“Elpida”: Mari, Belajar Mengintrospeksi Diri!

Komunitas Teater Kata Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko menggelar aktus Natal bertajuk “Elpida” di Aula SMPS Seminari Mataloko pada Kamis, 19 Desember 2024, pukul 20:00 hingga 22:00 WITA. Aktus Natal ini diperankan oleh siswa SMPS Seminari Mataloko dan siswi SMPS Kartini Mataloko.
Elpida
Menurut Fr. Tian Gunardo, OFM, Fr. Yonsi Yopador, SVD, dan Fr. Tevin Lory selaku sutradara, aktus Natal tersebut bertujuan untuk memaknai Perayaan Natal tahun 2024 dan sekaligus membuka ruang refleksi untuk menyongsong tahun penuh harapan, “Yubileum 2025”. Judul “Elpida”, menurut penulis naskah aktus Natal, Fr. Tevin Lory, diambil dari bahasa Yunani yang berarti “harapan”. Kata ini, bagi Tevin, memiliki makna mendalam dalam konteks budaya, agama, dan filsafat Yunani.
Dalam Mitologi Yunani, Elpida dikaitkan dengan mitos kotak Pandora. Ketika Pandora membuka kotak berisi semua kejahatan dunia, harapan adalah satu-satunya yang tersisa di dalamnya. Ini melambangkan bahwa bahkan dalam situasi tersulit, manusia masih memiliki harapan.
Dalam Kekristenan Ortodoks Yunani, Elpida sering digunakan dalam konteks religius yang mengacu pada harapan akan keselamatan dan kepercayaan kepada Tuhan. Kata ini muncul dalam tulisan-tulisan teologi Yunani, terutama dalam Perjanjian Baru yang ditulis dalam bahasa Yunani Koine, di mana harapan adalah tema sentral dalam iman Kristen.
Dosa Tuhan
Saat menyaksikan pergelaran aktus Elpida tersebut, penulis tertarik dengan salah satu adegan yang mengisahkan kebiasaan sebuah keluarga yang berdoa, mengaku, membacakan dosa-dosa mereka kepada Tuhan setiap tahun sebelum merayakan Hari Raya Natal. Tindak mengaku dosa kepada Tuhan ini tentu merupakan hal yang biasa atau hal yang lazimnya dilakukan oleh umat Katolik menjelang hari raya besar seperti Natal dan Paskah. Namun, ada hal unik yang selanjutnya dibuat oleh keluarga ini. Mereka tidak hanya mengaku, membacakan dosa-dosa mereka saja, tetapi juga membacakan dosa-dosa Tuhan.
Dosa-dosa Tuhan dibacakan terlebih dahulu. Kemudian, mereka membacakan dosa-dosa mereka. Daftar dosa Tuhan jauh lebih panjang daripada dosa mereka.
Dosa Tuhan, bagi keluarga ini merupakan keluhan mereka terhadap keputusan Tuhan yang terasa tidak adil bagi hidup mereka. Mereka mengeluh, “mengapa Tuhan membiarkan bencana alam terjadi? mengapa Tuhan membiarkan mereka terus hidup dalam kesusahan?”
Saat mereka berdoa-membacakan dosa-dosa mereka dan dosa-dosa Tuhan, anak pertama mereka menabrak seorang pemuda dengan motornya hingga tak berdaya. Bertambahlah dosa Tuhan.
Mereka selalu dan sangat cepat menyalahkan Tuhan di setiap masalah hidup yang mereka hadapi dan alami. Mereka lupa mengintrospeksi diri, melihat kesalahan dalam kehidupan keluarga mereka. Mereka terlalu cepat sombong dengan dengan segala kebaikan yang diterima dalam hidup mereka. Mereka merasa bahwa kebaikan-kebaikan dalam hidup mereka, semata-mata sepenuhnya berasal dari usaha mereka, bukan dari Tuhan.
Introspeksi Diri
Model hidup yang demikian selaras dengan situasi kehidupan kita saat ini yang cenderung mudah mengalami krisis kesadaran. Kita kadang terlalu cepat menyalahkan Tuhan dan sesama daripada merefleksikan kesalahan yang telah kita lakukan sendiri. Kita selalu mencari-cari alasan untuk membenarkan kesalahan yang kita lakukan dan tidak mau mengakuinya.
Kita bahkan sampai pada tahap memfitnah dan melempar tanggung jawab kita ke tangan Tuhan dan sesama. Kita bertindak seperti kelompok ahli Taurat dan Farisi yang dalam pandangan Yesus, “menaruh beban di bahu orang, tetapi enggan untuk menyentuhnya” (Mat. 23:4). Hal ini tentu saja melahirkan karakter yang buruk di dalam diri kita.
Karena itu, lewat salah satu adegan dalam aktus Natal ini, kita disadarkan untuk lebih banyak merefleksikan kehidupan kita. Kita diajak untuk lebih banyak mengintrospeksi diri daripada mengoreksi sesama dan Tuhan. (Adrian Weko).