. Kemudian di Google Classroom, anak-anak dikontak melalui nomor pribadi untuk memastikan perorang itu wajib memasukkan akun ke google. Semuanya sudah 100% tergabung dan semua aktif sehingga kelas Daring yang dimulai hari ini berjalan lancar.”

Berbeda dengan Pak Aris yang tidak mengalami kendala dalam penguasaan aplikasi Google Classroom, ada guru, terutama guru-guru senior, masih mengalami kesulitan dalam menjalankan aplikasi pembelajaran tersebut.

Tentang kesulitan itu, Ibu Paulina Bate berkisah, “Secara umum, penyiapan materi pembelajaran (bahan mentah) tidaklah sulit, karena didukung oleh pengalaman puluhan tahun mengajar. Yang masih menjadi kendala adalah ketika materi yang telah disiapkan harus diubah ke dalam bentuk digital dan dibagikan dalam Google Classroom. Sebagai orang tua, kecepatan dalam mempelajari sesuatu telah jauh berkurang, apalagi jika harus selalu berpindah dari kiri ke kanan (menjelajahi situs dan aplikasi digital).”

Selain kesulitan menjalankan aplikasi, kesulitan lain yang dialami para guru di SMPS ialah menyangkut pembagian waktu antara manjalankan profesi guru dengan waktu bersama keluarga di rumah.

Ibu Fransiska Dhera, guru Bahasa Indonesia, berkisah, “Tantangan yang dialami dalam masa transisi ini adalah kesulitan dalam membagi waktu antara panggilan sebagai guru di sekolah dan tanggung jawab sebagai ibu yang mengatur jalannya rumah tangga.”

“Melakukan penyesuaian yang cukup besar dalam mekanisme pembelajaran tidaklah mudah bagi seorang guru sekaligus ibu. Porsi waktu untuk melatih kecakapan dalam menjelajah dan menggunakan rupa-rupa situs dan aplikasi cukup besar dan menuntut guru untuk melanjutkan pekerjaan-pekerjaan sekolah, di rumah. Sementara itu, di rumah sudah ada pekerjaan lain yang menunggu,” tambah Ibu Siska.

Pesan dan Harapan bagi Siswa-siswa Seminari

Dalam banyak kesempatan, Rm. Gabriel Idrus, Pr selaku Praeses dan Kepala Sekolah mengajak para seminaris untuk memaknai situasi yang diakibatkan oleh pandemi covid-19 ini sebagai tantangan dan peluang untuk beradaptasi dengan perubahan.

“Dalam pengalaman seperti ini, kita diuji dan ditantang, siapa yang bertahan dalam perubahan-perubahan itu, dia bisa keluar sebagai pemenang. Kepada para siswa, ini menjadi motivasi. Meskipun dalam situasi keterbatasan, yang barangkali secara perorangan mengalami kesulitan, kita maknai ini sebagai peluang untuk kita beradaptasi dengan perubahan.”

Senada dengan hal yang disampaikan Romo Praeses, Rm. Nani Songkares, Pr, selaku guru senior mengajak para siswa untuk melihat situasi ini sebagai kesempatan untuk melihat identitas seminari secara baru. Father Nani, begitu beliau akrab disapa, dalam catatannya mengenai kebijakan pendidikan di Seminari saat krisis Covid-19, menulis, “Setiap krisis yang kita alami adalah sekaligus opportunity. Jangan-jangan virus corona ini memberi kita peluang untuk bergumul dengan identitas Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu secara baru.”

Para guru, yang juga menjadi wali-wali kelas, mengharapkan agar para seminaris cepat beradaptasi dengan model pembelajaran daring ini. Selain itu, para seminaris juga diharapkan untuk tetap mematuhi protokol kesehatan, menjaga pola hidup sehat, menjaga kedisiplinan, dan etika bermedia sosial serta selalu meluangkan waktu untuk mengembangkan talenta.

Tommy Duang

Seminari Mataloko di Tengah Pandemi: Dari Lembah Sasa Menuju Seminari Diaspora

Pandemi virus korona yang belum menunjukkan tanda-tanda menurun, memaksa manusia beradaptasi dengan segala jenis gaya kehidupan baru. Ada banyak hal yang berubah, termasuk model pendidikan calon imam di berbagai Seminari, baik pada tingkat menengah maupun pada tingkat Seminari Tinggi.

Dalam pertemuan online pada 22 Juni 2020 bersama para Rektor Seminari Menengah, Ketua Komisi Seminari KWI, Mgr. Robertus Rubiatmoko, mengatakan bahwa model formasi calon imam dalam waktu-waktu mendatang akan menjadi lebih terbuka dan dinamis, di mana akan ada banyak pihak di luar seminari terlibat dalam proses formasi para seminaris.

Pertemuan tersebut dilanjutkan dengan sejumlah rapat pengurus Komite Sekolah Seminari, Yayasan Persekolahan Umat Katolik Ngada (Yasukda), Konsultan Kesehatan Kabupaten Ngada, dan pemerhati pendidikan. Selanjutnya, diadakan beberapa kali pertemuan bersama Bapak Bupati Ngada dan jajarannya, yang menghasilkan berbagai rekomendasi strategis, antara lain konsep Seminari Diaspora dan implementasi praktisnya.

Secara fisik, pusat-pusat formasi berpindah dari “kompleks seminari” ke tangan para seminaris sendiri, orang tua, Pastor Paroki, Pastor Rekan, dan pihak-pihak lain yang membantu perkembangan para seminaris di rumah mereka sendiri. Di tangan merekalah,  dan dalam  interaksi dan kerja sama dengan Lembaga Seminari, mewujud-nyata Seminari Diaspora itu.

Persis pada titik ini, Rm. Benediktus Lalo, Pr, selaku Romo Prefek SMA Seminari Mataloko, melemparkan satu pertanyaan reflektif yang sangat menantang, “Bagaimana dimensi-dimensi pendidikan calon imam (Sanctitas, Scientia, Sapientia, Sanitas, dan Socialitas) yang sistematis dan terprogram, yang terencana, dengan satu tujuan yang terukur, tetap dipertahankan?”

Bangun Kerja Sama yang Solid

Agar dimensi-dimensi tersebut di atas tetap dihayati oleh para seminaris diaspora, dibutuhkan suatu jaringan kerja sama yang kuat antara pihak seminari dengan para orangtua dan para pastor paroki. Menurut Rm. Benediktus Lalo, Pr, kerja sama dan koordinasi ini merupakan hal yang sangat menentukan dan tentu saja mendesak.

“Kalau koordinasi kita dengan orangtua dan pastor Paroki tidak bagus, ada kemungkinan proses pembinaan itu pincang. Kita tidak bisa terlalu jauh sampai pada diri anak. Tetapi kalau betul koordinasi kita bagus dengan visi misi yang sama antara kita dengan orangtua, saya yakin, kita percaya apa yang terjadi di rumah dan di paroki, itu adalah bagian dari proses pendidikan calon imam.”

Walaupun pusat pembinaan para seminaris telah berpindah, kelima dimensi pendidikan calon imam (5S) harus tetap dijaga dan dirawat. Konsep seminari diaspora merupakan sesuatu yang relatif baru, dan oleh karena itu perlu diakui bahwa sebagian proses pembinaan masih jauh dari ideal formasi yang telah ditanamkan sejak dahulu. Akan tetapi, situasi dan kondisi yang tidak ideal ini harus bisa diatasi agar proses formasi tetap berjalan.

Demi mencapai tujuan itu, Romo Praeses menekankan pentingnya interaksi jarak jauh yang berkelanjutan antara para formator dan seminaris melalui media-media sosial. Hal praktis yang diambil ialah dengan memasukkan para formator dalam grup-grup WhatsApp wali kelas. Dengan demikian, para formator memiliki akses yang cukup memadai ke dalam kehidupan para seminaris. Selain itu akan diadakan pula kunjungan berkala dari pihak seminari ke tempat-tempat perjumpaan yang ditetapkan untuk memantau perkembangan pendidikan anak-anak seminari dari dekat.

“Supaya formasinya juga tetap berjalan, kita juga sudah berbicara cukup jauh sebelum ini, yaitu bahwa tetap nanti harus ada interaksi, melalui media-media ini (Google Classroom dan WhatsApp), yang di dalamnya itu banyak pihak terlibat, para gurunya terlibat, tapi juga para pendamping. Pembina harian itu nanti masuk dalam grup-grup supaya mereka terlibat dan melihat bagaimana hal ini berjalan di rumah ketika mereka dirumahkan,” kata Romo Praeses.

“Kemudian kita juga nanti,” demikian Romo Praeses, “akan melanjutkan lagi dengan kunjungan berkala yang kita rencanakan, di mana pihak lembaga akan turun dalam tim, melihat mereka dari dekat. Itu saja yang bisa kita buat dan kita memang berharap supaya setelah masa transisi ini mereka boleh kembali karena dengan itu, formasi lengkap sebagaimana yang kita cita-citakan boleh berjalan kembali.”

Dari Lembah Sasa Menuju Seminari Diaspora

Sejak para seminaris dipulangkan ke rumah pada hari Kamis, 26 Maret 2020 lalu, proses formasi para calon imam ini telah berpindah dari Lembah Sasa ke rumah para seminaris masing-masing. Pandemi virus korona melahirkan inisiatif untuk membentuk Seminari Diaspora. Virus korona membuat Seminari Mataloko bergerak dari Lembah Sasa menuju Seminari Diaspora.

Pada masa-masa ini, harapan banyak diletakkan di pundak para pastor paroki dan orangtua. Rm. Nani Songkares, Pr, dalam catatan refleksinya menulis, “Ada sesuatu yang terasa terbalik: Saat normal, orangtua berharap pada seminari untuk pendidikan anak-anaknya. Saat dilanda krisis virus korona, seminarilah yang berharap pada rumah untuk menjadi seminari sesungguhnya bagi para siswanya.”

Konsep seminari diaspora telah melahirkan paling kurang satu hal penting bagi perkembangan panggilan para seminaris, yaitu bahwa penentu terakhir dari keberhasilan adalah diri mereka sendiri. Walaupun para seminaris ini berada jauh dari seminari dan para formator, tetapi kalau mereka tetap mendidik diri dalam koridor pendidikan calon imam, mereka akan dengan sendirinya tiba pada suatu level kematangan tertentu. Di sini dibutuhkan suatu kemandirian para seminaris untuk mendidik dirinya sendiri.

Wakil Praeses, Rm. Kristoforus Betu, Pr mengharapkan agar seminari diaspora ini tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya dan juga para seminaris diharapkan agar menjaga keseimbangan penghayatan lima dimensi pendidikan calon imam.

“Saya ingin supaya lembaga pendidikan calon imam ini tidak pudar, tidak kabur, dan tidak kehilangan nilai-nilai esensialnya. Nilai esensial itu ada banyak sekali. Mulai dari kerohanian sampai dengan kemandirian, perkembangan, dan pertumbuhan kepribadian para seminaris. Juga  keseimbangan antara yang rohani dan yang sosial perlu selalu dijaga. Harapan saya, nilai-nilai yang terangkum dalam 5S itu tetap bertumbuh, terpelihara, semakin gesit, dan semakin maksimal karena tantangan ini.”

Tommy Duang

Memperkenalkan ‘Gerakan Menulis Siswa’ di Seminari Mataloko

MEMPERKENALKAN ‘GERAKAN SISWA MENULIS’ DI  SEMINARI MATALOKO

Sebagai pribadi yang sering mendapat tugas berkunjung ke beberapa keuskupan di Indonesia, saya terbiasa mendokumentasikan peristiwa dalam sebuah coretan kisah harian. Dokumentasi tertulis itu menjadi alat bukti  bahwa saya sudah berkunjung ke tempat itu sekaligus menjadi lampiran dari sebuah laporan kegiatan yang saya lakukan. Begitu pun ketika saya berkunjung ke Seminari Mataloko tanggal 4 Februari 2019 yang lalu, saya melakukan hal yang sama. Tulisan ini menjadi alat bukti bahwa saya pernah berkunjung ke Seminari Mataloko. Agar tulisan ini, tidak hanya menjadi milik saya, saya ingin mempublikasikan tulisan ini di Flores Pos agar para siswa seminari yang saya kunjungi saat itu dan pembaca Flores Pos, meraih makna di balik kebiasaan menulis.

Keinginan saya untuk memublikasikan peristiwa ini, berawal dari pertemuan spontan dan sederhana. Saya ingin bertemu teman kelas, Romo Nani Songkares. Pada saat yang sama, Romo Nani sedang mendampingi beberapa siswa untuk menulis. Saya diminta secara spontan menularkan semangat kepada para siswa yang sedang menulis. Para siswa diberi ruangan khusus untuk membaca dan menulis. Ruangannya persis di samping ruangan Romo Nani Songkares sehingga aktivitasnya bisa langsung terpantau. Siapapun yang masuk ke ruangan ini, aktivitas hanya satu : menulis. Ada laptop, ada meja, ada buku-buku. Ruangan yang dipenuhi beberapa siswa terasa hening karena hanya jari-jarinya yang bergerak mengikuti perpaduan antara kegiatan otak dan kegiatan hati. Hati yang menggerakkan mereka untuk menulis sesuai apa yang sedang dipikirkan.

Aktivitas mereka menggoda saya untuk menulis tentang mereka. Bahwa ada praktik baik yang sedang terjadi di sana. Para siswa harus dibiasakan untuk menulis dan menulis, itu penegasan dari Romo Nani Songkares. Ketika menyaksikan aksi mereka, pikiran saya tertuju kepada sebuah buku yang berjudul The Power of Habits. Kebiasaan baik yang diperkenalkan sejak dini, akan menjadi kekuatan maha dahsyat di kemudian hari.

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Romo Sunu, Provinsial Serikat Jesus, dalam acara retret beberapa tahun yang lalu di Cepu Jawa Tengah. Beliau memperkenalkan peserta retret untuk ‘merasionalisasi rasa’ setiap hari. Apa yang kita rasakan setiap hari, harus ditulis dalam buku atau didokumentasikan secara tertulis agar rasa itu diketahui penyebabnya. Kalau  kita sering menulis rasa pribadi, kebiasaan itu  akan menjadi kekuatan personal yang senantiasa mengontrol seluruh aktivitas harian kita. Kita bisa hidup lebih teratur, terkontrol dan tertata. Pernyataan yang kita ungkapkan lewat kata-kata, akan tertata dengan sendirinya ketika kita terbiasa menuliskan apa yang kita rasakan. Lagi-lagi, aktivitas menulis menjadi sangat penting untuk membentuk diri.

Wajar bila ada yang mengatakan bahwa menulis ada jalan sunyi menuju pengenalan diri. Mengapa? Ketika menulis, kita memadukan beberapa kekuatan  dalam satu gerakan. Ada kekuatan yang mendorong kita untuk duduk, diam dan hening. Ketika duduk, dan mulai menulis, ada keinginan-keinginan lain yang menggoda kita untuk mengabaikan kegiatan itu.

Selain itu, ada juga kegiatan mengelola informasi, pengetahuan yang terbersit di otak kita. Bagaimana kita meramu ilmu yang berseliweran dalam pikiran kita untuk dibentuk dalam  dalam sebuah pernyataan tertulis yang teratur dan tersusun agar siapapun yang membacanya, dapat mengerti.

Perpaduan antara kekuatan rasa, kekuatan otak dan kehendak yang kuat menjadi ‘lahan subur’ terciptanya sebuah tulisan yang berkualitas. Bila para siswa terbiasa menulis, berarti dia sedang dilatih oleh diri sendiri untuk tertib dalam berpikir, tertib dalam merasa dan tertib dalam mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.

Wajar bila Romo Nani Songkares dan Romo Beny Lalo ingin memperkenalkan gerakan ini. Betapa pentingnya, menularkan kebiasaan untuk menulis kepada para siswa.  Bagi para calon imam atau imam yang terbiasa membuat tulisan, akan mempermudah tugas dan karya mereka di kemudian hari. Apa yang diproduksi lewat mulut atau aktivitas verbal di berbagai mimbar, harus terlebih diolah secara matang, lewat proses yang diperkenalkan dalam aktivitas menulis. Wajar saat ini, sudah banyak himbauan agar para pastor yang membawakan kotbah harus disiapkan secara tertulis. Dengan demikian, apa yang dipublikasikan kepada umat secara verbal harus melalui proses pengolahan yang matang. Dengan demikian mimbar yang secara ensensial merupakan tempat mewartakan kabar gembira, benar-benar dimanfaatkan sesuai  dengan intensinya.

Keterampilan dan kemampuan menulis bukan hanya bermanfaat bagi  calon imam tetapi juga untuk para calon pemimpin bangsa atau pemimpin daerah. Kebiasaan untuk merumuskan secara tertulis apa yang dirasakan, dipikirkan menjadi ‘kekuatan’ maha dahsyat untuk memproduksi kebijakan publik bagi masyarakat di kemudian hari . Apa yang diketahui, dirasakan, harus dirumuskan secara jelas dalam sebuah pernyataan dokumentatif agar semua pihak bisa mempelajarinya secara baik untuk membentuk kekuatan komprehensif dalam memproduksi kebijakan publik.

Banyak pemimpin kita lebih giat memproduksi ujaran-ujaran tanpa olahan yang matang, tanpa dibekali kemampuan menulis. Ketika disandingkan dengan input-input kritis dan bermakna, mereka sering menghadapinya dengan sikap defensif yang sulit dipahami secara nalar. Terjadilah proses irasionalitas publik yang mengganggu proses berpikir masyarakat.

Pengalaman ini, nampak sederhana. Hanya soal melatih siswa untuk menulis. Namun praktik sederhana ini sebenarnya memberikan dampak visioner bagi lahirnya seorang pemimpin bangsa, pemimpin umat yang berkualitas. Mereka dididik untuk sejak awal mampu memproduksi pernyataan tertulis yang berasal dari hasil pemikiran yang matang, hasil pengolahan hati yang baik dan managemen diri yang berkualitas.  Dengan demikian praktik baik ini, hendaknya tidak hanya dilakukan di Seminari Mataloko, namun di semua lembaga pendidikan tanpa terkecuali.  Semoga !

Eddy Loke

Surabaya 12 Februari 2019.

Homo Proponit, Deus Disponit

HOMO PROPONIT, DEUS DISPONIT

Kenangan bersama Romo Domi Balo, Pr

 

Judul di atas diambil dari kalimat yang terpajang di depan kamar Romo Domi Balo. Kalimat itu sudah tergantung sekian lama hingga sekarang. Bagi orang yang memahaminya, kalimat ini menohok ke dalam relung hatinya, dan ia bermenung, “Manusia boleh merencanakan tetapi Tuhan yang menentukan”.

 Kalimat di atas harus dibaca secara utuh. Jika tidak, maka akan terjadi bencana kemanusiaan, saat manusia terjebak hanya pada dimensi horisontal/humanisme (homo proponit). Dimensi horisontal menyangkut kekinian (hic et nunc). Kekinian mengandung unsur manusia dan dunia yang sedang berkembang. Kekinian yang semakin sekular saat ini, saat manusia semakin percaya diri. Saat manusia berpisah dari Tuhan (Deus). Sejarah evolusi tahap pertama yang ditandai oleh Homo Sapiens (70.000 tahun), yang akan segera diganti dengan tahap kedua yang ditandai dengan  Homo Deus. Manusia bisa menjadi Tuhan atas dirinya dan bisa mengubah lintasan evolusi sejarah masa depan, yang hanya ada di tangannya. Inilah bencana yang paling dasyat, Homo Deus, mau menghancurkan mortalitas dan dunia tak mengenal lagi kematian (immortalitas). Kematian bukan persoalan Tuhan lagi tapi itu adalah masalah teknis yang belum ditemukan solusi teknisnya (Yuval Noah Harari, Homo Deus-A Brief History of Tomorrow,2017,h.24-25)

Di sisi lain, kalimat kedua (Deus disponit) adalah dimensi vertikal, pikiran orang yang berpihak pada Allah. Ini menyangkut masa kini dan masa depan, dunia seberang, harapan akan keabadian. Dengan demikian disimpulkan kehidupan manusia entah kini entah yang akan datang ada pada tangan Tuhan. Dalam kekinian, manusia berencana, membangun dunia, berkembang dalam keilmuan, mencipta segalanya tapi seluruh kehidupan itu tak mencukupi, karena pada akhirnya, dihadapkan pada restu keputusan Tuhan. Kehidupan dan kematian adalah keniscayaan yang ditentukan oleh Tuhan.

Kalimat di depan pintu kamar Romo Domi adalah kalimat utuh sebagai kebijaksanaan dan  proklamasi imannya yang tiada tara pada Tuhan. Pernyataan iman yang tak pernah luntur bahkan semakin mengental sampai di penghujung kehidupan fana ini.

Kalimat ini menjadi faktor pengingat pada diri Romo Domi bahwa sebagai manusia lemah, dengan segala dosa-dosanya, dengan segala concupiscentia, setiap hari dari pagi hingga malam, dalam pekerjaan-pekerjaannya, melayani gereja sebagai seorang imam, melayani para seminaris sebagai pembina dan guru, semuanya dalam nama Tuhan.

Pekerjaan dan panggilan hidupnya adalah evolusi spiritualitas yang dihayati sebagai pewartaan tentang Allah yang Mahakasih, yang nampak dalam diri Yesus Kristus Putera Allah, yang telah bersatu dalam seluruh sejarah homo sapiens. Sejarah manusia yang tak bisa dipotong dan dipisahkan dari kasih Allah.

Sebagai buah dari kebijaksanaan dan imannya ini, pada masa tuanya, Romo Domi masih berbuat banyak hal, memperkaya gereja, seminari dan para seminaris dengan buah-buah pengetahuan dan buah-buah rohani. Tak tahu berapa buku/brosur rohani yang dihasilkan dan dipakai hingga sekarang oleh komunitas ini. Sampai pada saat-saat tenaganya hampir habis, dengan sisa energi kecerdasan berpikirnya, ia masih mempersembahkan buku pegangan bahasa Latin Elementa Linguae Latinae Primus, Secundus,Tertius dan Quartus.

Pada akhir kehidupan saat dia tak bisa berjalan lagi, dari keheningan kursi roda, ia terus memandang generasi baru yang sedang melanjutkan karyanya di seminari ini dengan pekerjaan-pekerjaan rutin, dengan segala rencana-rencana besar ke depan. Dia berdoa dan berserah pada Tuhan, seperti Musa yang memandang Tanah Terjanji dari Gunung Nebo, dan memandang Harun bersama Israel berlangkah ke depan. Ia berdoa semoga seluruh pekerjaan di kebun anggur Tuhan, seminari ini menghasilkan buah-buah imamat dan kader-kader gereja yang berlimpah.

Kita harus tetap percaya seminari ini adalah kebun anggur Tuhan. Pekerja-pekerja di kebun ini datang dan pergi, berganti dari satu generasi ke generasi berikut,  tapi hanya Tuhan yang sama sebagai penentu evolusi sejarahnya sampai keabadian…

Rm. Benediktus Lalo, Pr

Ikan-Ikan Kerinduan

ikan-ikan kerinduan

ada …
ada yang putih
yang itam … yang abu-abu
yang belang … yang kuning

ikan-ikan kerinduan pukul 13.00
ngap-ngap pada bibir sjuta harap
pada kerinduan yang tak pernah sia-sia
nantikan bulir-bulir cinta
dari tangan terulur
yang slalu rindu berbagi tabur

pukul 13
heiii … ikan-ikan kerinduan
membagi telah selesai,
kembali OPA pada tahta segala
tempat smua bertaut harap
‘tuk slalu merindu
pada maha samudra
yang empunya segala

Tak pernah ada yang tahu, semuanya akan berakhir begini. Ada yang datang, ada pula yang pergi. Hidup memang merupakan “suatu datang dan pergi yang terus”. Karena itulah, ia selalu menyambung generasi dan membawa angkatan. Mengalami yang ada, meninggalkannya, lalu merindukan yang akan datang. Bermula dari yang sementara, lalu menuju dan menetap pada yang paripurna dan kekal, Sementara itu fana, sedangkan yang paripurna dan kekal adalah tujuan. Ketika itu menjadi sebuah keyakinan, kekekalan lalu menjadi pilihan untuk senantiasa diper¬juang¬kan dalam menata hidup.

Tidak pernah juga ada yang tahu, pikiran ini singgah di benak dan nurani Opa. Begitulah sapaan akrab setiap anggota komunitas Berkhmawan saat berjumpa Romo Domi Balo. Namun, saya yakin sekali, Opa pasti mengangkat sedikit kacamatanya, mengusap-usap kening, mengelus-elus rambutnya yang memutih, lalu tersenyum tanda setuju. Namun saya tahu, matanya pasti lebih terpaut pada kolam Yobermans di hadapan kami. Pada ikan-ikan kerinduan yang menanti taburan bulir-bulir santap siang dari tangan sang Opa.

Tidak pernah saya duga bahwa kolam Yobermans itu telah menjadi saksi berlangsungnya sebuah keyakinan bahwa “hidup adalah suatu datang dan pergi yang terus … tapak-tapak yang menyambung generasi dan membawa angkatan.” Dari Kolam Yobermans, perisai air tempat pijak St. Yohanes Berkhmans, kita bertolak mengikuti jejak-jejak hidup Opa yang masih tersimpan.

Pukul 13.00
Setelah Opa pensiun melaksanakan tugas regular sebagai guru di kelas bagi para seminaris, pukul 13.00 jadi saat unik. Awalnya, saya anggap biasa karena Opa “Pensiun” selalu mengunjungi penghuni kolam. Saudara-saudara ikan(bahasa St. Fransiskus Asisi” sudah menjadi teman akrab Opa. Memang tidak setiap hari saya mengikuti aktivitas Opa yang satu ini. Suatu saat, pukul 13.00, sambil “seret-seret langkah” dengan segelas penuh makanan ikan, Opa melangkah menuju kolam Yobermans, lalu berhenti tepat di belakang patung Orang Kudus itu. Saya mengikuti Opa dan berdiri di sampingnya. Opa tidak segera memberi makan ikan-ikan kesayangannya. Hal pertama yang Opa lakukan adalah bersiul-siul mendendangkan not “do re do re do re” dengan halus beberapa saat. Sementara saya memperhatikan kolam yang sejak tadi tenang dengan sedikit riak kecil. Awalnya, saya pikir Opa sekadar bersiul karena baru selesai santap siang. Ternyata “doredore” yang unik itu, cara Opa mengundang sobat-sobat ikannya santap siang. Riak-riak kolam semakin besar karena ikan-ikan Opa meluncur berebutan makan siang. Tak lama berselang gelas makanan ikan pun kosong, laris manis santap siang bawaan Opa buat sobat-sobatnya. Cukup banyak kali, Opa tidak langsung kembali. Saya dan Opa masih melanjutkan bincang-bicang kami tentang banyak hal.

Saat Opa sudah tidak bisa lagi menemui sobat-sobatnya karena tidak sanggup melangkah karena sakitnya, saya merasa perlu memasuki waktu uniknya “pukul 13”. Gelas pakan ikan saya isi penuh, melangkah ke kolam, lalu berdiri di belakang patung Orang Kudus itu. Seperti Opa, saya mendendangkan “doredore-nya”. “Lihat! Ikan-ikan sobat Opa bermunculan berebutan santap siang, yang saya taburkan sambil terus ber-doredore.”

Persahabatan yang istimewa. Ikan-ikan itu telah menyatu dengan siul – senandung Sang Opa. Taburan kasih sayang Opa telah memberi mereka hidup. Kebiasaan Opa yang indah telah membuat ikan-ikan itu mengenal dan berebutan kasih yang ditaburkan melalui tangan hatinya dengan cinta. Sobat-sobat itu tak akan pernah lagi mendengar senandung “doredore”. Namun, habitus cinta dan persahabatan yang abadi telah menyatu dalam komunitas kolam Yobermans. Riak-riak kecil itu meninggalkan kenangan manis. Pernah terjalin kisah persahabatan Sang Opa dengan ikan-ikannya melalui senandung siul “doredore”-mu dengan tangan yang selalu siap menabur. Selamat jalan OPA. Selamat memasuki kolam abadi bersama Ikan-ikan kerinduanmu akan selalu menanti taburan kasih.

Rm. Alex Dae Laba, Pr

Imam Berbasis Iman

IMAM BERBASIS IMAN

                “…aku percaya, karena itu aku berkata-kata..” (2Kor.4,13), merupakan suatu ungkapan seorang manusia rapuh yang menjadi rasul karena ditangkap oleh Tuhan sendiri. Dalam kerapuhan dan keterbatasannya, kelak kemudian menjadi rasul utusan Tuhan. Ia  menyampaikan  bahwa iman itu adalah harta rohani yang menjadi dasar, kekuatan yang membuat ia mampu mewartakan, menyampaikan kebenaran sejati Tuhan kepada umat Korintus. Dalam kerapuhan dan keterbatasan manusia itu, kekuatan dan kekuasaan Allah menjadi nyata.  Rencana dan kehendak Tuhan yang membuat ia mampu, demikian keyakinan st. Paulus (bdk. Fil, 4,13).

            Mulanya agak sulit mengenal sosok Imam Tuhan yang satu ini: Romo Domi Balo, Pr,  sebatas dibaca dalam daftar Katalogus Alumni Seminari Tinggi st. Petrus Ritapiret atau sebatas ‘kata orang’ tentang beliau. Dalam perjalanan waktu akhirnya tidak cuma mengetahui tetapi lebih dari itu ‘mengenal’ sebagai rekan sekomunitas.

Dalam  putaran pertama,  jilid I  kebersamaan saya dengan Romo Domi Balo, Pr (Agustus 1988 – Maret 1990, masa pelayanan beliau sebagai Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, sementara penulis adalah seorang pembina baru di langkah-langkah awalnya)  terlintas kesan bahwa Imam pelayan tertahbis ini, adalah manusia pelayan sedarhana, lugu, tabah, setia dan mencintai tugas. Lebih jauh terlintas juga pelayan tertahbis ini  sedang dengan serius mencari Tuhan dan kehendakNya dalam hidup dan dalam karya pelayanannya. Hidup dan pelayanannya adalah saat untuk mencari Tuhan, seperti yang diungkapkan St. Vincentius a Paolo (Die Zeit Gott zu zuchen, ist dieses Leben). Kehendak Allah terus digali dalam hidup nyatanya, bukan cuma dalam kata-kata pemanis mulut, tetapi dalam tingkah-tindakan hidup, pelayanannya, walau ia harus menghadapi tantangan dari luar diri dan luar komunitas mau pun dari lingkungan komunitas. Semuanya dihadapinya dengan tenang.  Nampaknya beliau sadar bahwa onak dan duri, arus dan gelombang pasti selalu ada di depan mata kita manusia,  namun Tuhan pasti memegang tangannya. Bersama Tuhan dan dengan Tuhan, manusia akan mampu menghadapi segalanya. Tuhan tidak cuma ditemukan dalam situasi serba enak, menyenangkan, tetapi juga dalam situasi batas, keringat dingin, gemetaran dalam tugas karya nyata.

Dalam sebuah permenungan kesempatan rekoleksi komunitas Staf Ritapiret, jelang Prapaskah 1989  ia pernah berujar,  “Allah dapat kita jumpai/kita temukan pada saat kita melaksanakan tugas kita.”  Nafas sesak dalam menghadapi tantangan kesulitan tugas, seorang pelayan tertahbis, tidak boleh membuat kita  melarikan diri dari semuanya itu, tabah dalam tugas, sabar dalam karya (tentu dalam konteks nyata rumah Rita saat itu).  Dalam nada iman  penuh pasrah diri, nyata dalam kata-kata permenungannya itu, ia mengatakan ‘Badai ganas  telah membuat akar pohon semakin kokoh-kuat.’  Akar pohon itu menjadi kuat justru karena Allah yang memberinya kekuatan. Dalam alur pikiran di atas beliau menutup renungan rekoleksi itu dengan kembali menyitir kalimat St. Vincentius a Paolo, “Die Zeit Gott zu besitzen, ist die Ewigkeit,” waktu untuk memiliki Tuhan adalah keabadian/kebangkitan/kebahagiaan abadi.  Hanya lewat Salib dan penderitaan manusia sampai pada kemuliaan kebangkitan. Keringat dan jerih lelah, suka dan duka silih berganti, tidak ada yang ‘gratis’ dalam hidup manusia ini. Lagi-lagi, kalimat ini semua mengungkapkan kedalaman iman seorang imam Allah ini.

            Pada kebersamaan saya dengan beliau – putaran kedua, jilid II,  (di Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko: Januari 2006 sampai dengan  Januari 2019,  hari-hari terakhir sebelum ia meninggal), Romo Domi masih tetaplah seperti yang dahulu, masih dalam kemasan warna dasar yang sama. Iman dan keyakinan akan kekuatan kekuasaan Allah tetap menjadi sandaran dan harapan utamanya. Allah adalah akar kekuatan yang menahan terjangan badai hidup.

Romo Dominikus Balo, Pr adalah seorang imam Praja Keuskupan Agung Ende generasi-generasi awal, produk binaan jaman itu yang terbilang sebegitu kuat dan mendalam menanamkan sesuatu dalam hati anak binaan kala itu. Tempaan tangan para misionaris barat rupanya sulit tercabut dari sanubari Romo Domi. Akar iman sebegitu kokoh kuat, walau sayap kebebasan seorang  manusia/pemuda tetap ia menjadi acuan tindaknnya. Beliau, adalah salah satu sosok pribadi imam karena iman, yang  merangkaikan seluruh hidup dan karya pelayanannya sebagai manusia-pelayan tertahbis, yang tekun-setia, mencintai tugasnya karena ia sadar sungguh bahwa ia menjadi imam karena pilihan Allah sendiri.. Dalam rentang waktu jelang emas imamatnya, hidup dan karya sosok imam  yang satu ini telah membenarkan bahwa ia adalah figur pelayan tertahbis yang tekun setia dan manusia dedikatif dan konsisten dalam melaksanakan tugasnya. Imamat yang digapainya bukanlah sebuah usaha manusia pribadinya atau perjuangan sanak-keluarganya tetapi murni karena iman akan  suara panggilan Allah. Imam karena iman.

Justru dalam ziarah pelayanan kepada sesama, ia telah mencari dan menemukan Allah. Dalam  suatu pengabdian tanpa batas kepada Dia yang telah memilih dan memanggilnya. Iman  membara akan apa yang dikehendaki Allah atas dirinya itu membuat selalu terpancar dalam tingkah perbuatannya Romo Domi ‘Homo proponit, Deus disponit’  – Manusia merencanakan tetapi Allah menentukan. Kalimat yang terpampang mantap di depan pintu kamarnya, bukan cuma sekedar tanda bahwa ia adalah seorang guru bahasa Latin yang handal tetapi lebih sebagai ungkapan iman keyakinannya, bahwa manusia merencanakan segalanya tetapi, tapi Allahlah yang menentukan segalanya itu. Suatu ungkapan iman dan pasrah diri kepada taqdir Allah, cuma Allah yang memiliki daya dan kekuatan penentu atas hidup dan karya kita.

Ziarah karya pelayanannya sebagai imam: dari Lembaga Pendidikan Calon Imam baik di Seminari Menengah (di Lela) pun di Seminari Tinggi, kemudian kembali lagi  ke Seminari Menengah (Mataloko), diselangi dengan tugas pelayanan pastoral parokial, tugas pelayanan di Pendidikan Persekolahan, Pusat Pastoral…semuanya merupakan bentuk pelayanan seorang hamba Tuhan yang taat-setia dan mencintai tugas tanpa memilih-milih lapangan/tempat kerja yang sesuai dengan kemauan, selera diri sendiri, tetapi tunduk-taat total kepada kehendak Allah, taat dan setia kepada putusan Pimpinan, demi kelancaran karya pengabdian kepada Allah dan demi kelancaran karya pelayanan kepada sesama.  Kesetiaan dan cinta akan tugas membuat Romo Domi walau usia semakin uzur, ia tidak mau mundur dalam tugas- tugasnya. Usia uzur tidak menghalangi langkahnya menuju ke kelas, sambil duduk membimbing para calon imam Tuhan. Selain itu, pelayanan karya pastoral: pelayanan sakramen tobat/pengakuan, mendengarkan keluhan dan berbagi dari umat yang datang, pelayanan perayaan Ekaristi bagi  orang yang membutuhkannya, tidak ia lewatkan, tetap dan selalu siap, walau di tempat saja…bukti nyata betapa ia mencintai tugasnya…

Hari-hari jelang  emas imamat yang sudah di mata, dalam  keterbatasan seorang anak manusia, ia tetap berpegang teguh pada apa yang telah terpampang di depan kamarnya itu, ungkapan imannya bahwa manusia merencanakan tetapi akhirnya Allahah yang menentukannya. Kini ia sudah berada di garis finish, sambil mengancungkan tangan tanda kemenangan, ia naik podium untuk dikalungi medali kemenangan: Ia telah menjadi Imam Allah dalam Iman sampai akhir hayatnya, ia telah menjadi sahabat Tuhan untuk selamanya. Saat Kematiannya adalah saat ia menemukan dan memiliki Tuhan yang ia imani (Die Zeit Gott zu besitzen, ist die Ewigkeit). Ia sadar bahwa menghadapi hal satu ini, “Kematian,” manusia tidak mampu  mengajukan  protes terhadap kehendak Allah,  Allah tidak bisa disogok, Tuhan tidak bisa disuap untuk meminta tunda, Allah telah menentukan, menetapkan segalanya Kekuatan dan kekuasaan Allah telah menyata dalam seluruh ziarah hidup dan karya sang imam Allah yang memiliki iman tangguh ini.. Homo proponit, Deus disponit.

Rm. Domi: Imam lansia yang milenial

Dalam kebersamaan hidup selama lebih dari 13 tahun di Lembaga Pendidikan Calon Imam – Mataloko ini, dapat saya katakan bahwa Imam Allah yang lansia ini, jangan dikira ia ketinggalan jaman dan tidak memiliki minat terhadap hal-hal aktual-kontekstual.  Ia adalah imam lansia yang milenial, senior yang berjiwa yunior, imam tua dengan semangat dan berwawasan muda. Ia tetap aktif di depan laptopnya untuk menulis sesuatu, entah artikel, renungan, materi bahan ajar (bahasa Latin, atau bahan apa saja).   Suatu pagi jelang siang (sewaktu saya masih Praeses), dalam nada kelakar saya mengatakan, “Ah…romo sibuk sekali ya? Setiap kali saya lewat di depan kamar, Romo selalu asik duduk di depan laptop, jangan terlalu duduklah,… nanti sakit tu, istirahat-istirahat juga toh!…” Dalam nada kelakar juga beliau mengataka, “Setiap kali saya di depan laptop, Praeses lewat…salah siapa. Sebenarnya saya tidak terlalu sibuk,.. siapa suruh lewat dan lihat ke sini…”

Rm. Domi selalu mengikuti gerak perkembangan dunia politik dengan situasi terbaru, baik lewat TV, malajah, pun sarana-sarana media sosial lainnya.   Minat dan perhatiannya terhadap segala perkembangan terbaru tidak ia abaikan, ia tahu: siapa dari partai apa, dukung pasangan  mana, demonstrasi di mana…ia selalu ikuti, selalu terus  ia belajar dan belajar terusss. Program-program terbaru dalam laptop, dengan pelbagai variasi ia pelajari, obat-obat baik herbal pun generic produk-produk terbaru, ia tahu semua…ketika ditanya selalu ia katakan, “Ada di internet tu, obat itu bagus direkomendasikan dan sangat dianjurkan oleh dokter.”  Obat-obat kebutuhannya didatangkan via internet/on line. Segalanya tentu demi mencoba memperpanjang hidupnya. Rencana dan ketetapan Tuhan telah final, akhirnya Tuhan menjemput sang sahabatNya, untuk duduk di sebelah kananNya… Beliau telah tiada, namun contoh dan teladan seorang imam yang beriman kokoh, imam yang tabah setia dan mencintai tugas,.. nasihat dan petuah kaya makna kiranya tetap terpatri dalam hati kami para warga komunitas, para  anak bina-calon imam, semua  keluarga besar Berkhmawan. Selamat jalan! Doa kami untukmu, doamu kami dambakan selalu.  Requiescat in Pace – R I P.

Mataloko, 05 Februari 2019

Rm. Benediktus Daghi, Pr

Jejakmu Tak Pernah Menyeberang

JEJAKMU TAK PERNAH MENYEBERANG
(Mengenang Figur Romo Dominikus Balo)

Betapa tidak mudahnya ketika saya harus memulai menulis sesuatu tentang ROMO Domi Balo, sebagai senior, kakak, dan sahabat dalam imamat. Bukan karena tidak dekat dengannya dalam jarak tempat, jarak rasa, dan kurang mengenalnya. Tetapi terlebih karena alasan ini: saya harus memulainya dari mana dan tentang apa yang harus saya tulis terhadap figur dengan pengalaman karya yang luas, figur dengan latar belakang hidup dan karya hampir sempurna dalam empat generasi peradaban: generasi Orde Lama, generasi Orde Baru, generasi Reformasi, dan generasi Ledakan Teknologi Informasi atau generasi Milenial saat ini dalam setengah perjalanan Romo Domi.

Oleh karena itu, catatan mengenang figur Romo Domi, saya batasi pada lokus kebersamaan di lembaga pendidikan calon imam Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko, di mana Romo Domi berkarya terakhir selama kurang lebih 18 tahun. Dalam konteks karya, peran, dan tanggung jawabnya di lembaga ini, saya melihat Romo Domi, sebagai figur yang sungguh memberi warna bagi pendidikan seminari. Karena itu, ketika saat ini ia harus pergi menghadap Sang Khalik, saya memilih judul di atas: Romo Domi, Jejakmu Tak Pernah Menyeberang, untuk mengenang jejak-jejak kehadiran dan karyanya di lembaga ini.

Ada dua alasan mendasar untuk mengatakannya dengan judul dimaksud. Pertama, Romo Domi dengan karya-karyanya yang spektakuler, yang saat ini menjadi referensi lembaga dan para pengelola dalam membangun pendidikan calon imam. Pada poin ini, terdapat sejumlah hal yang bisa disebutkan.

1. Sesudah perayaan Intan, 75 tahun Seminari pada tahun 2004, Romo Domi menjadi ketua tim penyusun buku Pedoman Pembinaan Calon Imam. Buku pedoman ini, termasuk buku yang sangat lengkap dari segi Isi, Metode, dan Aplikasinya. Karena itu buku ini memuat hal-hal khas Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu – Mataloko seperti : tentang Nama, Pelindung Seminari, arti Logo Seminari, Visi, Misi, Komitmen, Profil para seminaris sebagai calon peserta bina dan profil lulusan, Asas-asas, Prinsip dan Isi Pembinaan, Materi Dasar Pembinaan, Lingkungan Pembinaan, Pelbagai Komponen Pembina, Pelbagai Sarana Penunjang, serta Peraturan dan Tata Tertib Sekolah dan Asrama.

Buku pedoman dengan isi yang sangat lengkap ini, tercatat di lembaga ini sebagai buku pedoman pertama yang disusun dengan mengadopsi dari berbagai sumber semenjak seminari ini didirikan. Karena itu pada awal pengantar buku ini ia menulis, “Baru untuk pertama kali inilah Seminari kita mengeluarkan sebuah Buku Pedoman Pembinaan Para Calon Imam, sebagai perwujudan kenekatan kita bersama dalam rangka merayakan 75 tahun seminari kita, yang berpuncak pada tanggal 15 September 2004 yang lalu.”

2. Sebagai guru dan pendidik para calon imam yang mengasuh mata pelajaran bahasa Latin, Romo Domi, telah menerbitkan beberapa modul pembelajaran Bahasa Latin. Modul-modul ini dihasilkan dari dasar pengalaman mengelola pembelajaran bahasa Latin, di satu pihak; dan pada pihak lain Romo Domi berkeinginan agar bahasa Latin sebagai bahasa liturgi gereja ini, harus mempunyai tempat khusus di dalam sistem kurikulum seminari dan kurikulum nasional. Karena itu, ketika masih aktif mengajar sampai dengan 4 tahun yang lalu, Romo Domi sangat tidak puas dengan alokasi waktu mengajar Bahasa Latin yang sangat terbatas yaitu dua jam seminggu. Padahal, menurutnya, dan hal ini juga diamini oleh banyak orang yang pernah belajar bahasa Latin, bahasa Latin adalah pemicu membentuk nalar untuk berpikir kritis dan teliti, serta sebagai alat pembentuk humaniora dalam konteks ilmu-ilmu bahasa pada umumnya.

3. Pada Januari 2013, kami menggelar satu kegiatan yang kami sebut “Reorientasi Sekolah”. Disebut demikian karena sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2003, kami sudah melaksanakan Orientasi Sekolah. Reorientasi sekolah itu pada prinsipnya ingin kembali meninjau sejauh mana kami menghidupi Visi, Misi, dan Komitmen serta bergumul meramu Materi Dasar Pembinaan sesuai dengan dokumen gereja, “Optatam Totius” dan “Presbyterorum Ordinis,” tentang Pembinaan Calon Imam di lembaga pendidikan ini, yang sudah kami bahas dan temukan sepuluh tahun sebelumnya. Kami merasa bahwa setelah sepuluh tahun berada dalam bingkai pendidikan seminari, ada banyak hal yang menguap hilang dalam rutinitas kami mengelola pendidikan. Selain itu, perubahan zaman pada umumnya, dan tuntutan kurikulum nasional pada khususnya, memang menuntut kami untuk menyesuaikan diri demi menjawab kebutuhan subjek bina dan subjek didik.

Berhadapan dengan tuntutan yang demikian, kami mencoba menjawab dalam bentuk dialog tanya jawab di antara kami para formator. Ada yang bertanya tentang tantangan riil yang dialami dan perlu dirumuskan secara konkret sehingga bisa mencari solusi. Ada yang meminta resep manjur apa yang bisa ditawarkan agar pendidikan calon imam tetap aktual, kontekstual, dan selaras zaman. Banyak pendapat yang diajukan saat itu dengan narasi argumentasi yang kuat dan masuk akal. Tetapi ketika tiba saatnya berbicara, Romo Domi merangkum semua pendapat dan berdiri pada jalan tengah untuk menjembatani arus pikiran yang berkembang serta menjaga keseimbangan antara hal-hal baru yang harus diperhatikan dalam pendampingan siswa dengan ketentuan-ketentuan umum pedoman pembinaan calon imam. Untuk tidak mengurangi pendapat asli yang terekam dalam dokumen Reorientasi Sekolah yang dilaksanakan pda tanggal 25-27 Januari 2013, di sini saya mengutipnya apa adanya:

Dua tahun lalu, redaktur majalah Seminari, Florete, datang pada saya dengan sepuluh pertanyaan. Judul umum Florete saat itu adalah “Pendidikan Calon Imam Dalam Arus Globalisasi”. Saya betul heran bahwa anak-anak itu punya pemikiran yang kritis. Mereka kelihatan cemas dengan globalisasi, tetapi di pihak lain mereka ingin agar pendidikan disesuaikan dengan arus globalisasi itu. Saya bergerak dari pemikiran mengenai globalisasi dan menempatkan pendidikan calon imam dalam era globalisasi. Globalisasi adalah arus yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya, tetapi menyerbu masuk dan menyerang segala prinsip yang kita pegang. Kelihatan anak-anak itu ingin supaya pendidikan seminari menjawabi arus globalisasi itu. Intinya ialah: kalau kita menginginkan agar pendidikan calon imam itu harus kontekstual, apa konsekwensinya? Apakah kita mengalah dan membiarkan arus globalisasi itu masuk? Saya kira kita harus membedakan yang harus diperhatikan dan dipegang teguh, dan upaya-upaya untuk menjawab globalisasi tanpa mengorbankan prinsip. Untuk pendidikan calon imam, prinsip-prinsip itu adalah berpegang pada Kitab Suci, Pedoman Gereja, dan Ajaran Para Paus. Kalau prinsip-prinsip ini kita lepaskan, kita akan jadi korban dari globalisasi. Apa kontektualisasinya? Pertama, bergegang teguh pada prinsip-prinsip itu. Kedua, kita tidak boleh memenuhi seluruh keinginan anak-anak, misalnya bebas keluar dari seminari, nonton video sebebasnya, bermain play station, dan lain-lain. Ini justru salah. Dikaitlan dengan pertanyaan ROMO Selly mengenai tuntutan dari pemerintah kita: tantangan untuk seminari kita adalah bahwa pendidikan nasional diwarnai gerakan politik pendidikan tertentu, dan banyak kali kita dituntut mengikuti gerakan politik pendidikan itu. Sering peraturan seminari jadi korban karena hal-hal seperti itu. Di banyak seminari lain, anak-anak mengikuti pendidikan umum di sekolah lain, lalu baru ketika pulang ke asrama mereka mengikuti pendidikan seminari. Kita beruntung mempunyai sekolah dan asrama di satu tempat, sehingga pendidikan itu bisa berjalan bersama. Dan karena itu kita masih bisa mendamaikan kedua tuntutan itu, yakni tuntutan pemerintah dan prinsip-prinsip pendidikan di seminari. Semua kita adalah formator. Kita harus betul menjaga agar tidak ada perpecahan antara sekolah dan asrama. Kita harus betul bekerja sama. Di sekolah kita bukan hanya mengajar, tetapi mendidik. Di asrama ada hal-hal praktis yang diperlukan untuk pendidikan para calon imam”.

4. Tidak hanya pada batas memberi pendapat dalam pertemuan yang kami gelar saat itu. Tetapi Romo Domi pun konsekuen, ketika solusi konkret kerja sama, kedisipilinan, tanggung jawab, sebagai nilai yang turut ditemukan untuk membangun kohesi para formator dengan media doa bersama sebelum dan sesudah proses pembelajaran, ia pun siap mengerjakan sebuah Buku Doa dengan tema dan masa liturginya untuk digunakan sehari-hari di lembaga pendidikan ini. Buku doa inipun harus dicatat sebagai yang pertama dihasilkannya selama seminari ini ada dan hidup.

Tentu hal yang harus dimengerti lebih jauh adalah kehendak Romo Domi yang tersembunyi di balik lahirnya buku doa ini, yaitu agar pembiasaan hidup rohani, pembiasaan memberi bobot spiritual dalam setiap kegiatan, harus mendapat tempat pertama dalam setiap aktivitas. Dan persis di situlah suasana ke-seminari-an, tradisi-tradisi lembaga pendidikan calon imam dijaga dan dirawat bersama seluruh komponen.

Pengalaman saat ini, rasanya menarik ketika para guru dan pegawai mengawali dan mengakhiri proses pembelajaran dengan doa di ruang guru, dan para siswa di masing-masing kelas. Terdengar di setiap sudut ruang tempat dan ruang hati bergema lagu pujian dan doa hormat bakti kepada Allah di tempatNya yang tinggi seperti yang dilantunkan dalam Kitab Mazmur ini, “Pujilah Tuhan di surga, pujilah Dia di tempat yang tinggi. Pujilah Dia, hai segala malaekatNya, pujilah Dia hai segala tentaraNya. Pujilah Dia hai matahari dan bulan, pujilah Dia hai segala bintang terang! Pujilah Dia hai langit yang mengatasi segala langit, hai air yang di atas langit. Baiklah semuanya memuji nama Tuhan, sebab Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta”(Mzr 148 : 2- 5).

Kedua, Romo Domi adalah figur teladan pemimpin, tempat saya belajar. Sebagai orang yang saat ini diberi kepercayaan memimpin lembaga ini, terkadang saya mengalami kebuntuan berpikir dan bertindak untuk sesuatu yang butuh kecepatan beraksi. Biasanya saya menggunakan forum pertemuan staf Pembina untuk urung rembuk. Tetapi untuk memastikan cara beraksi yang tidak berdampak negatif, saya berkonsultasi kepada sang sepuh dengan segudang pengalaman dan wawasan yang luas. Dengan itu saya bisa katakan bahwa kehadiran figur sepuh seperti Romo Domi, adalah kehadiran yang meneguhkan dan memberi kepastian untuk mengurai benang kusut permasalahan.
Selain pengalaman dan wawasan yang luas, Romo Domi juga, menjadi tempat saya bercermin tentang ketekunan dan kesetiaan dalam membina imamat. Seandainya Tuhan berkenan memberinya umur yang panjang lebih dari sekarang, di tahun 2020 nanti, bersamanya kita merayakan pesta emas 50 tahun imamatnya. Emas imamat dalam hitungan waktu memang tidak tercapai. Tetapi kebertahanan dalam imamat sampai maut menjemput, itulah nilai emas dalam kesetiaan.

Ketekunan dan kesetiaan yang lain ialah dengan membina disiplin belajar terus menerus, belajar yang tidak pernah berhenti. Ia sangat disiplin mengembangkan diri dengan wawasan yang luas sehingga tidak pernah terasa ia ketinggalan zaman dalam perspektif pastoral sosial politik, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini, Romo Domi, bisa menjadi “narasumber” tersendiri ketika kami berkomunikasi dan berdialog di meja makan. Ia sepertinya sungguh menghayati aksioma Latin yang menjadi bidang kompetensinya, “Ama disciplinam, et disciplina tibi qualitatem praebet” (Cintailah kedisiplinan, maka kedisiplinan akan memberikan anda suatu mutu).

Selamat jalan sang sepuh, guru, dan sahabatku dalam imamat. Kini kau berdiri di tepian waktu untuk menegaskan bahwa kau memang pergi, tapi jejakmu tak pernah menyeberang. Di sini geliat karya dan pelayananmu menyatu dalam harumnya “mawar putih,” lagu kebanggaan laskar Berkhmawan.

Rm. Gabriel Idrus

Kamar Mandi, Memupuk Kemandirian dan Kebersamaan

Jurnalisme Siswa

Kamar Mandi, Memupuk

Kemandirian dan Kebersamaan

Kebersamaan dan kemandirian dapat manusia pupuk dalam berbagai aktivitas dan tempat, termasuk di kamar mandi.

SMP Seminari Ma­taloko mem­punyai Ka­m­ar mandi yang besar dan lebar sebab me­miliki siswa yang ba­nyak. Kamar mandi ini terletak  di  samping k­a­­­­­­­­­­­­­­mar lama Rm. A­lex­ander Dae Laba se­laku pe­­­­­­­mbina.  Rm ini bi­a­sanya mengurus air di ka­mar mandi. Ia me­latih kami untuk ber­hemat.

Di kamar mandi SMP, para seminaris me­laku­kan banyak kegi­at­an. Me­­­­­­reka  mencuci pakai­an, mandi, dan membagi ce­rita. Semua kegiatan itu, dilakukan pada wak­­tunya.   Me­­n­cu­ci pa­­­k­a­i­an juga ada wa­k­tu­nya, yakni setiap hari Rabu, Sabtu, dan Ming­gu. Hari-hari ini p­un dibagi lagi. Kelas VII setiap hari Rabu si­ang saat tidur siang, se­dang­kan hari Sabtu siang untuk kelas VIII dan kelas IX. Hari Minggu berlaku umum un­tuk  semua siswa SMP. Pada hari Minggu, bi­asanya men­cuci pa­kaian setelah studi pagi. Pada hari-ha­ri inilah para semi­naris berlatih man­diri dan me­­mupuk kebersa­maan atau tali persau­dara­an.

Pada hari Rabu siang dan Sabtu siang para seminaris harus mencuci dalam keadaan diam, sebab itulah wa­ktu he­ning (sillentium). Para se­mina­ris yang mencuci pa­kaian haruslah men­jaga kebersihan. Mereka di­la­rang bu­ang sam­­pah di­­ sem­ba­rang tem­pat, se­perti got-got se­bab dapat mengakibat­kan sa­­luran tersumbat se­hingga air akan melu­ap. Ge­nangan air dapat men­­jadi sarang jen­tik nya­muk dan me­nim­bulkan aroma yang tidak enak.

Pada saat mencuci pa­ra seminaris dilarang mem­­bawa sa­bun ke da­lam toilet. Apa lagi men­­­jatuhnya ke dalam kloset. Tindakan itu me­nyum­bat saluran kloset. Se­lesai men­­­­­­­­­cuci pa­ka­ian, para seminaris men­jemurnya di je­muran, di samping unit C. Jika je­muran pen­uh, para se­minaris dapat me­njemur pakaian di depan kamar tidur. Ka­mar jemur di­bagi dalam 3 tempat, yaitu di sa­mping unit C, di bela­kang aula, dan di sam­ping kamar yang lama.

Selain men­cuci pa­kai­an, ka­mar mandi juga menjadi te­mpat mandi. Para seminaris dilarang ribut saat mandi agar cepat selesai dan tidak memboroskan air. Na­mun, kebanyakan se­mi­naris me­langgarnya. Pa­da wa­k­tu itulah para seminaris membagikan peng­ala­ma­nnya.

Selain itu, pada saat ma­n­­di sem­inaris dila­rang mem­b­u­ang sa­mpah di sem­ba­rang te­mpat, khu­s­usnya dalam bak mandi. Se­minaris harus men­jaga ke­ber­sihan ka­mar man­di karena ka­mar ma­ndi adalah tem­pat  yang selalu di­kun­jung oleh se­mi­naris.

Kamar m­a­­ndi memi­liki 2 deret  bak be­­sar untuk ke­perluan cuci dan man­di para se­mi­na­ris. Para seminaris ju­ga mem­punyai ke­wajib­an un­tuk mem­bersihkan ka­­­­­­mar ma­­ndi dan toilet. Namun, bukan semua se­minaris me­m­bersih­kan­­nya. Ada kelompok yang diperca­yakan un­tuk mem­ber­sih­­kannya. Kelompok u­ta­­ma yang mem­ber­sih­kan kamar mandi ia­lah seksi toilet.  Me­reka mem­­ber­sih­kan­nya se­tiap hari Rabu dan Sab­tu se­telah bangun ti­dur. Ta­hap awal yang me­reka la­­kukan adalah me­nyi­ram lantai de­ngan a­ir, la­­lu me­nyikat lantai sam­­pai bersih. Semua pe­­­ker­j­a­­an ini se­lesai pu­kul 15.45. Sebagai­ma­na bia­sa, keadaan ka­mar wc dan ka­mar m­andi tam­­pak sangat ber­sih. Se­mua ini di­lakukan siswa di kamar man­­di se­cara bersama. Se­mi­naris gem­bira ka­re­na pe­ker­ja­an ini dila­ku­kan  ba­­gi ke­­pentingan ber­sa­­ma.

Rino Nanga

Kelas VIII A

MEMILIH TONTONAN YANG EDUKATIF, BAGIAN DARI IMAN

(Lembaga Sensor Film Kunjungi SMA Seminari Mataloko)

 Film bukan hanya sekadar tontonan, lebih dari pada itu, film menjadi sarana ampuh guna menuntun diri pada kebaikan. Film seharusnya menjadi tuntunan dan bukan hanya sekadar bahan tontonan.

SMA Seminari Mataloko dikunjungi tiga tamu istimewa dari daerah ibu kota, Jakarta, Sabtu (28/7/2018). Mereka adalah Drs. Imam Suhardjo, HM, M.IKom,  Dra. Albina Anggit Anggraini, SH, dan Ana Yugo Prasetya, SH, utusan dari Lembaga sensor Film (LSF) Indonesia, yang datang untuk mensosialisasikan “Budaya Sensor Mandiri di Kalangan Pendidikan”.

RD. Beny Lalo dalam sapaan awalnya mengungkapkan terima kasih kepada tim LSF yang sudi memilih Seminari Mataloko menjadi lembaga pendidikan pertama di Flores yang dikunjungi. “Saya belum pernah mendengar sebelumnya bahwa LSF pernah datang berkunjung ke salah satu tempat di bumi Flores. Karena itu, mewakili pimpinan Seminari Mataloko, saya mengucapkan selamat datang dan terima kasih karena telah memilih Seminari Mataloko menjadi  tempat pertama yang dikunjungi,” ungkapnya. Lebih lanjut, RD Beny Lalo, menjelaskan gambaran umum sekolah Seminari Mataloko dan jumlah seminaris yang ada sekarang.

Mengenai entusiasme seminaris dalam mengikuti kegiatan ini, terpantau bahwa animonya sangat tinggi, terbukti ruangan yang disiapkan sesak dipenuhi seminaris mulai dari KPB Hingga kelas XII. Hadir pula dalam kegiatan ini para frater TOP pendamping dan RD. Nani Songkares

Film: Tontonan atau Tuntunan

Penting bagi Masyarakat Indonesia untuk memilah dan memilih film mana yang layak untuk ditonton sebab pasalnya tidak semua konten dalam film layak dikonsumsi khalayak dari semua kategori usia.

Imam Suhardjo, Ketua Komisi 1 Lembaga Sensor Film, menjelaskan bahwa terdapat beberapa konten dalam film yang tidak layak ditonton dan karenanya harus disensor oleh LSF Indonesia. Konten yang dilarang umumnya sarat akan pornografi, kekerasaan/judi/narkoba, provokasi SARA, pelecehan nilai-nilai agama dan yang merendahkan martabat/harkat manusia.

Ia menambahkan, sebagai tanda layak beredar, semua film yang ada di tanah air, pertama-tama harus mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS)  dari Lembaga Sensor Film Indonesia. Karena itu, ia memberi awasan agar hanya menonton film yang telah memperoleh surat izin. Sensor atas film menjadi sangat urgen dengan tujuan agar konten dalam film tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945, tidak menunjukkan perbuatan yang tercela, tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak merusak kerukunan hidup antarumat beragama di tanah air.

Bapak Imam menyadari bahwasannya, pribadi-pribadi yang menangani Sensor Film tidak pernah luput dari kesalahan. “Mengingat kami yang bekerja di LSF bukanlah pribadi yang sempurna, dan karena itu, ada beberapa materi dalam film yang tidak sempurna untuk disensor, maka saya mengajak insan muda sekalian untuk menggalakkan usaha sensor mandiri,” jelasnya.

Adapun kegiatan sensor pribadi amat mengandalkan kedewasaan pridadi dan kelompok dalam memilih film yang layak ditonton. Sensor pribadi menjadi sangat penting mengingat tidak semua film yang tersebar di dunia virtual telah disensor oleh Badan Sensor Film Indonesia. Dengan melakukan sensor pribadi, maka film bukan sekadar menjadi bahan tontonan melainkan materi tuntunan khususnya bagi anak-anak dan remaja.

Sosialisasi yang Komunikatif lagi Inspiratif.

 Imam Suhardjo, sebagai pembicara utama dalam sosialisasi kali ini, mengajak seminaris untuk berpikir dengan menjawabi beberapa pertanyaan yang disodorkan. Ajakan ini ditanggapi dengan antuasiasme yang luar biasa dari para seminaris. Tak sedikit dari mereka mengacungkan tangan dan beberapa kali menjawabi pertanyaan yang disodorkan. Setiap jawaban yang benar diberi hadiah berupa gelas dan payung yang bertuliskan LSF.

 “Saya tertarik untuk menjawabi pertanyaan karena mau mendapatkan hadiah yang menarik. Siapa tahu saya bisa dapat gelas atau payung,” sela Yones, seminaris kelas XI IIS di sela-sela  pertemuan.  Suasana dalam ruangan pertemuan menjadi kian riuh ketika banyak seminaris yang “berebutan” menjawab pertanyaan yang diajukan  Imam. Pada kesempatan yang sama, beberapa seminaris mengajukan pertanyaan perihal LSF dan kiprahnya di tanah air.

Imam, Albina, dan Yugo mengapresiasi semangat yang luar biasa ini. Para seminarispun mengapresiasi materi yang disiapkan dan jalannya sosialisasi. “Bagi saya, kegiatan sosialisasi kali ini begitu menarik selain karena materinya yang bagus, cara penyampaiannya pun  beda sehingga tidak membosankan,” kata Firmus, seminaris kelas XII IIS. Firmus juga menambahkan bahwa pembicara kelihatannya sangat energik dan energi yang sama mengalir kepada audiens sehingga meskipun sudah malam, mereka tidak mengantuk.

Sosialisasi Sensor Film Mandiri pada akhirnya,  menyadarkan seminaris agar lebih selektif lagi dalam memilih tontonan dan memastikan bahwa tontonan (baca: film) sudah mendapat Surat Tanda lulus sensor dari LSF sebab memilih tontonan yang baik adalah bagian dari kedewasaan iman.

 Edukasi Melalui Film

 Film yang baik adalah film yang berdaya edukatif. Tidak semua film memilki daya seperti ini. Karena itu, di akhir pertemuan, kepada audiens,  ditayangkan sebuah film inspiratif yang diangkat dari keutamaan budaya NTT yang amat menjunjung tinggi nilai toleransi agama. Film yang dibintangi oleh aktris ternama Laudya Cintya Bella itu berjudul “Aisya, Biarkan Kami Bicara.”

Film ini berdurasi lebih dari satu jam dan  mengisahkan Aisya, seorang guru Muslim yang berkarya di sebuah daerah terpencil di NTT. Perjuangan Aisya untuk meyakinkan masyarakat setempat akan nilai agama yang memersatukan dan kerelaan masyarakat untuk menerima Aisya yang berbeda sebagai saudara mereka, menjadikan film ini menarik dan sarat emosi, “Aisya adalah gambaran tokoh Muslim yang solider dan sosok yang inspiratif. Dari Aisya saya belajar bagaimana kasih yang tanpa pamrih, mengasihi bukan karena orang lain sama melainkan karena ia berbeda dari saya. Kasih menjadi pesan yang kuat yang saya dapat dari film ini,” aku Bryan, Ketua OSIS SMA Seminari Mataloko.

Film ini mengajarkan bahwasannya keberagaman agama di Indonesia adalah kenyataan yang terberi. Manusia Indonesia entah itu orang Jawa ataupun orang NTT, entah itu Muslim atau Kristiani, tiada bedanya. Semua rakyat Indonesia sama dan bersaudara. Film “Aisya Biarkan Kami Bicara” menjadi prototipe dari film Indonesia yang berdaya edukatif. Masyarakat Indonesia dan siswa seminari Mataloko khususnya harus berani mengambil sikap untuk memilih bahan tontonan yang mendidik seperti ini. Mengingat arus komunikasi dan internet yang semakin tak terkendali, maka sensor mandiri menjadi hal yang mutlak diperlukan insan intelektual lagi beriman dewasa ini.

Di penghujung pertemuan, pihak LSF memberikan cinderamata berupa buku Bunga Rampai 100 Tahun Sensor Film di Indonesia. Memasuki Abad Kedua, plakat dan sertifikat kepada lembaga seminari sebagai tanda terima kasih atas kerja sama yang baik demi terselenggaranya sosialisasi malam hari ini. Selain itu kepada seminaris diberikan juga buku panduan Sensor Film Mandiri sebagai pedoman literasi film.

Fr. Deni Galus, SVD

SIDANG KOMITE SEMINARI MATALOKO AWALI TAHUN PELAJARAN 2018/2019

Lembaga pendidikan calon imam SMP/SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko membuka tahun pelajaran 2018/2019 dengan menggelar sidang komite yang dilaksanakan pada Sabtu (21/7/18). Sidang yang dihadiri oleh ratusan orang tua/wali seminaris ini membahas beberapa hal di antaranya laporan pertangggungjawaban penyelenggaraan pendidikan  Seminari pada periode yang lama sekaligus membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari.

Praeses Seminari, Rm. Gabriel Idrus, Pr dalam sapaan awalnya menegaskan bahwa pertemuan komite adalah program rutin tahunan yang diselenggarakan Seminari sebagai bentuk tanggung jawab pihak pengelola Seminari dan orangtua pada penyelenggaraan pendidikan calon imam. Pertemuan komite baginya adalah kesempatan emas bagi orang tua untuk merapatkan barisan dan berbagi sukacita di antara mereka. “Bagi saya, Selain sebagai acara rutin tahunan, sidang komite juga menjadi sarana bagi para orang tua untuk merapatkan barisan, tempat berbagi cinta satu sama lain, demi gereja, demi anak-anak kita (baca: seminaris) dan pada akhirnya berkiblat pada tegaknya Kerajaan Allah di dunia ini,” demikian Rm. Gabriel Idrus, Pr memberi penegasan di awal pertemuan.

Lebih lanjut, Praeses yang sekaligus kepala SMA seminari ini menyebutkan bahwasannya, semua yang dikerjakan orang tua dan semua yang diusahakan dalam rahmat Tuhan selama ini dan di masa yang akan datang, turut membantu anak-anak untuk senantiasa selalu bertumbuh dan merawat panggilan mereka.

Merawat Panggilan

Pendidikan Seminari pada hakikatnya mengarahkan calon imam untuk mencintai panggilan dan mengusahakan pertumbuhannya. Keseluruhan proses formasi sebenarnya berjalan ke arah ini. Karena itu, bagi Rm. Beny Lalo, Pr, pembinaan di seminari memberikan kekhasan justru karena ia memperhatikan bukan hanya aspek intelektual melainkan perkembangan kepribadian secara keseluruhan.

Adapun proses pendampingan seorang calon imam di seminari Mataloko berlangsung selama 24 jam dengan memperhatikan beberapa aspek formasi seperti Sanctitas (kerohanian), Sapientia (kebijaksanaan), Scientia (pengetahuan), Sanitas (kesehatan) dan Socialitas (berjiwa Sosial). Seluruh aspek pembinaan yang ada merupakan kontekstualisasi  dari 12 living values yang dibentuk oleh PBB sebagai nilai dasar kehidupan di antara sesama manusia. Melalui lima aspek formasi yang ada, seminaris yang memberikan dirinya untuk dibentuk di Seminari Mataloko ditempa agar kini dan kelak dapat menjadi pribadi yang cinta damai, rendah hati, penuh kasih sayang, berjiwa toleransi dan memiliki spirit penghargaan, Kejujuran, kerja sama, tanggung jawab serta kesederhaan untuk berbagi dalam persahabatan. Pembinaan di seminari pada prinsipnya menekankan asas kebebasan demi sebuah kebahagiaan pribadi dan sesama.

Lima aspek formasi atau yang sering disingkat menjadi 5S ini berjalan seimbang dalam satu hari kehidupan seorang seminaris pada panti pendidikan calon imam Seminari Mataloko mulai dari bangun pagi hingga istirahat malam. Untuk itu, seminaris bukan hanya belajar dalam ruangan melainkan keluar dan mengakrabkan diri pada tanah yang memberikan kehidupan. “Belajar merawat tanah juga menjadi kesempatan bagi seminaris untuk mencintai panggilannya sendiri. Sebagaimana tanah akan subur ketika dijga dan dipelihara, demikianpun halnya dengan panggilan hidup seorang calon imam akan tumbuh dengan subur jika dirawat dan disiram dengan air rohani,” demikian Romo Sil Edo, Pr menambahkan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari

Sidang Komite ditutup dengan pengesahan Rancangan anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari. Adapun Penyusunan Rancangan APB seminari mengacu pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga Komite Sekolah SMP dan SMA Seminari. AD dan ART tersebut didasarkan pada  Permendikbud No. 75 tahun 2016 tentang Revitalisasi Komite Sekolah dan mempertimbangkan Perpres No. 87 tahun 2016 tentang aturan Pungli.

Rapat pengesahan anggaran dipimpin langsung oleh ketua Komite Seminari Mataloko, Yohanes C.W. Ngebu. Bapak Yohanes menggarisbawahi pentingnya kontribusi komite dalam pembangunan seminari. Setelah dipertimbangkan secara bersama, dan atas izin anggota komite, maka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari kemudian disahkan dan ditetapkan menjadi APBS untuk digunakan selama satu tahun pelajaran yang akan datang. Sidang komite akhirnya ditutup oleh Praeses seminari.

Dalam kata penutupnya,  Praeses Seminari meminta bantuan doa dan dukungan dari komite sekolah, “Di hari-hari yang akan datang, ada banyak rencana besar yang akan dilakukan oleh Seminari. Karena itu, kami meminta partisipasi dari orangtua untuk masuk dalam irama yang sama dan marilah kita saling membantu dan doakan untuk kerja-kerja besar di hari-hari  yang akan datang,” ungkapnya.

Fr. Deni Galus, SVD