MOANA DAN KISAH ANAK YANG HILANG

Ia maju ke depan kelas dengan langkah canggung. Beberapa orang teman bertepuk tangan untuknya tetapi ia menampilkan ekspresi datar. Seluruh perhatian anggota kelas terarah kepadanya tetapi ia hanya terpaku memandangi lantai. Ia menyembunyikan tangan dan bukunya di belakang pinggang. Suasana kelas seketika hening. Semua menanti rangkaian kalimat yang akan keluar dari mulutnya. Ia membuka buku, melirik singkat ke arahku dan menarik napas. Aku mengangguk pelan, memberinya kesempatan untuk mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya kepada seluruh anggota kelas.

Ia mulai membaca hasil diskusi kelompok dari buku catatannya. Suaranya bergetar, seirama dengan getaran jari tangan yang memegang buku. Gugup. Beberapa kata salah diucapkan tapi cepat diperbaiki. Seluruh anggota kelas diam menyimak penjelasannya. Aku sendiri mulai meraba-raba alur gagasan kelompok yang sedang dipresentasikannya.

Pada semester ini, aku dipercayakan untuk mengampu mata pelajaran ekstrakulikuler Pendidikan Nilai bagi seminaris kelas delapan. Pendidikan Nilai merupakan pelajaran khas Seminari St. Yohanes Berkhmans, Mataloko. Melalui pelajaran ini siswa diperkenalkan dengan nilai-nilai khas seminari yang dikenal dengan nama 5S (Sanctus, Scientia, Sapientia, Sanitas, Sosialitas) beserta penjabaran yang relevan dengan kehidupan mereka sehari-hari di asrama. Tujuan pelajaran ini adalah agar para seminaris menghayati kelima nilai tersebut dalam kehidupan mereka sehari-hari sehingga mereka dapat menjadi pribadi-pribadi calon imam yang berkembang secara holistik.

Saya mengawali pertemuan pertama bersama para seminaris kelas delapan dengan tema sosialitas. Secara sederhana sosialitas berkaitan dengan kenyataan bahwa para seminaris hidup bersama dalam satu asrama. Mereka hidup bersama dalam asrama dengan aturan yang ketat lantaran satu visi yang sama: membina diri untuk menjadi pekerja di kebun anggur Tuhan. Oleh karena itu, mereka mesti memiliki suatu cara pandang dan kebiasaan yang khas di mana aturan hidup harian menjadi penuntun bagi mereka. Setiap seminaris tidak dapat hidup untuk dirinya sendiri saja, tetapi ia juga hadir dan ada bagi seminaris yang lain. Segala tindakan yang dilakukannya, entah baik atau kurang berkenan, pasti memiliki dampak bagi seminaris lain. Proses pembentukan diri juga terjadi berkat bantuan dan dukungan di antara mereka.

Pertemuan pertama kami awali dengan menonton film animasi Moana. Film keluaranWalt Disney Animation Studiotahun 2016 dan disutradarai oleh Ron Clements dan John Musker ini mengangkat cerita rakyat dari wilayah Polinesia. Film Moana berkisah tentang perjuangan Moana, anak kepala suku Motunoui bersama Maui, manusia setengah dewa dalam mengarungi latuan luas. Mereka berlayar untuk mengembalikan jantung Te Fiti (The Heart of Te Fiti), Ibu Bumi, yang sebelumnya dicuri oleh Maui dari Te Fiti. Jantung Te Fiti mesti dikembalikan untuk meredam amarah Te Fiti dan mengakhiri bencana global termasuk gagal panen yang dialami penduduk Motunoui. Moana menjalani tugas ini karena satu alasan utama. Ia telah dipilih oleh lautan (the ocean) sejak ia masih kecil untuk menjadi penyelamat.Singkat cerita, Moana dan Maui berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik. Bencana berakhir dan masyarakat Motunoui mengetahui takdir mereka adalah bangsa penjelajah samudera.

     Setelah menonton film para seminaris mulai berdiskusi dalam kelompok. Diskusi dilakukan dengan bantuan pertanyaan penuntun untuk membahas tentang tokoh-tokoh dalam film Moana beserta karakter baik dan buruk yang mereka miliki berdasarkan pengamatan atas film. Saya juga meminta mereka untuk memilih tokoh yang disukai dan tidak disukai beserta alasan mereka menyukai atau tidak menyukai tokoh tersebut. Hasil diskusi dalam kelompok akan dipresentasikan kepada seluruh anggota kelas.

Selama diskusi berlangsung, para seminaris menaati empat aturan yang disepakati bersama. Pertama, selama diskusi berlangsung mereka tidak diperbolehkan untuk mengeluarkan argumen yang bermaksud menghina atau mengolok anggota kelompok. Kedua, siswa yang maju untuk memberikan presentasi adalah siswa yang jarang atau bahkan tidak pernah tampil di hadapan teman-temannya. Ketiga, orang yang ditunjuk tersebut tidak boleh menolak. Menolak berarti membuang kesempatan untuk menjadi orang hebat dan tidak menghargai dukungan dari teman-teman dalam kelompok. Keempat, siapapun yang tampil untuk berbicara harus didengarkan oleh seluruh anggota kelas.

Setelah diskusi, tiga orang pertama maju ke depan kelas mewakili kelompok masing-masing. Ketiganya memberikan presentasi yang menarik. Film Moana diulas dalam tiga perspektif yang berbeda. Elaborasi kelompok mengenai film tidak sekadar menjawab pertanyaan penuntun. Mereka juga mengkonfrontasikan dan mengaitkan film tersebut dengan kehidupan sehari-hari di asrama dalam berbagai sudut pandang. Ada yang mengidolakan Moana karena komitmennya menjawabi panggilan Ocean untuk mengembalikan The Heart of Te Fiti. Ada juga yang megidolakan Maui karena sikapgentleman mengakui kesalahandan bersedia menebus kesalahan dengan cara menemani Moana mengembalikan The Heart of Te Fiti. Ada juga yang mengidolakan Heihei, ayam konyol teman setia Moana sepanjang perjalanan bertemu Te Fiti. Alasan mereka sederhana, dalam kehidupan bersama di asrama dibutuhkan komitmen seperti Moana. Jika melakukan kesalahan mereka dapat bertindak seperti Maui Mereka juga dapat menjadi penghibur seperti Heihei bagi teman-teman yang mengalami kesulitan, meskipun mereka harus terlihat konyol.

Setelah tiga perwakilan kelompok tersebut, saya menunjuk ke kelompok selanjutnya. Kelompok ini berdiskusi di pojok kelas. Berbeda dengan kelompok lain yang terlihat sibuk ketika berdiskusi bahkan sampai beradu argumen, kelompok ini tidak menunjukkan sesuatu yang istimewa. Suara mereka  tertutup oleh suara kelompok lain. Aktivitas diskusi yang mereka lakukan terlihat biasa saja. Lalu mereka mengutus dia yang duduk di pojok untuk memberikan presentasi.

Ia masih berbicara dengan suara bergetar. Saya terus mendengarkan presentasinya sambil mencoba meraba alur pemikiran yang ditawarkan. Sekali lagi, kelompok ini hadir dengan cara pandang yang berbeda dengan tiga kelompok sebelumnya. Pada pertengahan presentasinya aku terkesiap. Sudut pandang yang ditawarkan oleh kelompok ini istimewa. Mereka bukan hanya membahas film Moana. Film fantasi yang diadaptasi dari cerita rakyat Polinesia itu juga dikaitkan dengan perikop kitab suci yang dibacakan pada perayaan Ekaristi pagi hari itu, Perumpamaan tentang Anak yang Hilang (Luk. 15: 1-3, 11-32). Perumpamaan ini khas pengarang Lukas. Pada injil sinoptik lain tidak ditemukan kisah serupa. Lukas menggambarkan dinamika relasi antara Allah dengan manusia dalam injilnya dengan begitu menarik. Allah hadir dalam pribadi Bapa dengan sifat maharahimNya yang tidak terbatas dan karakter manusia dengan segala dinamika keterbatasan dan kesadarannya terwakili pada diri anak bungsu dan anak sulung. Ia membacakan hasil diskusi dalam kelompok.

Injil pada hari ini berkisah tentang Yesus yang menceritakan perumpamaan tentang anak yang hilang kepada para ahli Taurat dan orang Farisi. Kisah ini berbicara tentang relasi Ayah dan Anak. Ayah dalam Injil sama dengan Te Fiti dalam Film. Mereka adalah sumber kehidupan bagi anak-anaknya. Maui dalam film seperti anak bungsu dalam Injil. Maui mencuri hati Te Fiti. Ia mengkhianati Te Fiti yang memberikan kehidupan bagi dunia. Anak bungsu meminta warisan ketika ayahnya masih hidup. Akhir kisah anak Bungsu dan Maui sama. Keduanya berlumur penyesalan dan rasa malu.

Moana adalah harapan untuk kembali. Ia menjadi jalan bagi Maui untuk kembali berdamai dengan Te Fiti, Sang Pemilik kehidupan. Ia menjadi jalan bagi Maui untuk secara gentleman mengakui kesalahan yang telah dibuat. Satu hal yang membuat anak bungsu dalam injil kembali adalah harapan akan pengampunan. Reaksi Te Fiti serupa dengan reaksi Bapa dalam Injil. Ia tidak menghukum anaknya yang berbuat salah tetapi mengampuninya. Bahkan bagi anak bungsu dibuatkan pesta yang besar. Maui mendapatkan pancing ajaib baru dari Te Fiti setelah pancing ajaibnya yang lama rusak ketika bertempur melawan Te Ka.

     Selalu ada jalan untuk memperbaiki kesalahan. Selalu ada kesempatan untuk bertobat dari kesalahan dan memperbaiki diri menjadi lebih baik. Kelemahan manusia adalah selalu jatuh dalam dosa dan kesalahan. Akan tetapi, Allah menganugerahkan kepadanya budi baru sehingga ia dapat selalu bertobat dan menyadari kesalahannya. Masa prapaskah ini adalah jalan bagi kita sebagai seminaris untuk kembali kepada Allah. Memperbaiki hubungan yang telah rusak karena kesalahan yang telah kita perbuat”

Ruangan kelas diliputi keheningan. Suara-suara cibiran ketika ia mengaitkan film Moana, perumpamaan tentanganak yang hilang, masa prapaskah, dan hidup sebagai seminaris lenyap. Presentasinya telah membius kami semua. Aku terkesima mendengar presentasinya. Ide yang ditawarkan luar biasa. Kelompok ini mampu melihat adanya kesamaan dalam empat situasi yang berbeda dan mengaitkannya dengan apik. Film bukan sekadar hiburan bagi mereka tetapi mengandung nilai-nilai yang dapat menyentuh aspek personal kehidupan mereka. Sekarang, giliran dirinya menatap seluruh penghuni kelas. Setelah sepersekian detik takjub kami mengapresiasi presentasi itu dengan tepuk tangan keras. Ia kembali ke tempat duduk sambil tersipu malu.

Aku keluar ruangan kelas sambil tersenyum kecil. Proses pembelajaran yang baru saja kami lakukan mengungkap banyak hal. Para seminaris cilik ini telah memahami makna pengalaman. Pada setiap pengalaman yang mereka dapatkan di seminari terpendam nilai-nilai kehidupan. Mereka sendiri yang menemukan nilai-nilai itu dan saling berbagi satu dengan yang lain, dimulai dalam ruang kelas. Film hanyastimulan, membantu mereka untuk berimajinasi, berpikir, dan merenungkan kehidupan mereka sendiri, menemukan nilai-nilai kehidupan, menyadarinya, dan perlahan-lahan menghayatinya. Para seminaris cilik ini menunjukkan potensi diri yang luar biasa dibalik kesahajaan hidup sehari-hari.

Mereka belajar saling mendukung satu sama lain dengan berbagi pikiran dan refleksi. Mereka mendukung temannya yang jarang tampil untuk presentasi dengan cara memberi kepercayaan kepadanya. Ia diberi kepercayaan untuk tampil dan seluruh anggota kelas setia mendengarkan presentasinya. Setelah presentasi teman-teman mengapresiasinya dengan tepukan tangan. Sebuah tindakan kecil tetapi sangat berharga bagi orang yang diberi kepercayaan karena dirinya merasa dihargai dan didukung.

Aku keluar dari ruang kelas dengan suatu niat. Para seminaris cilik ini memendam harta berharga pada dirinya. Harta itu harus ditemukan dan dikembangkan agar berguna bagi banyak orang. Agar mereka dapat bertumbuh dan berkembang secara utuh serta bahagia menjadi manusia dan ketika dipanggil menjadi pekerja di kebun anggur Tuhan.

Sdr. Rio Edison, OFM

TOPER

MENYATUKAN HATI DEMI PENDIDIKAN CALON IMAM

            Temu orangtua seminaris dengan para formator Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung hari Minggu (4/2/2018). Kegiatan seharian itu diawali Ibadat Sabda oleh Fr. Ces Djo, lalu tatap muka bersama Rm. Praeses di kapela SMA, dilanjutkan dengan pembicaraan terpisah para orangtua seminaris SMP bersama tim prefek (pamong) SMP di Aula Rekreasi SMP, dan para orangtua seminaris SMA bersama tim prefek SMA di Ruang Musik SMA. Tampil pula paduan suara Berkhmawan menghibur para orangtua.

            Di hadapan ratusan orangtua seminaris yang memenuhi kapela SMA, Rm. Gabriel Idrus, Pr, Praeses Seminari, mengungkapkan terima kasih yang tulus karena para orangtua berkerelaan hadir pada Hari Orangtua Seminaris (HOS) tahun ini. “Bapak Uskup memandang HOS sebagai wujud konkrit tanggungjawab gereja terhadap pendidikan calon imam, dan gereja adalah kita semua. Terima kasih atas kehadiran bapak/ibu”.

            Selanjutnya, Rm. Idrus kembali menegaskan tujuan berdirinya seminari. Dikatakannya, seminari ini ada karena gereja membutuhkan imam. Imam yang dibutuhkan adalah imam yang mampu menghadirkan Kristus sebagai Imam Agung, yang mampu menjalankan tugas imamat yakni sebagai nabi yang mewartakan, gembala yang memimpin, dan imam yang menguduskan. Imam-imam seperti ini mempunyai tuntutan kerohanian yang khas, dan habitus yang khas, dan untuk itulah seminari didirikan. “Seminari didirikan karena keharusan misioner, bukan karena selera manusiawi. Aturan-aturan yang ada diciptakan agar 5 S (sanctitas, scientia, sapientia, sanitas, socialitas) berkembang menjadi habitus dalam diri calon imam”, katanya.

Rumah Pengkaderan

Secara singkat Rm. Idrus mengangkat kembali pembicaraan Bapak Uskup Agung Ende, Mgr. Vincensius Sensi Potokota, pada kegiatan HOS tahun 2016 lalu.

“Menarik sekali, saat itu Bapak Uskup berbicara tentang seminari ini sebagai rumah pengkaderan, tentu dengan tujuan agar para siswa kita kelak dapat menjadi imam yang tangguh”, papar Rm. Idrus. Ia menyebutkan beberapa hal yang disampaikan Bapak Uskup saat HOS itu.

            Pertama, sebagai lembaga pengkaderan, orang tidak bisa datang ke seminari dengan motivasi setengah-setengah. “Kalau sekedar cari ilmu atau keterampilan, di mana-mana bisa” tambahnya, meniru ucapan Uskup. “Pengiriman anak ke seminari, karena itu, tidak bisa dilakukan dengan motivasi, ‘kami titip anak ke seminari – siapa tahu Tuhan pilih’. Dari awal motivasi mestinya sudah harus dipertegas, diperbarui. Identitas itu harus tegas dan jelas. Para siswa harus sudah mencintai identitas itu sejak awal, itu pesan Bapak Uskup”.

Rm. Idrus meminta para orangtua bahu-membahu membantu agar sejak awal anak-anak mencintai panggilannya, misalnya, dengan terus mendorong anak-anak menghayati 5 S dalam hidupnya melalui kerelaan mengikuti pedoman dan aturan hidup yang sudah teruji dari waktu ke waktu. “Kita semua diminta mendukung dengan segenap hati, bukan dengan setengah hati, apalagi dengan motivasi-motivasi tersembunyi, yang membuat anak-anak kita tergoda untuk menghayati identitas ganda: di muka umum dia pura-pura menjadi calon imam, di belakang-belakang secara sembunyi-sembunyi dia menghayati hidup seakan-akan bukan sebagai calon imam”, tegas Rm. Idrus.

Kedua, Rm. Idrus menyampaikan harapan Bapak Uskup agar para orangtua mempercayakan anak-anak kepada para formator seminari dengan sepenuh hati, dari lubuk hati. “Berkali-kali Bapak Uskup meminta agar kepercayaan diberikan dari lubuk hati karena di dalam lubuk hati ada kasih-sayang, ada tanggungjawab, ada nurani, ada suara kehendak Tuhan”, tambahnya. Keputusan-keputusan yang diambil di seminari, lanjutnya, tidak berdasarkan suka atau tidak suka, tetapi sudah digariskan dalam pedoman yang jelas. “Namun agar semuanya bisa berjalan dengan baik, perlu ada tanggungjawab bersama. Dalam kata-kata Bapak Uskup, tidak usah merusakkan anak-anak dengan kasih-sayang yang tidak benar, yang tidak nyambung, kasih sayang yang memanjakan”.

Dalam perbincangan dengan masing-masing prefek/pamong banyak dibicarakan tentang kehidupan para siswa di asrama, agar ada pengertian dan tanggungjawab bersama untuk merawat panggilan dan menumbuhkembangkan kepribadian anak.

Usai pertemuan dengan para formator, para orangtua berkesempatan bercengkerama dengan anak-anaknya, sambil menikmati makan siang bersama.

HOS tahun ini adalah kegiatan ketiga kalinya sejak pertama kali dilaksanakan tahun 2015 silam. Kegiatan ini diagendakan sebagai momen tahunan (Nani).

MAHASISWA POLITEKNIK PRAKTIK LAPANG DI SEMINARI MATALOKO

            Tiga mahasiswa/i Politeknik St. Wilhelmus Boawae, yakni Magdalena Dhema (23), Maria Winfrida Wua Dhema (22), dan Servasius Podhi (23), dari jurusan Nutrisi Peternakan  menjalani praktik lapang di Seminari Mataloko selama tiga bulan terhitung 27/02/2018 silam.

Ditemui saat bekerja di kandang babi di Tanjung, Seminari Mataloko, ketiganya mengaku sangat bergembira berada di tengah komunitas seminari. Fokus praktik lapang adalah pada teknik pengolahan pakan dan pengaruhnya pada perkembangan ternak serta manajemen pemeliharaan ternak babi.

Ketiganya berharap, selain belajar menerapkan ilmunya dalam karya nyata, kehadiran mereka membawa manfaat bagi pengembangan usaha ternak babi di lembaga pendidikan calon imam ini. Harapan lainnya, di masa mendatang usaha ini dapat makin berkembang  mengingat ketersediaan kandang yang luas walau dibutuhkan renovasi karena dimakan usia, ketersediaan air dan pakan alami yang cukup.

Bagian dari Kewirausahaan Sekolah dan Pelayanan Masyarakat

            Usaha ternak adalah bagian kewirausahaan SMP dan SMA Seminari, yang peruntukkannya adalah pemenuhan kebutuhan komunitas seminari dan pelayanan kepada masyarakat sekitar.

            Para siswa membutuhkan asupan protein yang cukup untuk kesehatan tubuhnya yang, tentu saja, berpengaruh bagi kesehatan mental dan ketahanan belajar. Kecuali tahu, ikan dan telur yang rutin disuguhkan setiap hari, mereka mendapatkan lauk berupa daging babi.

            Masyarakat sekitar mendapat pelayanan dari usaha ternak ini. “Sejauh ini masyarakat sangat terbantu, baik yang membutuhkan babi besar maupun breeding atau babi untuk pengembangbiakan. Bahkan Pemerintahpun mendapatkan pasokan babi untuk kelompok-kelompok ternak babi di tengah masyarakat”, ungkap Rm. Seli Fe, Pr, penanggungjawab kandang babi.

            Pelayanan kepada masyarakat melalui penyediaan babi besar dan breeding adalah hal baru yang dikembangkan dalam usaha ternak ini. Sudah lama usaha ternak babi dijalankan, bahkan sejak zaman para misionaris SVD, tetapi perhatiannya lebih untuk kebutuhan ke dalam.

            Mengapresiasi peran sosial usaha ternak babi ini, Pemerintah memberikan perhatian besar khususnya melalui penyediaan induk babi dan pejantan. “Bapak gubernur sendiri menyalurkan bantuan dan berkenan mengunjungi ternak babi di Tanjung”, jelas Rm. Seli.

Butuh Renovasi Kandang

            Kendala yang dialami saat ini adalah keadaan kandang yang terlihat tua, lapuk, dan kurang sehat bagi pertumbuhkembangan babi. “Kita membutuhkan renovasi kandang secara menyeluruh khususnya kandang induk babi sehingga semakin banyak induk babi yang tertampung dalam kandang yang memadai. Renovasi itu mendesak, karena kandang yang ada adalah warisan para misionaris SVD sejak tahun 1920-an, yang saat itu dibangun lebih untuk pemenuhan kebutuhan ke dalam. Saat ini, ketika pelayanan sosial kepada masyarakat menjadi salah satu perhatian penting, misalnya dengan penyediaan induk babi dan breeding, sangat dibutuhkan adanya kandang babi yang sehat”, jelas Rm. Seli.

            Rm. Seli Fe, Pr, memandang usaha ternak babi sangat prospektif ke depan. “Dengan manajemen yang baik, penyediaan makanan yang cukup, dan didukung kandang yang sehat, wirausaha sekolah di bidang ini menjanjikan dan kebutuhan masyarakat semakin terlayani”, tambahnya penuh semangat.

            Selain usaha ternak babi, seminari juga mengupayakan ternak sapi. Usaha ternak sapi sangat mungkin dilakukan karena ketersediaan rumput king grass yang melimpah.

Saat ini terdapat 9 ekor induk sapi dan pejantan yang merupakan bantuan Komisi PSE KWI. Sebelum ini, beberapa ekor sapi piaraan siswa SMPS Seminari telah terjual (Nani).

PANEN JAGUNG LAMURU DI KEBUN SEMINARI

            Panen jagung komposit berjenis Lamuru dilakukan di kebun seminari Rabu,25/10/2017 silam. Hadir dalam kegiatan ini Yohanes Tay, Kepala Dinas Pertanian Provinsi NTT, Paskalis Wale Bai, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Ngada, Letkol. Czi Arman, Dandim Kabupaten Ngada, dan sejumlah rombongan. Sebanyak 10 ton jagung berhasil dikumpulkan untuk pemenuhan kebutuhan benih jagung bagi para petani sedaratan Flores.

            Kepada Praeses Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu, Rm. Gabriel Idrus, Pr, Yohanes Tay mengungkapkan kepuasan dan kegembiraannya atas hasil yang dicapai. “Ini adalah wujud kerja keras dan kepedulian yang besar dalam gerakan mewujudkan swasembada pangan”, katanya. Hal senada disampaikan Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Kabupaten Ngada. Atas nama pemerintah mereka berhadap kerja sama seperti ini terus berlanjut di waktu-waktu mendatang demi meningkatkan ketahanan pangan. “Kita butuh kolaborasi membangun ketahanan pangan di wilayah kita. Karena itu kami menunjuk lahan kebun seminari ini sebagai lokasi penangkaran jagung”, ujar Yohanes Tay.

Mengolah Tanah, Merawat Panggilan

            Kegiatan menanam jagung di lahan seluas 5 hektare ini dilakukan siswa SMP/SMA Seminari sebagai salah satu pengejawantahan gerakan Mengolah Tanah, Merawat Panggilan, yang dicanangkan pada pelatihan berkebun bersama Komisi PSE KWI pada 5-7 Oktober 2015. Saat itu Rm. Teguh, Pr, ketua Komisi PSE KWI bersama teman-temannya memfasilitasi pergumulan bersama seluruh anggota komunitas seminari untuk menyadari pentingnya tanah dalam seluruh karya penciptaan Tuhan dan dalam konteks panggilan sebagai imam di wilayah Nusa Tenggara.

 “Allah menghembuskan nafasNya maka tanah menjadi hidup. Kita perlu belajar menundukkan kepala, menghembuskan nafas yang dianugerahkan Tuhan kepada kita agar tanah menjadi hidup dan menghasilkan”, kata Rm. Teguh. Dia melanjutkan, seorang calon imam harus akrab dengan bau tanah sejak awal pendidikannya di seminari, karena tanah adalah konteks pastoral yang paling melekat dalam tubuh gereja di Nusa Tenggara.

            Pada pelatihan tersebut seluruh civitas academica SMP/SMA seminari membersihkan tanah, menata petak-petak lahan, dan membangun bak-bak air sebagai persiapan budi-daya sayur-mayur untuk kepentingan komunitas seminari maupun masyarakat yang membutuhkan.

Refleksi yang dilakukan sehari setelah kerja bakti bersama tersebut menemukan betapa indahnya nilai-nilai seperti kebersamaan, tanggungjawab, pengorbanan, bahkan kasih persaudaraan, yang semuanya menyatu pada substansi yang sama, yakni tanah. “Awalnya saya merasa pesimis karena banyak sekali lahan yang belum dikerjakan. Ternyata pekerjaan itu selesai hanya dalam dua hari. Saya menjadi sadar, bahwa pekerjaan seberat  apapun akan selesai dalam waktu yang singkat jika kita bekerja sama dalam kekompakan”, demikian refleksi Gerald Doa Dawa, siswa kelas VII. Tanah itu sesungguhnya pintu masuk penumbuh-kembangan nilai-nilai.

            Di bawah koordinasi Rm. Daniel Sirilus Edo, Pr, berbagai jenis sayur dibudidayakan dan telah memenuhi kebutuhan seluruh anggota komunitas, bahkan masyarakat sekitar. Pemerintah pun mengulurkan tangan secara konkrit melalui kerja sama seperti pengadaan benih sayur, penyediaan pupuk organik, penanaman jagung komposit jenis Lamuru, penyediaan benih kopi arabika yang ditanam pada lahan seluas 2 hektare, dan bantuan alat pertanian, seperti traktor roda empat.

Para Siswa adalah Pelaku

            Budidaya pertanian sudah lama dikembangkan di Mataloko sejak zaman para misionaris, bahkan sebelum seminari didirikan, yakni tahun 1922,            ketika Br. Gallus v.d. Lith menanganinya. Di tangan para misionaris SVD ini, Mataloko dikenal sebagai daerah penghasil sayur dan ternak. “Peternakan berkembang, sudah ada mentega dan susu, kebun menghasilkan berbagai macam sayur, 2 kali setahun kami panen kentang, juga kami tanam gandum”, tulis P. Ettel, SVD pada tahun 1926 (Sejarah Gereja Katolik Indonesia, 3b, hal. 1180).

            Bedanya saat ini pelaku budi daya pertanian adalah para siswa sendiri. “Setiap kelas atau kelompok mendapat giliran satu jam sehari bekerja di kebun”, tutur Rm. Sil Edo, Pr. Dengan bekerja di kebun para siswa belajar mengembangkan kecintaan pada pertanian dan lingkungan. “Banyak siswa terampil berkebun, bahkan terampil membuat pupuk organik seperti bokasi”, katanya. Rm. Sil yakin, kecintaan pada tanah membantu para siswa merawat panggilannya (Nani).

KARAKTER: URAT NADI PENDIDIKAN Pelatihan bersama Dr. Itje Chodidjah, MA

 

            “Urat nadi pendidikan adalah karakter”, demikian penegasan Dr. Itje Chodidjah, MA, mengawali Interpersonal and Social Skills Training, sebuah pelatihan Penguatan Pendidikan Karakter, kepada para formator dan guru di Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko, 15-17 Februari 2018 silam. “Karakter yang kuat bertumbuh karena penghayatan nilai-nilai, dan kitalah penumbuh-penumbuh karakter itu dalam diri anak-anak”, lanjut salah satu anggota Badan Akreditasi Nasional itu, yang memilih NTT sebagai salah satu daerah binaannya. Untuk menjadi penumbuh karakter seorang guru dituntut menghayati nilai-nilai di dalam kehidupannya secara konsisten. “Di luar kelas, di tengah masyarakat, seorang guru tetaplah guru. Karakter tidak dipelajari siswa, tapi ditangkap siswa dari perilaku guru”, tandasnya.

            Pelatihan yang berlangsung dua setengah hari itu banyak memberi ilham bagi perubahan. Ada pergumulan dan refleksi mengenai roda nilai dan pemberian bintang pada penghayatan nilai sesuai indikator yang ditetapkan; ada pergumulan dan refleksi tentang kolaborasi, yang amat penting dalam kehidupan saat ini, yang memungkinkan atmosfir green zone tercipta karena ada trust, keterbukaan dan saling berbagi sehingga memungkinkan setiap orang berkembang (growth mindset); ada pergumulan dan refleksi mengenai kualitas berkomunikasi yang tidak hanya menyangkut kata (verbal) tetapi juga intonasi dan bahasa tubuh (nonverbal); ada pembelajaran dengan menggunakan quadrant; ada pembelajaran mengenai six thinking hats dari Edward de Bono yang mengasyikkan sekaligus menantang; dan pembelajaran mengenai coaching yang sungguh menyegarkan dan terasa memenuhi kebutuhan akan adanya pendampingan yang manusiawi dan menumbuh-kembangkan.

            Praeses Seminari, Rm. Gabriel Idrus, Pr, menyatakan kegembiraan dan kepuasannya usai mengikuti pelatihan ini. “Bagi saya, kegiatan pelatihan singkat selama dua setengah hari adalah pintu masuk untuk banyak perubahan dari mimpi-mimpi pembenahan lembaga yang selama ini diwacanakan”, tulis Rm. Idrus dalam refleksinya. Ia juga mengungkapkan rasa harunya, karena pelatihan berkualitas internasional di lembaga pendidikan calon imam difasilitasi ibu Muslim berhati mulia. “Kekuatan ibu Itje adalah hatinya. Kekuatan hati mempertemukan jarak rasa, membuka sekat-sekat perbedaan, menyatukan cita-cita dan harapan. Kekuatan hati mengedepankan kemanusiaan lebih dari apapun lainnya”, tandasnya.

            Hal senada disampaikan Rm. Benediktus Lalo, Pr, Prefek/Pamong SMA Seminari. Rm. Beny menangkap perubahan signifikan yang terjadi usai pelatihan. “Kami merasakan adanya perubahan suasana. Suasana adem dan nyaman dalam relasi antar guru dan siswa. Masalah siswa tetap ada tapi terasa tidak ‘mencekam’ lagi. Para guru membuat pendekatan baru yang membawa pertumbuhan”, ungkapnya.

Rm. Aleks Dae, Pr, guru bahasa Indonesia, menuliskan catatannya mengenai pelatihan tersebut sebagai berikut, “Latihan coaching bagi saya merupakan babak baru untuk menempatkan para siswa sebagai pihak yang lebih berhak menentukan solusi atas masalahnya sendiri. Latihan coaching sangat membantu saya mengajukan pertanyaan yang tepat dalam suasana tenang sehingga siswa dapat dengan lega menemukan pilihan yang tepat dalam mengatasi masalah”.

Diungkapan secara berbeda, Yohanes N. Koandijalo, guru Kesenian mengatakan, “Saya sangat bersyukur karena kegiatan ini menyadarkan saya dan memotivasi saya untuk membenahi diri saya dari waktu ke waktu untuk menjadi seorang pendidik yang berkompeten dan memiliki rasa tanggungjawab yang besar atas masa depan peserta didik”.

F.X.Lindawati memberikan catatannya mengenai sesi pembelajaran Six thinking hats dari Edward de Bono. Ia mengatakan, “Sesi ini menyadarkan saya, bahwa dalam situasi berbeda kita harus menggunakan pola pikir dan pendekatan yang berbeda atas masalah atau kasus yang dihadapi. Kita perlu terus berlatih agar kita semakin cerdas dan bijak dalam ‘mengganti’ topi yang kita kenakan”.

Dari Knowing ke Being

            Kepala SMPS Seminari, Rm. Kristo Betu, Pr, dalam refleksinya melihat momen pelatihan bersama ibu Itje Chodidjah tepat pada waktunya. “Ibu Itje mengingatkan kembali kita semua agar proses pendidikan kita tidak hanya menjejalkan pengetahuan yang nanti habis dalam ujian, tetapi harus bermakna pada pengembangan kualitas hidup para siswa kita. Kita harus sungguh bergerak dari sekedar knowing kepada being yang berkualitas. Apa artinya pengetahuan, dikte, penghafalan, kalau semua itu menguap begitu cepat tak berbekas, sementara itu kualitas kepribadian anak dengan berbagai kemungkinannya tidak bertumbuh dan berkembang”, ujarnya.

            Rm. Kristo amat terkesan dengan pergumulan mengenai guru sebagai suatu lingkaran tanpa putus. “Justru agar being, kehidupan, jati-diri anak bertumbuh dan berkembang maksimal, korps guru harus menjadi suatu lingkaran tanpa putus. Satu saja guru tidak tanggap terhadap perilakunya, dia bisa merusak karakter siswa secara keseluruhan”.

            Dengan kata lain, dibutuhkan kerelaan berubah dalam diri guru. Hal tersebut disampaikan oleh Paulina Bate, guru IPA terpadu SMPS Seminari. “Saya akan berusaha memperbaiki pola relasi saya”, katanya. “Saya ingin meningkatkan cara berkomunikasi saya yang lebih efektif, lebih berempati, lebih sabar, lebih mendengarkan teman-teman guru saya, dan, terutama, siswa-siswa saya”, ungkap Bernadetha Wea, guru bahasa Inggris SMP.  Artinya dibutuhkan “pertobatan pedagogis”, kata Rio Edison, OFM, agar guru sungguh dapat menjadi designer perubahan perilaku. Tentu saja, “tidak ada kata terlambat untuk orang yang mau berubah”, tulis Gaby Simatupang. “Alangkah baiknya jika setiap hari para siswa menemukan tokoh-tokoh teladan yang muncul dari guru, yang menginspirasi perubahan karakter dan perilaku”, simpul Fransiska Dhera, guru bahasa Indonesia.

            Dalam evaluasi mengenai kegiatan pelatihan tersebut pada 3 Maret 2018, semua guru mengharapkan keberlanjutan pelatihan seperti ini bersama ibu Itje Chodidjah. (Nani).

Konser untuk Pendidikan Seminari Mataloko

Sebanyak 35 siswa Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko, Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), berkunjung ke redaksi BeritaSatu Media Holdings (BSMH) di Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (22/10). Dalam kunjungan tersebut, mereka diterima Pemimpin Redaksi Harian Suara Pembaruan, Investor Daily, dan Beritasatu.com, Primus Dorimulu.

Kunjungan siswa pendidikan calon pastor ke BSMH itu dipimpin Praeses Seminari Mataloko, Romo Gabriel Idrus Pr. Mereka mendapat penjelasan soal perkembangan industri media dan usaha-usaha media yang dibangun oleh BSMH.

“Pendidikan di seminari harus akrab dengan teknologi canggih. Ini sudah menjadi sebuah tuntutan,” kata Primus Dorimulu.

Ke-35 siswa Seminari Mataloko merupakan anggota Berkhmawan Choir yang datang ke Jakarta dengan maksud menggelar konser untuk menggalang dana bagi kepentingan pendidikan di seminari. Setelah misa komunitas pada 16 Oktober lalu di aula Kolese Kanisius, Menteng, Jakarta Pusat, di tempat yang sama akan digelar konser khusus malam dana pada Sabtu, 25 Oktober 2014.

Kami mengharapkan kepedulian para pihak untuk berpartisipasi dalam rangkaian penggalangan dana ini,” kata Emanuel Umbu Kaleka, ketua Alumni Seminari Mataloko se-Jabodetabek.

Dalam usianya yang menginjak 85 tahun, Seminari Mataloko kini memang berada dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Fasilitas asrama dan bangunan kelas-kelas sudah keropos dimakan usia. 

“Kami harus mengambil langkah untuk segera merehabilitasi gedung asrama dan fasilitas sekolah semampu kami. Daya tampung, kelayakan, dan daya tahan banngunan tua ini sudah sangat berisiko jika tidak segera direnovasi,” kata Praeses Gabriel Idrus Pr.

Menurut Romo Gabriel, beban untuk merehabilitasi gedung dan fasilitas asrama dan persekolahan sangat berat. ”Dibutuhkan setidaknya Rp 9,5 miliar untuk merehabilitasi kedua sisi bangunan tersebut,” katanya.

Guna menggalang dana bagi kelangsungan pendidikan di Seminari Mataloko, berbagai upaya telah dilakukan oleh para alumninya, antara lain dengan membentuk Yayasan Alumni Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko (Alsemat).

Pada kesempatan yang sama, Pembina Yayasan Alsemat, Primus Dorimulu menyerahkan sumbangan sebesar Rp 100 juta yang diterima Praeses Seminari Mataloko Romo Gabriel Idrus.

Sebagai lembaga pendidikan khusus calon imam, Seminari Mataloko sudah menghasilkan 16 uskup dan lebih dari 500 pastor yang berkarya di berbagai penjuru dunia. Kendati merupakan lembaga pendidikan calon pastor untuk pelayanan Gereja Katolik, Seminari Mataloko juga telah menghasilkan para profesional yang berkarya di berbagai medan tugas. Lebih dari 7.000 siswa yang pernah mengenyam pendidikan di sana dan tak sedikit yang berbakti bagi bangsa dan negara sebagai birokrat, politikus, pengacara, pers, dan lain-lain.

Seminari Mataloko Bangun Pendidikan Terintegrasi

Seminari Santo Yohanes Berkhmans Todabelu, Mataloko sejak didirikan pada tanggal 15 September 1929, mengemban visi sebagai institusi pendidikan. Ia  membentuk siswa yang unggul dalam hal pengetahuan (scientia), kekudusan (santitas),  kesehatan (sanitas), kebajikan/kebijaksanaan (sapientia) dan kehidupan sosial (socialitas). 

Berkaitan dengan membangun pendidikan terintegrasi, seminari tidak hanya membentuk calon-calon imam yang tangguh, tetapi seminari juga terus berupaya agar siswa memiliki pengetahuan yang luas dan memiliki kemampuan untuk membentuk diri secara sehat, unggul dan mandiri.  

Kepala Sekolah Seminari Todabelu Mataloko, Romo Gabriel Idrus Pr, ketika diwawancara FloresStar di Mataloko,  Sabtu (2/4/2011), mengatakan, berdirinya Seminari Todabelu Mataloko, berawal dari ide cemerlang Mgr. A Verstraelen, SVD yang bertekad untuk membangun seminari menengah di Flores. 

Niat luhur dari Mgr.  A Verstraelen, SVD, itu diwujudnyatakan oleh Pater Fransiskus Cornelissen, SVD, dengan membangun satu seminari kecil di Maumere, Kabupaten Sikka pada tahun 1926, kemudian dipindahkan ke Mataloko pada tahun 1929. Tanggal 15 September 1929 merupakan titik awal Seminari St Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berkarya hingga saat ini yang sudah memasuki usia 81 tahun.

Romo Idrus yang adalah alumni dari Ritapiret angkatan 1993 ini mengatakan, seminari adalah sebuah institusi yang hidup, sebab ia memiliki dirinya dengan seluruh sejarah dan arah tujuan yang terumus dalam visinya. Katanya, visi Seminari Mataloko adalah membentuk siswa yang tekun membina diri menjadi pribadi yang matang dan memiliki keunggulan dalam hal pengetahuan  kekudusan, membina kesehatan, kebajikan/kebijaksanaan dan kehidupan sosial.

Sistim pendidikan pada seminari tertua kedua di Indonesia setelah Seminari Menengah Mertoyudan di Jawa Tengah ini adalah merujuk pada prinsip keunggulan 5-S.

Dari sejarahnya boleh dikatakan, seminari sebagai institusi pendidikan yang berdimensi religius dan sosial kemasyarakatan. Dari sisi religius seminari  adalah salah satu tekad dari kalangan SVD untuk membuka lembaga pendidikan calon imam yang merupakan tujuan khusus seminari. 

Sementara dari segi sosial kemasyarakatan, seminari berupaya membangun pendidikan yang terintegrasi di mana mendorong siswa untuk memiliki pengetahuan dan siswa mempunyai kemampuan untuk membentuk diri secara sehat.  

Dalam usianya yang ke- 81 tahun, Seminari Mataloko sudah mencetak 16 uskup dan puluhan imam yang merupakan alumni. Selain itu, masih banyak kaum awam bermutu yang sudah terserap di seluruh lapisan sosial masyarakat NTT dan sekitarnya.

Seminari ini memiliki 37 tenaga pengajar untuk SMP dan SMA yang terdiri dari pastor, frater dan guru-guru awam yang berpengalaman. Yang sudah bersertifikasi berjumlah adalah 17 orang.

Menurut Romo Idrus, ada beberapa sistim penyelenggaraan pendidikan yang dilakukan dalam Seminari Todabelu Mataloko, yakni  penyelenggaraan sekolah dan asrama yang baik, sistim belajar yang diterapkan dilakukan di sekolah dan di asrama. Untuk di asrama, jam belajar siswa dimulai dari pukul 16.15 00-18.00 Wita, dari 18.00-19.15 Wita waktu untuk makan malam. Kegiatan belajar kembali dilanjutkan dari pukul 19.15-20.00 Wita.  

Di seminari juga melakukan seleksi awal masuk seminari yang cukup ketat. Hal itu dilakukan untuk mengetahui kemampuan dasar siswa untuk belajar lebih lanjut. Selain itu, melakukan seleksi semesteral baik secara akademis maupun kepribadian dan dukungan kerja sama antara komponen yang ada di sekolah, seperti tenaga pengajar, para alumni, orang tua dan siswa itu sendiri.

Untuk menghadapi ujian nasional para siswa seminari sudah mempersiapkan diri sejak kelas X,XI dan XII. Untuk kelas XII yang akan menghadapi UN tahun ini sudah melakukan persiapan secara matang melalui jadwal belajar yang teratur dan kegiatan try out.

Jumlah keseluruhan siswa baik SMP maupun SMA pada Seminari Mataloko sebanyak 451 siswa dan jumlah peserta yang akan mengikuti ujian nasional tahun 2011 pada Seminari Mataloko sebanyak 106 siswa yang terdiri dari SMP 51 siswa dan SMA 55 siswa.

Seminari Mataloko adalah institusi yang unik, yang terbangun dari unit-unit yang berbeda-beda, dan hal ini yang membedakan seminari dengan institusi lainnya. Di Seminari Mataloko ada unit sekolah, unit asrama, unit pembina dan guru, unit dapur, unit karyawan dan pegawai, unit perkebunan, dan perbengkelan. Unit-unit ini berada di bawah kepemimpinan seorang preses dan dewan rumah yang mengaturnya dengan kebijaksanaan dan cinta. Setiap individu di dalam seminari menjadi salah satu bagian utuh dan tidak dapat dipisahkan. Mereka dalam keunikannya masing-masing bekerjasama untuk membangun individualitas institusi seminari. Mereka berlangkah bersama dengan visi dan misi yang sama, yaitu  membentuk calon-calon imam yang tangguh.

Walaupun seminari itu unik dan individual, tapi ia tidak tertutup bagi lingkungan sosial kemasyarakatan yang ada di sekitar. Seminari berelasi dengan uskup sebagai pemilik utama seminari, dan berelasi dengan stakeholders yang lain, seperti umat dan komite sekolah serta pemerintah. Umat selalu menjadi lahan penghasil bibit-bibit calon imam selain ikut bertanggung jawab atas keberadaan/keberlangsungan seminari. 

Keterlibatan umat dapat juga dilihat melalui kerjasama dengan sekolah-sekolah di sekitar seminari. Seminari sudah sekian tahun terjadi kerjasama yang konstruktif dengan komite sekolah. Relasi dengan pemerintah sudah berjalan bertahun-tahun. Tak bisa dipungkiri keduanya telah membina mutualitas simbiosis yang saling membangun, khususnya dalam bidang kurikulum sekolah, fasilitas fisik, finansial dan ketenagaan