DARI SIKKA KE MATALOKO

Spread the love

Cabang Meluas, karena Akar Mendalam – Kilas-Balik (1)
DARI SIKKA KE MATALOKO

Berdirinya Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko tidak terpisahkan dari dua tokoh besar, yakni Mgr. Arnold Vestraelen, SVD, Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (1922-1932) dan P. Frans Cornelissen, SVD.

Mgr. Vestraelen, SVD mendapat tantangan luar biasa dari para Vikaris Apostolik dan Perfek Apostolik se Indonesia ketika ia mengutarakan maksudnya untuk mendirikan sebuah seminari di Flores, dalam sebuah konferensi di Batavia.

Penolakan yang jauh lebih besar datang dari para misionaris di Kepulauan Sunda Kecil. Baru sebagian kecil masyarakat Flores dipermandikan, sebagian besar masih kafir. Karena itu mendirikan sebuah seminari di tengah masyarakat yang sebagian besar kafir itu hampir terasa mustahil. Itu keberatan utama mereka. Maklum banyak dari para misionaris ini adalah pindahan dari tanah misi di Togo, Afrika. Di sana mereka gagal mendirikan seminari karena alasan serupa.

Namun Mgr. Vestraelen, SVD teguh dengan keyakinannya, bahwa bangsa Flores itu gens naturaliter christiana, bangsa yang secara alamiah Kristen. Bangsa ini mempunyai citra-rasa religius dan moral yang tinggi, dan itu menjadi alasan kuat baginya mendirikan seminari.

Ketika P. Frans Cornelissen, SVD tiba di Indonesia tahun 1925, gayung bersambut. Mgr. Vestraelen segera memerintahkan P. Frans mendirikan seminari. Dia tahu watak P. Frans Cornelissen, dan dia tahu pula bahwa imamnya itu telah menyelesaikan kursus guru bantu dan kursus Kepala Sekolah di Belanda, dan baginya bekal itu cukup untuk tugas yang dia sendiri tidak bisa gariskan.

Karena itu ketika P. Frans Cornelissen kebingungan bagaimana memulai proses pendidikan calon imam, Mgr. Vestraelen berkata, “Ajarkan apa saja yang kau anggap berguna. Anda kan guru, anda tahu lebih baik daripada saya”.

Dari yang Kecil
Dengan kepercayaan begitu besar dari Bapak Uskup, P. Cornelissen memulai karya besar ini. Tempat yang dipilih adalah Sikka, sebuah kampung kecil di pantai selatan Maumere, dengan penduduk 1000 orang.

Alasan terpilihnya Sikka sebagai tempat dimulainya seminari ini sederhana saja. Saat itu paroki Sikka tidak mempunyai pastor tetap. Sementara itu di Sikka pastoran peninggalan para imam Jesuit itu besar, terbuat dari kayu jati yang kuat. Jadi kalau seminari dimulai di Sikka, pastor pembina bisa sekaligus merangkap pastor paroki, dan pastoran besar itu dapat langsung dijadikan asrama seminari.

Dengan persiapan dan fasilitas seadanya, seminari itu diresmikan tanggal 2 Februari 1926, oleh Mgr. Vestraelen, SVD. “In het land der blinden is ḗḗn-oog koning! – seorang bermata satu di antara orang-orang buta, dialah raja”, ungkap P. Cornelissen, untuk melukiskan bagaimana karya besar ini dimulai dengan serba sederhana, dan dilakukan nyaris seorang diri.

Itulah uniknya karya Tuhan. Tentang awal yang serba kecil dan sederhana ini, P. Tarsis Djuang, SVD, dan P. Elias Doni Seda, SVD, menulis catatan menarik berkenaan dengan 60 tahun seminari, 15 September 1989: “Hampir setiap orang dapat melakukan hal besar dalam dan bagi suatu peristiwa besar. Tapi hanya Tuhanlah yang melakukan hal besar dalam peristiwa kecil. Karya penyelamatanNya adalah karya besar, tapi dilaksanakan lewat inkarnasi, suatu peristiwa yang begitu kecil dan hina”.

Berpindah ke Mataloko
Tahun 1928, setelah dua tahun berada di Sikka, jumlah siswa membengkak dari 7 orang angkatan pertama menjadi 26 orang. Sebuah tanda jelas, yang menunjukkan suburnya panggilan di Flores, sekaligus mencengangkan sebagian misionaris yang pesimis.

Namun, sebuah tantangan besar menghadang. Pastoran tidak bisa diperluas lagi, dan Sikka tidak mempunyai tanah luas dan kosong untuk membangun sebuah kompleks seminari. Harus dipilih tempat yang baru, di luar Sikka. Di mana?

Ada banyak pro kontra di kalangan misionaris. Namun akhirnya P. Jan van Cleef, SVD dalam jabatannya sebagai Provikaris, meyakinkan para misionaris bahwa Mataloko adalah tempat yang paling cocok sebagai lokasi baru bagi seminari. Iklimnya sejuk, di ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Di sana nyamuk tak bertahan hidup dan karena itu para siswa bisa terhindar penyakit malaria. Selain itu, tanah di Mataloko luas dan subur, sehingga dapat diusahakan kebun untuk makanan sehari-hari.

Maka pada tanggal 15 Juli 1928 Mgr. Vestraelen meletakkan batu pertama pembangunan kompleks seminari di Mataloko. Setahun kemudian, pada liburan besar bulan Juni-Juli 1929, mulailah perpindahan seminari dari Sikka ke Mataloko. Pada tahun itu juga beralih tahun ajaran baru dari bulan Januari ke Agustus, sehingga pada bulan Agustus diterima lagi murid baru. Total siswa seminari pada tahun ajaran baru 1929 berjumlah 30 orang.

Tanggal 15 September 1929 dilangsungkan misa pontifical pemberkatan sekaligus peresmian seminari ini oleh Mgr. Arnold Vestraelen, SVD. Hadir saat itu sejumlah tokoh Pemerintah dan Gereja.

Catatan paling lengkap mengenai peristiwa bersejarah itu dibuat oleh P. Henricus Leven, SVD, Provikaris saat itu. Ia menuliskan laporan lengkap mengenai pembicaraan-pembicaraan saat itu, baik oleh P. Frans Cornelissen, SVD, seorang siswa seminari bernama Gabriel Manek, Mgr. Arnold Vestraelen, SVD, maupun Asisten Residen Flores, C.A. Bosselaar.

Semua pembicaraan bernada syukur dan optimisme yang besar, bahwa seminari ini akan tetap eksis, apapun krisis yang dihadapinya, dan akan berkiprah jauh ke depan, tidak hanya demi kepentingan Gereja, tetapi juga bangsa dan tanah air.

Sebagian kata-kata P. Cornelissen, SVD layak digemakan kembali: “Kita berdiri lagi di sini untuk menunjukkan salah satu dari vitalitas yang tak tertahankan dari Gereja Katolik, yang sering mencengangkan mereka yang berbeda pikirannya. Kadang-kadang ketika ia (gereja) seolah-olah melihat bahwa kehancurannya sudah dekat, ia menegakkan dirinya kembali dan setelah kesulitan yang tak henti-hentinya ia pun kembali dengan penuh kejayaan”.

Tentang seminari ini ia mengungkapkan keyakinannya: “Kami memiliki harapan yang teguh, bahwa dari sekolah ini akan muncul para pemimpin bangsa yang berasal dari Flores dan Timor” (Daniel Dhakidae, dalam Percik-Percik Kenangan Alumni, hal.230-233) (Nani – Disarikan dari buku In Dei Providentia).

Comments are closed.