Tepat sebelah jalan Trans Bajawa-Ende panorama Bukit Sasa membias lewat mata masyarakat. Tak jemu-jemu orang-orang yang melintas mendelik jajaran gedung tua yang didiami para seminaris. Sungging senyum menampakkan citra lembaga yang kian lama hampir menapaki usia seabad.
Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko didirikan tanggal 2 Februari 1926 di Sikka, Maumere. Seminari ini kemudian dipindahkan ke Mataloko dan diresmikan pada 15 September 1929 di Mataloko, Ngada yang dikenang sebagai hari jadi seminari. Seminari ini kerap dikenal karena moto santo pelindungnya yang familiar di kalangan masyarakat yakni “semper ridens
“Semper ridens” dengan terjemahan “Selalu tersenyum” senantiasa menjadi citra tersendiri bagi lembaga ini. Bertahun-tahun ungkapan itu tetap eksis. Tak heran tulisan semper ridens sering terpampang di punggung baju angkatan. Kata orang, roman khas seminaris itu manis-manis dan mengandung aura yang berbeda saat tersenyum. Usut punya usut, apa misteri di balik ungkapan “semper ridens?”
Moto Santo Pelindung
St. Yohanes Berkhmans memang sengaja memilih moto hidup semper ridens. Latar belakang spiritual yang amat mendalam menjadikan santo muda ini model yang istimewa. Ia dilahirkan di Diest, Belgia, 13 Maret 1599 dan meninggal pada 13 Agustus 1621 sebagai anggota Serikat Yesus.
Sejak muda St. Yohanes Berkhmans ingin menjadi kudus. Kecintaannya menjalankan hal biasa dengan hati yang luar biasa menjadikannnya unik di mata teman-temannya. Totalitasnya dalam tugas dan rutinitas tampak dalam hal-hal kecil terutama pekerjaan kotor sekalipun. Ia jalankan itu dengan sepenuh hati dan keceriaan sehingga teman-temannya akrab meyapa Yohanes dengan panggilan “frater hilaris”(frater yang selalu ceria).
Positivity Brings Energy
Pancaran emosi melalui senyuman mengungkapkan kedalaman jiwa St. Yohanes Berkhmans. Para formator mengharapkan daya seperti itu hidup di tengah seminaris. Dalam satu wawancara dengan Romo Nani, ia mengungkapkan secara gamblang betapa pentingnya senyuman yang dilahirkan dari ungkapan batin terdalam.
“Senyum bukan penghias permukaan saja, justru itu merupakan daya tarik dari kedalaman yang jauh lebih besar,” tutur romo Nani (29/09/24). Menurutnya, pancaran citra seminari terlihat akibat kualitas yang sungguh tampak bukan sekadar nama.
Ungkapan semper ridens merupakan ajakan yang membebaskan. St. Yohanes Berkhmans sebagai model, sejatinya mengarahkan seminaris terutama orang muda menjadi “frater hilaris” di zaman kontemporer. Aturan yang serasa mengekang tidak akan menjadi persoalan. Kegembiraan yang terpancar dari kedalaman diri seminaris memberikan injeksi energi sebagai akibat dari kepuasan batin.
Para tenaga pendidik di seminari juga mengalami hal serupa. Di umur yang terbilang paruh baya, karisma emosional para formator yang berangkat dari moto St. Yohanes Berkhmans sungguh menggugah. Walaupun tua semangat tetap muda. Ikatan emosional seperti itu, justru membangun atmosfer yang sehat dalam pemberdayaan calon imam yang bergerak seiring teladan St. Yohanes Berkhmans.
Mengapa Semper Ridens?
Ungkapan semper ridens merupakan kebijaksanaan hati St. Yohanes Berkhmans yang tumbuh dari iman. Persis kalimatnya yang berbunyi “maxime facere minima” atau lakukanlah hal-hal kecil dengan hati yang besar, lembaga seminari jelas menempatkan santo muda ini sebagai teladan untuk hidup atas dorongan yang terdalam.
Kebesaran hati dalam menjalankan rutinitas, menjadi pembendung kejenuhan. Optimisme seminaris ditumbuhkan lewat hal sederhana seperti tersenyum sekali pun dalam situasi sulit. Tidak diketahui secara pasti, alasan dipilihnya St. Yohanes Berkhmans sebagai pelindung oleh pendiri seminari tertua kedua di Indonesia ini tetapi lembaga meyakini kehendak Tuhan yang bekerja di balik semua itu.
Fr. Pankrasius Tevin Lory, yang kerap disapa frater Tevin, alumnus seminari St. Yohanes Berkhmans yang saat ini menjalankan tahun orientasi pastoralnya (TOP) di almamater, membeberkan pengalamannya akan penghayatan ungkapan semper ridens sejak mengenyam pendidikan di seminari ini.
Ia mengakui bahwa senyuman merupakan cerminan dari sikap positif dan optimis dalam menghadapi tantangan hidup. “Senyum adalah simbol penerimaan tanpa pandang bulu. Dengan itu kita membangun koneksi emosioanl yang kelihatan sederhana tapi sungguh dalam,” ujar frater yang murah senyum ini (03/10/24).
“Ketika tersenyum, kita menghadirkan damai, bahkan untuk keadaan yang tidak selalu ideal. Kita menghapus letih dengan sinyal cinta yang tulus,” tambahnya.
Seminaris yang sungguh menghidupi moto santo Yohanes Berkhmans ini menjalani hari-harinya dengan lebih ringan. Aura itu tampak pada keceriaan mereka dalam menjalankan rutinitas sehari-hari.
“Senyum adalah kebaikan yang paling sederhana. Senyum itu pelarian dari tumpuknya beban, semacam relaksasi. Jadi komunikasi berjalan lancar ketika diwarnai senyuman,” ungkap Olan Nanga, siswa SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans.
Pautannya dengan Kajian Ahli
Dalam buku Emotional Inteligence: Mengapa Eq Lebih Penting dari Iq, Daniel Goleman secara eksplisit menyebutkan bahwa emosi itu semacam virus sosial. Isyarat-isyarat emosional seperti senyuman menular dalam setiap perjumpaan dan memengaruhi orang-orang di sekitar.
Penelitian menunjukkan bahwa manusia meniru emosi-emosi secara tak sadar. Hal ini terbukti melalui riset Ulf Dimberg, seorang peneliti Swedia pada University of Upsala bahwa suasana hati yang sama akan dirasakan ketika melihat wajah tersenyum atau marah, tergantung suasana hati siapa yang lebih kuat.
Bertolak dari eksplorasi Daniel Goleman, konteks kehidupan seminaris yang dibaluti semangat moto St. Yohanes Berkhmans bisa menjadi hal yang luar biasa. Bayangkan, jika senyuman sungguh merupakan cerminan sikap positif dan optimis, betapa indah hidup dalam satu kebersamaan dengan senyuman sebagai tanda kesiap-sediaan melakukan sesuatu dengan ceriah mulai dari hal kecil. Semper ridens! (Adelino Kesu).