EAGLE, KERJA SAMA, DAN KEPEMIMPINAN

Oleh Rm. Nani Songkares, Pr

SMA Seminari Todabelu, Mataloko menyelenggarakan kegiatan EAGLE English Club dengan tagline FIRE (Fun Interaction and Relation with English), Minggu (20/10/2024). Terlibat dalam kegiatan tersebut 120 siswa SMA Seminari bersama sejumlah siswa SMPS Seminari, SMPK Kartini Mataloko, SMAN 2 Bajawa, SMAN 2 Soa, SMAK Klemens Boawae, dan SMAN 1 Boawae.

Kegiatan bahasa Inggris rutin dua atau tiga bulanan yang lazim disebut kegiatan EAGLE diawali perayaan Ekaristi jam 05.45 di English Room, yang dipimpin Rm. Bambang Alfred Sipayung, SJ.

Pembelajaran yang Bermakna       

Dalam homilinya, imam yang sedang live in di Seminari Mataloko ini berbicara tentang kecenderungan mendidik kaum muda zaman ini yang menggunakan pendekatan psikologi positif. Kata-kata yang mengungkapkan realitas yang keras diperhalus agar kaum muda tidak berada dalam tekanan. “Anak tidak boleh dikatakan bodoh, karena nanti akan membuatnya tidak berkembang,” katanya.

Anak diajarkan untuk mengenal passion-nya, kata-hatinya. Sementara itu Passion sering disamakan dengan emosi positif, apa yang disenangi, diminati, dan menggembirakan. “Ini seperti kelenjar dopamin yang diinjeksikan kepada anak-anak. Kalau reaksi dopamin sudah tidak ada lagi, anak merasa hampa, kehilangan makna, dan cepat bosan. Itu yang terjadi ketika seseorang kecanduan narkoba, atau games, atau media sosial,” lanjutnya.

Jesuit kelahiran 25 November 1971 di Medan, Sumatra ini mengarahkan perhatian seminaris kepada Sabda Tuhan dalam bacaan Kitab Suci. “Kata-kata Tuhan itu tidak jarang keras. Dalam bacaan pertama dari Kitab Yesaya dikatakan, Tuhan meremukkan hambaNya dengan kesakitan. Untuk memasuki kepenuhan hidup kita harus menerima realitas yang tidak jarang menyakitkan,” tegasnya.

Pendek kata, yang dicari dalam pendidikan sejatinya bukanlah joyful learning atau pembelajaran yang menyenangkan, tapi meaningful learning, yakni pembelajaran yang bermakna. Sering kali agar dapat mengalami makna hidup orang harus rela menderita, bahkan berkorban, seperti Yesus yang datang untuk melayani, bukan dilayani.

Kerja Sama

Kegiatan EAGLE dimulai tepat pukul 9.00 di aula SMA setelah sebagian besar peserta hadir. Rm. Bambang SJ mendapat kesempatan berbicara setelah bersama-sama menyanyikan mars EAGLE dan menikmati ice-breaking.

Dengan bahasa Inggris yang memukau tapi sederhana dan mudah ditangkap, jebolan Development Studies, Institute of Social Studies, Denhaag, Belanda, menyihir kawula muda dengan proses-proses yang menarik.

Sebuah video yang berkisah mengenai perlombaan kelinci dan kura-kura ditampilkan. Kelinci melesat jauh meninggalkan kura-kura dalam sebuah lomba lari. Karena merasa tak mungkin dikalahkan, kelinci beristirahat, lalu tertidur. Kura-kura yang lamban tapi konsisten dan teguh memenangi pertandingan. Pembelajarannya jelas. Jangan menganggap enteng orang lain. Juga betapa pentingnya keteguhan, determinasi, dan konsistensi.

Namun cerita belum berakhir. Kelinci dan kura-kura bersepakat untuk berlomba lagi. Kali ini kelinci berlari kencang dari awal sampai akhir. Jelas, dia memenangi pertandingan. Kura-kura tidak hilang akal. Dia minta diadakan lomba lagi, tapi jalur perlombaan berbeda, harus melewati sungai yang lebar sebelum sampai garis akhir. Keduanya bersepakat, dan perlombaan dimulai. Seperti biasa, kelinci melesat jauh, tapi di tepi sungai dia bingung, tidak tahu bagaimana berenang. Kura-kura yang terlambat tiba segera terjun ke sungai dan berenang. Kura-kura pun memenangi pertandingan. Pembelajarannya menarik. Kenalilah kompetensi intimu, kekuatanmu, dan manfaatkan itu sebaik-baiknya, niscaya akan sukses!

Ternyata, masih ada kelanjutan ceritanya, dan bagian ini menarik sekali. Kelinci dan kura-kura sepakat berlari lagi melalui route yang sama, dengan sungai sebagai rintangannya. Namun, bukan persaingan yang dikedepankan, tapi kolaborasi, teamwork. Mereka sepakat, kura-kura menunggangi kelinci di jalur darat, sedangkan di sungai kelincilah yang menunggangi kura-kura. Hasilnya sangat memuaskan keduanya.

Memang tidak ada yang salah kalau orang mau pintar atau hebat sendiri. Namun, kalau dia tidak mampu bekerja sama dan saling berbagi kekuatan masing-masing, hasilnya kurang memuaskan, dan orang lain selalu akan lebih baik. Sebaliknya, kalau ada kerja sama, kalau ada penghargaan satu sama lain dan kerelaan berbagi, hasilnya akan jauh lebih memuaskan. Itulah nilai-nilai kepemimpinan.

Setelah cerita dari video itu, mula-mula ada pertanyaan yang menantang siswa secara individu. Berapa banyak kata yang bisa ditangkap. Setelah siswa yang satu menjawab, siswa kedua harus lebih banyak jumlah katanya. Begitu seterusnya. Saat mereka bekerja di dalam kelompok, jumlah kata yang mereka tangkap dan moral yang mereka pelajari dari kisah yang mereka tonton itu berlipat-ganda dan menarik.

Dalam berbagai kegiatan selanjutnya, siswa bekerja di dalam kelompok yang merupakan leburan dari berbagai sekolah. Ada nuansa persaingan di sana, karena persaingan membuat games menjadi seru, kegiatan lebih dinamis. Namun, yang lebih ditonjolkan ialah kerja sama, saling berbagi peran untuk mendapatkan tiket dan kartu-kartu, dan mengatasi tantangan. Hasilnya tidak ada yang merasa direndahkan, kalah, tidak ada yang merasa menang sendiri. Yang dirasakan adalah pembelajaran bersama yang memuaskan dan menginspirasi.

Kepemimpinan

Kegiatan EAGLE adalah salah satu ajang latihan kepemimpinan para siswa. Ada puluhan siswa yang sejak sebulan sebelumnya menyiapkan segala sesuatu bagi kelancaran EAGLE. Mereka membuat pertemuan secara teratur. Dalam pertemuan-pertemuan tersebut mereka menggunakan bahasa Inggris untuk berkomunikasi.

Mereka menentukan tagline yang dirasa menarik dan akan mewarnai seluruh kegiatan mereka. Kali ini mereka memilih Fun Interaction and Relation with English (FIRE) sebagai tagline.. Mereka berkonsultasi dengan Teresa Wynne Taylor, seorang ibu dari Australia yang pernah tinggal di Seminari selama 7 bulan.

Mereka membentuk seksi-seksi dan tanggung jawab kerja masing-masing. Mereka merancang kegiatan dan games dan berbagai hal yang diperlukan. Mereka membuat jadwal latihan dan pertemuan evaluasi.

Mereka membahas bersama sekolah-sekolah yang akan diundang. Mereka memperhitungkan jumlah peserta, mengkalkulasi budget untuk konsumsi dan berbagai kebutuhan lainnya. Mereka memikirkan sumber dana, mengajukan proposal, dan melakukan fund-raising. Semua keterampilan literasi dan numerasi mereka manfaatkan agar harapan tercapai, mimpi terwujud.

Dari waktu ke waktu mereka merajut dan merasakan kesatuan di antara mereka. Ada tanggung jawab dan integritas bersama. Yang sudah diputuskan, dilaksanakan, walaupun untuk itu mereka harus berkorban: waktu, tenaga, pikiran. Mereka saling mendukung, tapi juga saling mengoreksi. Mereka memikirkan segala hal, bahkan sampai detil, untuk kenyamanan para peserta. Mereka siap tempur bersama, siap memberikan yang terbaik.

Setelah semua kegiatan berakhir, para peserta kembali dengan kisah dan kepuasan masing-masing, anggota panitia EAGLE, masih harus membereskan segala hal. Mereka memastikan aula, ruang-ruang kelas ditata normal, peralatan musik, elektronik, sound-system dikembalikan dalam keadaan baik. Mereka duduk lagi bersama mengevaluasi, mengapresiasi keunggulan, mencatat kekurangan, dan membicarakan rencana tindak lanjut untuk urusan pelaporan dan pertanggungjawaban, dan jadwal kegiatan berikutnya.

Itulah pembelajaran kepemimpinan yang bisa mereka timba melalui kegiatan EAGLE. Kepemimpinan yang melayani teman-temannya dengan sepenuh hati, yang membuat perbedaan, sekaligus membuat hidup mereka berarti. A meaningful learning (Nani Songkares)

SEMPER RIDENS SEPANJANG HAYAT

Feature – Adelino Kesu

Tepat sebelah jalan Trans Bajawa-Ende panorama Bukit Sasa membias lewat mata masyarakat. Tak jemu-jemu orang-orang yang melintas mendelik jajaran gedung tua yang didiami para seminaris. Sungging senyum menampakkan citra lembaga yang kian lama hampir menapaki usia seabad.

Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko didirikan tanggal 2 Februari 1926 di Sikka, Maumere. Seminari ini kemudian dipindahkan ke Mataloko dan diresmikan pada 15 September 1929 di Mataloko, Ngada yang dikenang sebagai hari jadi seminari. Seminari ini kerap dikenal karena moto santo pelindungnya yang familiar di kalangan masyarakat yakni “semper ridens

“Semper ridens” dengan terjemahan “Selalu tersenyum” senantiasa menjadi citra tersendiri bagi lembaga ini. Bertahun-tahun ungkapan itu tetap eksis. Tak heran tulisan semper ridens sering terpampang di punggung baju angkatan. Kata orang, roman khas seminaris itu manis-manis dan mengandung aura yang berbeda saat tersenyum. Usut punya usut, apa misteri di balik ungkapan “semper ridens?”

Moto Santo Pelindung

 St. Yohanes Berkhmans memang sengaja memilih moto hidup semper ridens. Latar belakang spiritual yang amat mendalam menjadikan santo muda ini model yang istimewa. Ia dilahirkan di Diest, Belgia, 13 Maret 1599 dan meninggal pada 13 Agustus 1621 sebagai anggota Serikat Yesus.

Sejak muda St. Yohanes Berkhmans ingin menjadi kudus. Kecintaannya menjalankan hal biasa dengan hati yang luar biasa menjadikannnya unik di mata teman-temannya. Totalitasnya dalam tugas dan rutinitas tampak dalam hal-hal kecil terutama pekerjaan kotor sekalipun. Ia jalankan itu dengan sepenuh hati dan keceriaan sehingga teman-temannya akrab meyapa Yohanes dengan panggilan “frater hilaris”(frater yang selalu ceria).

Positivity Brings Energy

Pancaran emosi melalui senyuman mengungkapkan kedalaman jiwa St. Yohanes Berkhmans. Para formator mengharapkan daya seperti itu hidup di tengah seminaris. Dalam satu wawancara dengan Romo Nani, ia mengungkapkan secara gamblang betapa pentingnya senyuman yang dilahirkan dari ungkapan batin terdalam.

“Senyum bukan penghias permukaan saja, justru itu merupakan daya tarik dari kedalaman yang jauh lebih besar,” tutur romo Nani (29/09/24). Menurutnya, pancaran citra seminari terlihat akibat kualitas yang sungguh tampak bukan sekadar nama.

Ungkapan semper ridens merupakan ajakan yang membebaskan. St. Yohanes Berkhmans sebagai model, sejatinya mengarahkan seminaris terutama orang muda menjadi “frater hilaris” di zaman kontemporer. Aturan yang serasa mengekang tidak akan menjadi persoalan. Kegembiraan yang terpancar dari kedalaman diri seminaris memberikan injeksi energi sebagai akibat dari kepuasan batin.

Para tenaga pendidik di seminari juga mengalami hal serupa. Di umur yang terbilang paruh baya, karisma emosional para formator yang berangkat dari moto St. Yohanes Berkhmans sungguh menggugah. Walaupun tua semangat tetap muda. Ikatan emosional seperti itu, justru membangun atmosfer yang sehat dalam pemberdayaan calon imam yang bergerak seiring teladan St. Yohanes Berkhmans.

Mengapa Semper Ridens?

Ungkapan semper ridens merupakan kebijaksanaan hati St. Yohanes Berkhmans yang tumbuh dari iman. Persis kalimatnya yang berbunyi “maxime facere minima” atau lakukanlah hal-hal kecil dengan hati yang besar, lembaga seminari jelas menempatkan santo muda ini sebagai teladan untuk hidup atas dorongan yang terdalam.

Kebesaran hati dalam menjalankan rutinitas, menjadi pembendung kejenuhan. Optimisme seminaris ditumbuhkan lewat hal sederhana seperti tersenyum sekali pun dalam situasi sulit. Tidak diketahui secara pasti, alasan dipilihnya St. Yohanes Berkhmans sebagai pelindung oleh pendiri seminari tertua kedua di Indonesia ini tetapi lembaga meyakini kehendak Tuhan yang bekerja di balik semua itu.

Fr. Pankrasius Tevin Lory, yang kerap disapa frater Tevin, alumnus seminari St. Yohanes Berkhmans yang saat ini menjalankan tahun orientasi pastoralnya (TOP) di almamater, membeberkan pengalamannya akan penghayatan ungkapan semper ridens sejak mengenyam pendidikan di seminari ini.

Ia mengakui bahwa senyuman merupakan cerminan dari sikap positif dan optimis dalam menghadapi tantangan hidup. “Senyum adalah simbol penerimaan tanpa pandang bulu. Dengan itu kita membangun koneksi emosioanl yang kelihatan sederhana tapi sungguh dalam,” ujar frater yang murah senyum ini (03/10/24).

“Ketika tersenyum, kita menghadirkan damai, bahkan untuk keadaan yang tidak selalu ideal. Kita menghapus letih dengan sinyal cinta yang tulus,” tambahnya.

Seminaris yang sungguh menghidupi moto santo Yohanes Berkhmans ini menjalani hari-harinya dengan lebih ringan. Aura itu tampak pada keceriaan mereka dalam menjalankan rutinitas sehari-hari.

“Senyum adalah kebaikan yang paling sederhana. Senyum itu pelarian dari tumpuknya beban, semacam relaksasi. Jadi komunikasi berjalan lancar ketika diwarnai senyuman,” ungkap Olan Nanga, siswa SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans.

Pautannya dengan Kajian Ahli

Dalam buku Emotional Inteligence: Mengapa Eq Lebih Penting dari Iq, Daniel Goleman secara eksplisit menyebutkan bahwa emosi itu semacam virus sosial. Isyarat-isyarat emosional seperti senyuman menular dalam setiap perjumpaan dan memengaruhi orang-orang di sekitar.

Penelitian menunjukkan bahwa manusia meniru emosi-emosi secara tak sadar. Hal ini terbukti melalui riset Ulf Dimberg, seorang peneliti Swedia pada University of Upsala bahwa suasana hati yang sama akan dirasakan ketika melihat wajah tersenyum atau marah, tergantung suasana hati siapa yang lebih kuat.

Bertolak dari eksplorasi Daniel Goleman, konteks kehidupan seminaris yang dibaluti semangat moto St. Yohanes Berkhmans bisa menjadi hal yang luar biasa. Bayangkan, jika senyuman sungguh merupakan cerminan sikap positif dan optimis, betapa indah hidup dalam satu kebersamaan dengan senyuman sebagai tanda kesiap-sediaan melakukan sesuatu dengan ceriah mulai dari hal kecil. Semper ridens! (Adelino Kesu).

HEBOH RAZIA RAMBUT, NELSON TEKU: “SAYA SIAP MELAYANI”

Feature  – Edgar Sebo

Wee, Senin nanti ada razia rambut.”

“Mati eee, main razia semua ni. Gunting rambut su.

Eee, aman sa….Pak Enso doang kok.”

Begitulah isi gosip yang sering saya dengar setiap kali Pak Enso Feto, Guru Geografi SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu mencanangkan razia rambut. Ada siswa yang segera memangkas rambutnya. Ada juga yang malah tidur-tiduran tanpa beban. Adalah sebuah kemunafikan, jika saya menganggap enteng “program” guru saya yang satu ini.

Siang itu, saya dan empat teman saya sedang belajar Fisika bersama Guru Fisika kami, Ibu Themi Woghe di Lab Fisika. Atmosfer pelajaran yang membosankan seketika pecah, ketika seorang siswa masuk lab dengan sopan, hendak menyampaikan sesuatu.

“Saya ingin bicara dengan Ibu Themi”, ujar siswa yang ternyata adalah Gilang By, siswa kelas XII C. Setelah cukup lama berproses bersama Ibu Themi, Gilang tidak langsung meninggalkan ruangan. Malah dia berdiri tegak bagai orang yang lupa cara berjalan.

Hee By, kenapa tidak keluar?”, tanya Ibu Themi dengan nada yang agak tinggi. “Ibu”, mulainya pelan. “Pak Enso sedang razia rambut.”

Kami panik. Rambut kami panjang. Sayang sekali jika rambut yang kami rawat, basuh dengan shampoo, dan minyaki setiap hari dipotong begitu saja. Benar, Pak Enso sedang menjalankan “ritualnya” di kelas XII C.

Para siswa yang tak dapat melarikan diri lagi dipaksa untuk duduk di kursi mereka masing-masing. Mereka pasrah. Sementara itu, Pak Enso asyik memangkas rambut mereka. Rambut mereka ditarik-tarik, lalu dipangkas dengan clipper.

Sadisnya, rambut mereka tidak dipangkas secara rapi. Ada yang nyaris botak, setengah botak, boteng (botak tengah), dan model-model absurd lainnya. Sembilan siswa menjadi korban kelaliman Pak Enso siang itu.

Satu per satu siswa kelas XII C meninggalkan ruangan kelasnya sambil memegang-megang dan menutupi kepala mereka, karena malu dilihat orang.

Grand Tuwa hanya bisa pasrah saat Pak Enso memangkas rambutnya hingga berlubang-lubang. “Molo su, pasrah saja”, kata lelaki kelahiran Rendu, Nagekeo itu.

Sementara itu, Dolin Nggano, putra Worhonio, Ende justru mengaku stres karena aksi Pak Enso yang dinilai tidak manusiawi. “Stres ngeri la”, ujarnya dengan nada membentak. Sekadar informasi, rambut Dolin siang itu bagaikan Bukit Sasa yang setengah longsor.

“Saya kecewa sekali”, keluh Aldo Bheo, siswa asal Mauponggo, Nagekeo. Dirinya mengaku sudah memangkas rambutnya sejak satu hari sebelumnya, tetapi tetap digunting oleh Pak Enso. “Saya juga jadi malas untuk mengikuti les Geografi siang itu”, tambahnya.

Namun, Aldo tidak menyalahkan Pak Enso. Memang rambutnya sudah dipangkas, tetapi tidak memenuhi standar panjang rambut maksimum. “Saya yang salah”, katanya.

Hari itu, bukan hanya kelas XII C saja yang “dieksekusi”. Setiap kelas yang tidak ada pelajaran dirazia oleh Pak Enso. Bahkan, para siswa yang ia jumpai di luar kelas bernasib sama. Untungnya, saya dapat menghindari razia dengan alasan “mau ikut ujian Bahasa Inggris.”

 

Saya Siap Melayani

Semesta seakan turut berduka atas perginya rambut para seminaris. Mendung. Suasana kamar tidur kelas XII yang biasanya berisik kini sunyi.

Ternyata setelah ditelusuri lebih jauh, para seminaris sedang berada di kamar jemur, mengantri untuk mendapatkan pelayanan pangkas rambut.

Eja, gunting rambut ja’o ro”, kata saya kepada Nelson Teku yang sedang memangkas rambut temannya.

“Sabar”, jawabnya datar. Setelah menunggu selama 30 menit, tibalah giliran saya.

Nelson – begitulah ia biasa disapa – adalah seminaris kelas XII B. Ia lahir di Ende, 16 Juli 2007. Sejak masih kelas X, Nelson aktif sebagai pemangkas rambut para siswa SMA Seminari Todabelu.

“Saya menjadi pemangkas rambut, karena saya ingin membantu teman baik saya, Kristian Riwu”, jawab Nelson ketika ditanyai tentang motifnya.

Lebih lanjut, Nelson menuturkan bahwa dirinya tidak tega menyaksikan Kristian memangkas rambut seorang diri. Oleh karena itu, ia belajar memangkas rambut. Namun, kala itu, hanya tersedia sedikit kesempatan baginya untuk membantu.

“Awalnya hanya satu atau dua orang saja. Tapi, lama-kelamaan makin banyak. Bisa empat sampai tujuh orang per minggu”, jelasnya.

Perjalanan Nelson sebagai seorang pemangkas rambut tidak mulus-mulus saja. Kendala utamanya terletak pada isu sarana. Nelson mengaku tidak memiliki peralatan pangkas rambut sendiri. Ia mesti meminjam dari teman-temannya. Menurutnya, hal tersebut hanya menguras waktu dan memperlambat pelayanannya.

“Kalau customer bawa alat yang lengkap kan bagus. Tapi, akan merepotkan kalau harus buang-buang waktu untuk sekedar cari alat. Saya merasa terhambat untuk melayani teman-teman”, kata pemuda yang suka melukis itu.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, Nelson selalu siap melayani kapanpun dibutuhkan, apalagi pada masa pasca-razia seperti ini. Ia sadar bahwa momen seperti ini adalah kesempatan yang bagus untuk belajar melayani dengan tulus.

“Saya selalu siap melayani. Panggil saya kalau mau gunting rambut. Tengah malam pun jadi”, katanya sekaligus menutup obrolan kami sore itu, Senin, 23 September 2024 (Edgar Sebo).

UNTUK MENJAGA WARISAN BUDAYA

Teater Kata Berkhmawan di Festival Nagekeo One Be 2024

Teater Kata Berkhmawan Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko mempersembahkan teater bertajuk “Menyulut Api Tradisi” dalam pergelaran Festival Nagekeo One Be 2024 di lapangan Berdikari, Danga, Mbay pada Selasa Malam (24/9).

Menurut pendamping Teater Kata Berkhmawan, Fr. Tevin Lory, keterlibatan Teater Kata Berkhmawan dalam Festival Nagekeo One Be 2024, sebagai bentuk partisipasi untuk menjaga warisan budaya yang sebagaimana digaungkan dalam tema Festival Nagekeo One Be 2024, yakni “Kebangkitan Kampung”.

Bagi Tevin, tema Festival Nagekeo One Be 2024 tersebut sangat relevan dengan situasi masyarakat Nagekeo saat ini. Menurutnya, di tengah arus globalisasi yang semakin deras, masyarakat sering terjebak dalam rutinitas modern yang menjauhkan mereka dari akar budaya.

Teater, sebagai medium seni, menurut Tevin, memiliki kekuatan luar biasa untuk menghidupkan kembali tradisi yang kerap terabaikan oleh laju modernisasi. Dalam setiap gerak, monolog, dan musik, tersimpan jejak-jejak sejarah yang bisa membangkitkan kesadaran akan warisan budaya.

“Ketika api tradisi dinyalakan kembali, masyarakat diajak untuk merenungkan bagaimana kita dapat mempertahankan dan merayakan warisan budaya di tengah perubahan zaman,” ungkap Tevin.

Selain itu, Tevin berharap dengan terlibat dalam Festival Nagekeo One Be 2024, ke depannya, Teater Kata Berkhmawan bisa menjadi sebuah arena bagi siswa untuk menemukan kebebasan dalam berkarya dan mengekspresikan kisah yang mendalam dan bermakna.

“Semoga panggung-panggung masa depan selalu menjadi ruang bagi mereka untuk tumbuh, bereksperimen, dan menyuarakan kebenaran,” tegas Tevin.

Sementara itu, salah satu pemeran Teater “Menyulut Api Tradisi”, Andris Raja bersyukur dengan keterlibatan Teater Kata Berkhmawan dalam Festival Nagekeo One Be 2024.

“Saya bersyukur. Saya dan teman-teman Teater Kata Berkhmawan bisa punya ruang, kesempatan untuk mengekspresikan diri, bakat kami di panggung Festival Nagekeo One Be 2024,” ungkap Andris. (Bayu Tonggo).

Opening Ceremony Pesfam 2024, Praeses Seminari Beri Pesan Ini

Segenap warga Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko melangsungkan opening ceremony Pesta Famili (Pesfam) menyongsong HUT ke-95 Seminari pada 15 September mendatang.

Opening ceremony ini berlangsung di halaman tengah SMA Seminari pada Senin sore hingga malam, 26 Agustus 2024.

Opening ceremony diawali dengan jalan santai yang mengelilingi perkampungan Mataloko. Selanjutnya segenap warga Seminari mengikuti rangkaian acara opening ceremony di halaman tengah SMA Seminari.

Tiga Hal Penting

Dalam opening ceremony tersebut, Praeses Seminari, RD. Martinus Ua atau Romo Tinus berpesan kepada warga Seminari tentang tiga hal penting. Tiga pesan tersebut berpijak pada tema Pesfam tahun 2024, yang terinspirasi dari moto Uskup Keuskupan Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden: “Peliharalah Kasih Persaudaraan” (Ibr. 13:1).

Pertama, Romo Tinus menyampaikan bahwa segenap warga Seminari tentu sepakat bahwa kasih dan persaudaraan menjadi nafas/roh/spirit yang menggerakkan keseluruhan hidup di Seminari.

Karena itu, bagi Romo Tinus kasih dan persaudaraan itu harus menjadi tekad bersama dan mesti dihidupkan oleh warga Seminari, baik oleh para formator, guru/pegawai, karyawan/ti, maupun oleh para seminaris.

“Saya kira ini harus menjadi nafas, menjadi roh yang menggerakkan seluruh keberadaan kita di lembaga ini. Mulai malam ini dan selanjutnya. Ini harus menjadi tekad kita bersama,” tegas Romo Tinus.

Kedua, menurut Romo Tinus perayaan Pesfam kali ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam perayaan Pesfam kali ini, akan dilangsungkan pula pencanangan menuju satu abad Seminari. Karena itu, bagi Romo Tinus, tentu akan ada banyak kegiatan dan pertemuan yang turut melibatkan warga Seminari ke depannya.

Dirinya berharap anggota komunitas Seminari, baik yang tinggal di dalam Seminari maupun di luar, tidak menjadi tamu atau penonton dalam setiap kegiatan atau pertemuan yang ditetapkan.

“Perlu ada sedikit pengorbanan, kalau kita betul mencintai lembaga kita ini dan supaya kasih dan persaudaraan semakin subur dan menggerakkan seluruh aktivitas kita. Masing-masing kita, mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi dengan cara dan bentuk tertentu,” ungkap Romo Tinus.

Ketiga, Romo Tinus menegaskan bahwa kasih harus menjadi fondasi persaudaraan di dalam komunitas Seminari. Menurut Romo Tinus, persaudaraan atau kebersamaan tanpa kasih itu mustahil.

Ia membandingkan hal itu dengan ungkapan: “ikan tanpa air, atau pohon tanpa tanah”.

Romo berharap dalam perjalanan menuju satu abad, warga Seminari mesti menjadikan kasih sebagai nafas yang menyuburkan dan menyalakan persaudaraan.

Di akhir amanatnya, Romo Tinus berterima kasih kepada Panitia Pesfam 2024 yang telah menyelenggarakan opening ceremony dengan sangat baik dan meriah. Ia juga berterima kasih kepada para formator, guru/pegawai, karyawan/ti, dan para seminaris yang telah terlibat dalam opening ceremony.

Ia berharap aneka kegiatan Pesfam 2024, mulai dari opening ceremony hingga perayaan HUT ke-95 Seminari pada 15 September mendatang, harus menjadi wadah yang memperkuat tumbuhnya semangat persaudaraan di dalam komunitas Seminari (Bayu Tonggo).

HUT Ke-63 Pramuka, RD. Tinyo: “Pramuka Itu Wajib”

Gudep SMPS dan SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko melangsungkan upacara memperingati hari Pramuka Nasional ke-63pada Rabu pagi, 14 Agustus 2024.

Upacara ini dihadiri pula oleh Pramuka Siaga (UPTD SDI Wogo, SDK Mataia, UPTD SDI Dolupore, SD Citra Bakti, SDK Mataloko), Pramuka penggalang (SMPS Seminari Mataloko, SMPS Kartini Mataloko), dan Pramuka penegak (SMAS Katolik Thomas Aquino Mataloko).

Mabigus SMA Seminari Todabelu, RD. Marianus Agustinus Gare Sera, M. Pd., atau Romo Tinyo yang bertindak sebagai pembina upacara, menegaskan bahwa kegiatan pramuka itu wajib, karena dapat membangun karakter yang baik, membawa kemajuan dalam kerja secara efisisen dan efektif, disiplin dan tanggung jawab, serta memberi ketahanan fisik.

Romo Tinyo menegaskan lebih jauh bahwa kegiatan pramuka itu akan menjadi pembelajaran yang positif apabila melibatkan hati di dalamnya.

“Jika kita libatkan hati dalam pramuka, maka itu akan menjadi pembelajaran yang positif. Segala hal akan terwujud bila kita setia dan konsisten untuk menjalaninya,” tegas Kepala SMA Seminari Todabelu ini.

Selain itu, Romo Tinyo juga menambahkan bahwa konteks pramuka di Seminari adalah pramuka yang bernilai 5S, yakni Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), Scientia (pengetahuan), Sapientia (kebijaksanaan), dan Socialitas (kemasyarakatan / persaudaraan).

Di akhir sambutannnya, Romo berharap agar kegiatan pramuka mesti wajibada dana dilaksanakan di setiap lembaga. Melallui kegiatan pramuka, pelajar dituntun untuk menjadi manusia yang bermutu, berkepribadian Indonesia, dan berakhlak mulia. (Mario Bay, Aril Mite, dan Efran Meno).

ROMO GABRIEL IDRUS, PR, DAN KISAH SEBUAH LEGENDA

     Ada banyak hal yang berkesan mengenai Romo Idrus, sapaan sehari-hari Praeses Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu yang sekaligus merangkap Kepala SMA Seminari ini. Semuanya terangkum dengan luar biasa lengkap, penuh detil, on the spot, pada momennya, dan sekaligus indah melalui buku Memori ini.

     Setahu saya, hanya ada dua pimpinan lembaga Seminari yang melakukan pencatatan luar biasa. Pertama, P. Frans Cornelissen, SVD, yang menerbitkan buku berjudul 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor, dan Bali (Percetakan Arnoldus Ende, 1978). Kedua, Rm. Gabriel Idrus, Pr dengan Memori berjudul Perjalanan Tugas di Lembaga Pendidikan Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko (2022) setebal hampir 500 halaman ini. Bagi saya, ini kebetulan yang sangat istimewa. Akhir dari 50 tahun pertama perjalanan pendidikan Seminari didokumentasikan dan direfleksikan secara amat mendalam oleh The Founding Father itu sendiri, dan menjelang akhir 50 tahun paruh kedua pendidikan Seminari ditandai dengan hadirnya Memori Rm. Idrus ini.

      Kalau buku pertama karya Pater Cornelissen, SVD seperti memberi aba-aba kepada Seminari dengan keyakinan yang kuat untuk berlayar 50 tahun lagi ke depan sampai mencapai satu abad, buku kedua, yakni Memori Rm. Idrus ini memberi semacam aba-aba untuk membuang sauh, setelah hampir selesai mengarungi paruh kedua 50 tahun Menuju Satu Abad. Dan setelah itu, Rm. Idrus menyerahkan tongkat estafet kepada pimpinan baru untuk berefleksi sejenak di pelabuhan menyongsong satu abad, lalu mengajak Seminari untuk taat dengan penuh keyakinan pada perintah Guru: terus berlayar, bertolak ke tempat yang dalam untuk menebarkan jala. In verbo Tuo laxabo rete (Lk. 5:5)

    Saya tidak ingin membandingkan keduanya. Rasanya tidak perlu, karena setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Namun, membaca kedua karya ini, bagi orang yang ikut terlibat langsung dalam karya pastoral pendidikan calon imam di Seminari ini, sungguh mengaduk-aduk perasaan batin.

     Ada rasa syukur yang meluap. Saya teringat pelindung Seminari ini, Santo Yohanes Berkhmans. Dia tidak sampai ditahbiskan sebagai imam. Namun, kehidupannya sebagai anak muda calon imam itu begitu membekas. Pada saat kematiannya begitu banyak orang melayat. Pembimbing rohaninya hanya bisa tercengang, lalu berucap, “Hari ini, jari Tuhan ada di sini.” Dalam kedua karya istimewa ini, kita bisa rasakan hadirnya “Jari Tuhan”, di sini, di Seminari kita ini.

    Ada rasa haru yang mendalam. Rm. Idrus memulai masa penugasannya di Seminari dengan perasaan berat, karena tidak ada apa-apanya, tidak ada persiapan profesional yang meyakinkannya untuk menerima tugas ini. “Saya rasa berat Bapak Uskup,” ungkapnya jujur kepada Mgr. Longinus da Cunha. Namun, kata-kata Bapak Uskup kepadanya itu palu godam. “Karena kamu merasa berat, maka saya yakin kamu bisa!” In verbo autem Tuo, laxabo rete ­– Tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, maka aku menebarkan jala juga.

     Dalam kisah Injil Yohanes, para murid yang pasrah pada kata-kata Tuhan yang berkuasa itu bertolak ke tempat yang lebih dalam. Mereka menebarkan jala. Di luar dugaan, mereka menangkap banyak sekali ikan. 153  ekor banyaknya. Angka  1 5 3 ternyata angka simbolis dalam bahasa Ibrani yang berarti, Akulah Anak Allah yang Hidup (ini kurang lebih penjelasan guide, ketika berkesempatan berziarah ke Danau Galilea, Israel). Nanti akan kita baca pada akhir Memori Rm. Idrus ini, rasa terpesonanya dia menyaksikan kekayaan rahmat Tuhan yang dia alami sepanjang masa penugasannya di Seminari. Ini merupakan peneguhan atas moto tahbisan imamatnya sendiri yang indah sekali, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Seluruh Bab V dari Memori ini menggemakan rasa terpesona dan sikap adoratif para murid, termasuk Rm. Idrus, setelah “menangkap” dengan mata kepala sendiri, dengan seluruh pengalaman hidup, 1 5 3  itu.

       Kita bisa baca sendiri daftar “mukjizat” atau “jari-jari 153” yang dialami sejak awal perjumpaan dengan tiga figur imam, Pater Eman Weroh, SVD, Rm. Edy Dopo, Pr, dan Rm. Bernard Sebho, Pr: penggalian visi dan misi yang melibatkan seluruh komponen, yang boleh dikatakan sebagai “pembaptisan” bersama dalam satu ikatan dan gerakan roh kependidikan; keberanian membedah tradisi penanganan keuangan Seminari dengan menanamkan tradisi dan sistem baru yang lebih akuntabel, yakni RAPBS; tanggapan yang bijak, pada waktunya, dan penuh risiko “menabrak” tradisi pendidikan Seminari, terhadap tuntutan pemerintah akan adanya manajemen pendidikan yang lebih profesional, yakni dengan memisahkan SMP dan SMA; memfasilitasi pengembangan diri yang profesional dari para guru dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan yang berbobot demi pelayanan kepada calon imam; ketahanan menghadapi berbagai risiko, termasuk ancaman pembunuhan; upaya menghemat dana dan menabung secara berkelanjutan melalui berbagai deposito untuk kepentingan lembaga; pengembangan infrastuktur dan sarana prasarana yang kelihatannya mustahil, mulai dari rehabilitasi berat, yang menjangkau sebagian besar kompleks Seminari, sampai pembangunan-pembangunan baru, mulai dari Ruang Kelas Baru (RKB) sampai Rumah Susun (Rusun); pengadaan sarana prasarana seperti marching band, peralatan untuk Sanggar Kreasi Berkhmawan, pengadaan buku-buku untuk perpustakaan, alat musik, komputer, dan jaringan internet. Ini rasanya mustahil, tapi terjadi.

   Sehubungan dengan renovasi besar-besaran, pembangunan baru, dan pengembangan sarana prasarana ini ada sebuah kisah menarik. Suatu waktu sepulang mengantar para siswa untuk konser galang dana di Jakarta, dan setelah renovasi kamar makan SMP ditambah English Room, dan kamar tidur Rm. Nani, imam yang menerima tahbisan 29 September 1993 di Lela, Maumere ini berdoa di depan patung Santo Yohanes Berkhmans di depan Kapela SMP. Doa ini berbentuk umpatan, kurang lebih demikian. “Santo Yohanes Berkhmans. Kau lihat sedikit di belakang kau ini ko, ini kapela kumal yang tidak ada potongan. Kau tidak bisa bantu ko? Kau gerakkan orang untuk renovasi ini kapela ni ko?”

     Doa ini tampaknya kasar, tapi keluar dari hati yang jujur, dilantunkan oleh seorang yang seluruh jiwa-raganya dipersembahkan untuk Seminari, yang tak henti-hentinya berpikir dan mencari jalan bagaimana merenovasi pendidikan calon imam ini, yang telah sekian lama berjasa baik untuk gereja lokal maupun gereja sejagad. Berkali-kali Rm. Idrus meyakinkan para rekan imamnya, para guru, pegawai, orang tua / wali seminaris untuk mulai mengambil langkah merenovasi gedung-gedung yang reyot. “Ini memang berat, tapi kalau kita tidak mengambil tanggung jawab, siapa yang harus mulai?”

       13 Maret 2017, pukul 10.00 pagi. Ratusan umat berkumpul di dalam Kapela Santo Yohanes Berkhmans yang telah dipugar itu, untuk merayakan Misa Syukur. Seluruh bangunan direnovasi dengan tetap mempertahankan arsitektur yang lama. Loteng, atap, tembok, lantai diganti baru. Interior Kapela itu indah sekali dan sungguh mengangkat hati. Bagian luarnya diberi cat putih yang menawan. Tanggal 13 Maret adalah Hari Pesta Santo Yohanes Berkhmans. Dalam Misa Syukur itu, melalui para donatur yang saat itu hadir, Santo Yohanes Berkhmans seakan-akan mengabulkan secara utuh jeritan hati Praeses Seminari yang sudah kehilangan kehalusan kata untuk mengungkapkan doa. “Jari Tuhan ada di sini”! Upaya renovasi Kapela ini dicatat secara lengkap dalam Memori ini.

      “Jari Tuhan, jari 1 5 3” terus berlanjut. Saya tidak ingin menyebutkan satu per satu. Semuanya terekam dalam Memori ini. Saya hanya menyebutkan beberapa contoh.

     Rm. Idrus menghidupkan kembali kegiatan ekstrakurikuler Pramuka jauh sebelum kegiatan tersebut digaungkan kembali melalui Kurikulum 2013. Berbasiskan pengalamannya di bangku SMA tahun 1980-an di mana gerakan Pramuka begitu terasa di Seminari, dengan kemping-kemping yang mengesankan, termasuk kemping di Mengeruda, Soa, tahun 1984 bersama sekelompok pemuda yang tergabung dalam Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada (INKA), Rm. Idrus meminta bantuan Pak Nani Regang, tokoh Pramuka di Kabupaten Ngada, untuk mengaktifkan kembali gerakan Pramuka di Seminari. Sejak itu, Pramuka menjadi kegiatan yang sangat hidup. Belakangan, kegiatan tersebut bermetamorfosa dalam ‘wajah-baru’ bersama kegiatan Bahasa Inggris, English Camp. Bahasanya menggunakan Bahasa Inggris, rohnya kegiatan Pramuka. Dia menjadi wadah integrasi. Berbagai mata pelajaran terlibat. Terakhir, pada English Camp 2018, mata-pelajaran Inggris, matematika, fisika, dan Kesenian berkolaborasi memfasilitasi berbagai kegiatan selama 4 hari penuh dengan lapangan sepabola SMP sebagai camping ground-nya.

     Rm. Idrus juga menginisiasi gagasan Grand Design Seminari menuju Satu Abad. Terasa sekali di sini berbagai pihak terlibat menyumbangkan pikiran dan tenaga. Berbagai Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemkab Ngada, alumni serta pemerhati pendidikan digelar. Hasilnya terasa sekali. Ada perumusan masalah yang jelas, ada semacam arah-dasar, bagaimana menjalankan reksa pendidikan Seminari ke depan, ada upaya-upaya konkret dalam rangka pembenahan Seminari di berbagai sektor.

     Upaya-upaya konkret itu beraneka ragam, dan terus berjalan. Di bidang legalitas status tanah Seminari, misalnya. Ini kerja yang sangat ruwet dan menjadi masalah turun-temurun. Di masa kepemimpinan Rm. Idrus, legalitas status tanah menjadi jelas. Untuk situasi sekarang dan ke depannya di mana legalitas status tanah menjadi taruhan eksistensi Seminari, ini merupakan salah satu legacy (warisan) yang sangat istimewa. Semua perjuangan itu secara kronologis dan lengkap dapat dibaca pada Memori ini.

    Upaya lain yang tak kalah pentingnya bagi eksistensi Seminari ke depan adalah perjuangan kaderisasi tenaga tertahbis untuk bekerja di Seminari. Konsekuensi dan risikonya besar untuk Seminari. Kalau sekarang tidak dilakukan, maka Seminari akan berada pada situasi to be or not to be. Tidak bisa lagi diharapkan seorang imam dengan basis Sarjana Filsafat Umum ditugasi begitu saja bekerja di Seminari, tanpa ada persiapan yang lebih spesifik. Kalau para imam tidak disiapkan secara khusus, maka akan ada dua kemungkinan. Atau para awam yang profesional mengambil alih posisi-posisi penting pendidikan di Seminari sesuai tuntutan pemerintah dan profesionalisme, atau Seminari ini tinggal hanya sejarah. Tidak bertahan. Mati dan menjadi fosil.

    “Jari Tuhan” itu terasa sekali, ketika tiba-tiba seluruh dunia ditimpa bencana Covid-19. Semua orang, semua lembaga, berada pada situasi batas, situasi kritis. Kalau penanganannya keliru, kalau tidak ada kolaborasi yang saling menjaga, yang saling menyelamatkan, yang penuh pemahaman, yang menumbuhkembangkan, situasi bisa sangat berbahaya. Kalau keputusan-keputusan keliru, atau membingungkan, masa depan lembaga ini bisa berbeda. Orang kunci di balik penanganan bencana Covid-19 yang dahsyat ini adalah pemimpinnya, Rm. Idrus.

     Semua ini menimbulkan rasa bangga. Rm. Idrus, sejauh yang saya tahu, imam yang bersahaja. Imam yang rendah hati. Dia pikul pacul, bekerja di kebun. Pernah hampir terjatuh di kebun kopi. Dia ngepel lantai. Dia bersihkan kandang babi. Kalau melihat Rm. Idrus sore-sore dorong mesin untuk potong rumput, itu hal yang biasa.

     Namun, yang sering tidak terlihat, dia adalah sekretaris itu sendiri, perekam jalannya roda kehidupan Seminari yang ulung, selama masa pengabdiannya. Dia misa pagi sekali. Hampir setiap hari. Jam 6.00 pagi, dia sudah menyantap sarapan pagi di kamar makan. Jam 6.30, dia sudah ada di kantornya, menunggu kehadiran rekan-rekan guru. Selama berada di kantor, dia duduk menulis buku kronik, dalam sunyi. Hanya ditemani, Sparky, anjing kesayangannya. Kalau dia minta bantuan sesama rekan untuk membuat draft, atau kertas kerja, atau laporan, dia memeriksa dengan sangat teliti, sampai titik dan koma. Berkali-kali.

     Melalui kehadiran dan karyanya, “Jari Tuhan” ikut menari-nari di sini, di Seminari ini. Maka, kalau pada Bab V, dia bermadah, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15), ini adalah madah seluruh anggota Komunitas Seminari. Dia mengartikulasikan ungkapan syukur Seminari ini.

Jembatan Kolaborasi, Jembatan Transformasi

    Profesor Rhenald Kasali, Ph.D, Guru Besar Ekonomi pada Universitas Indonesia, melalui program Youtube-nya menyebut 10 ledakan besar yang terjadi pasca Covid-19, di antaranya ledakan kolaborasi. Zaman sekarang ini adalah zaman kolaborasi. Orang tidak bisa lagi bekerja sendiri. Rhenald Kasali menyebut 3 S untuk membangun kolaborasi. S pertama adalah sensory. Banyak pesan atau sinyal yang tidak terungkap lewat kata, tapi lewat sinyal-sinyal tubuh, lewat sensory. S kedua adalah synchronous. Kalau mau berkolaborasi kita harus sinkronkan diri. Ketiga adalah spontaneous, tidak kaku, berdiskusi mengenai berbagai hal di mana saja, ada kebebasan untuk berkreasi, mencipta.

   Salah satu kekuatan Rm. Idrus ini adalah kemampuannya untuk tidak saja berkolaborasi, tapi menjadi jembatan kolaborasi berbagai pihak. Rasanya seluruh karya besar yang disentil di atas adalah hasil kepiawaian Rm. Idrus berkolaborasi.

      Dia bukan tipe lone ranger, yang mau bekerja sendiri, bertarung sendiri. Dia bekerja sama dan menghargai kemampuan rekan-rekannya. Dengan caranya, dan dengan kerendahan hatinya, dia memupuk kerja sama itu.

          Suatu waktu, dia meminta pertemuan, hanya di antara para imam. “Teman-teman, kalau teman-teman lihat ada sesuatu yang kurang pada saya, kita omong terus-terang ko.” Teman-teman bicara terbuka, tapi tentu ada pesan-pesan yang mungkin tidak diungkapkan dengan kata-kata. Rm. Idrus menangkap sinyal-sinyal. Juga ada hal-hal yang Rm. Idrus tidak ungkapkan dengan kata-kata, karena rahasia jabatan, karena ada banyak pertimbangan. Namun, ada sinyal-sinyal yang teman-teman baca. Rm. Idrus lepas bebas dalam pergaulan, tapi ada momen di mana kata-katanya terukur. Dia butuh waktu, ruang, dan konteks tertentu untuk mengungkapkannya. Rm. Idrus bukan tipe pemimpin yang judgemental.

     Maka kalau banyak orang memberi kesaksian bahwa kamar makan di Seminari menjadi tempat yang paling menyenangkan untuk rekan-rekan se-komunitas, Rm. Idrus adalah kuncinya.

     Rm. Idrus dengan rela hati menempatkan diri dalam jaringan yang lebih besar. Dia membuka kerja sama dengan berbagai pihak: dengan pemerintah, dengan pemerhati pendidikan, dengan para alumni. Dengan caranya sendiri, dia merawat dan menumbuhkembangkan jaringan itu, bahkan dengan sentuhan yang sangat personal. Dalam jaringan yang besar itu, dia berupaya mensinkronkan semua pihak, agar berada pada ‘nada’ atau arus yang sama, untuk kepentingan lembaga pendidikan calon imam ini. Dia adalah jembatan kolaborasi, atau pemimpin sebuah orkestra, yang membuat kolaborasi berbuah transformasi.

     Suatu waktu, pada pertengahan tahun 2017 selepas kegiatan lokakarya bersama Ibu Itje Chodidjah di Wisma Emaus, Ende, Pater Anton dan saya memutuskan untuk berbicara dengan Rm. Idrus di kantor Kepala Sekolah SMA. Kami bercerita tentang lokakarya yang begitu bagus yang kami alami di Ende bersama Ibu Itje. “Kita harus buat lokakarya ini untuk semua formator Seminari. Nani tolong komunikasikan dengan Ibu Itje, tanyakan waktunya, dan atur bagaimana dia bisa ke Seminari.”

     Itulah awal pembicaraan untuk menghadirkan Ibu Itje Chodidjah di Seminari Mataloko, dan pada 15-17 Februari 2018 terjadilah lokakarya yang istimewa berjudul Interpersonal & Social Skills Training dengan Ibu yang sangat Islami yang ikut menjadi bagian dari orkestrasi pendidikan calon imam.

   Ini salah satu contoh bagaimana dalam kepemimpinan Rm. Idrus, spontanitas dan kebebasan diberikan ruang yang begitu leluasa sehingga orang dapat bekerja dan memberikan yang terbaik dengan segala totalitas untuk kepentingan anak-anak.

       Dalam bidang saya sendiri, bahasa Inggris, saya merasakan itu. Saya memfasilitasi kegiatan Immersion Program, dan melaksanakannya di berbagai tempat, termasuk di Fo’a, di kebun Pak Laurens Nau, dan saya tahu Rm. Idrus sepenuh hati mendukung. Bersama anak-anak, kami mendirikan Berchmawan News, dan Rm. Idrus berdiri sebagai pilar pendukung. Kami mengembangkan Eagle English Club yang sampai sekarang sangat aktif, dengan peserta dari berbagai sekolah. Kami merancang dan melaksanakan English Camp dengan Pramuka sebagai rohnya, dan lapangan atas Seminari sebagai camping ground. Kami mengembangkan extensive reading, berjejaring dengan Extensive Reading Foundation di Jepang, dan menggunakan aplikasi MReader untuk membantu siswa. Lagi-lagi Rm. Idrus tidak hanya mendukung. Dalam sidang guru, extensive reading ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum Seminari, dan English Room menjadi salah satu pos internet yang penting di Seminari.

  Bagi saya, Rm. Idrus tidak hanya piawai berkolaborasi. Dia adalah jembatan kolaborasi dan jembatan transformasi. Di tangannya, reksa pendidikan di Seminari menjadi sebuah simfoni.

Kisah Sebuah Legenda

    Pada 30-31 Januari 2006 diadakan lokakarya berjudul “Sistem Penilaian berdasarkan KBK”. Laporan lengkapnya bisa dibaca pada Memori ini. Pada Sambutan Penutupan, Rm. Idrus berbicara tentang novel Sang Alkemis, karya penulis Brazil, Paulo Coelho.

       Novel itu memang menarik sekali. Namun, yang lebih mengesankan saya, adalah pelajaran yang ditarik Rm. Idrus. Dia berbicara tentang tokoh utama, bocah penggembala domba dari Andalusia, bernama Santiago. Singkat cerita, Santiago bermimpi mendapatkan harta karun. Harta karun itu ada di bawah sebuah piramida di Mesir. Di Mesir, dia bertemu seorang pedagang Kristal. Atas jasa Santiago, pedagang Kristal itu jadi kaya. Dia memberikan sejumlah uang kepada Santiago untuk pulang ke kampung halamannya. Dia mengukir kisahnya sendiri menjadi seorang legenda penggembala domba. Kepada para guru, Rm. Idrus berpesan, “Legenda kita adalah legenda guru.”

       Saat membaca Memori Rm. Idrus ini, sebetulnya saya membaca kisah sebuah legenda. Legenda seorang pemimpin yang sederhana, anak desa, seperti Santiago. Legenda seorang pemimpin yang penuh impian. Legenda seorang pemimpin yang teguh, yang penuh perjuangan, yang menderita, tapi tak pernah menjadikan penderitaannya sebagai alasan untuk menyerah. Kehidupan seorang pemimpin itu padang pasir, seperti yang dialami Santiago, tapi langkahnya, seperti langkah Santiago, tak pernah surut. Ada banyak kemustahilan yang sebenarnya bisa menghentikan langkah Santiago. Namun, Santiago pantang mundur. Dia bahkan mengalami, banyak hal menjadi mungkin. Pemimpin memungkinkan yang mustahil menjadi nyata. Legenda seorang pemimpin yang mampu membaca pertanda. Legenda seorang pemimpin yang menghayati kepemimpinannya sebagai sebuah seni, sebuah orkestra untuk menghasilkan simfoni. Legenda seorang pemimpin yang basisnya adalah spiritualitas, berbagi kekayaan imamat.  Legenda seorang pemimpin yang mengajak seluruh komunitas untuk melihat, dan percaya, “Jari Tuhan ada di sini”, di Seminari ini.

     “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Terima kasih Rm. Idrus.

                                            Rm. Nani Songkares, Pr 

SI RAMBUT PUTIH

Catatan Kenangan bersama Romo Bene Daghi, Pr

“Kamu sudah lewat 5 menit. Saya tunggu kamu di lapangan tapi kamu tidak datang. Tidak perlu lagi ke lapangan!” tegur Romo Bene, sapaan khas untuk Romo Benediktus Daghi, Pr, saat beliau baru menjadi Praeses Seminari Mataloko. Kami janjian bermain badminton di aula rekreasi SMP pukul 15.30. Namun, karena saya masih harus bekerja bersama siswa pada hari Rabu (Rabu dan Sabtu adalah hari kerja di pos kerja masing-masing selama 1 jam sesudah istirahat siang), saya tidak bisa datang ke aula rekreasi pada waktunya. Tanpa tedeng aling-aling, Romo Bene menegur saya di depan para siswa.

Salah satu kekhasan Romo Bene adalah penghargaan yang luar biasa besar terhadap waktu. “Kalau kita tidak disiplin, kita akan menunda banyak pekerjaan, kita mengganggu banyak orang, dan ini merepotkan,” katanya suatu waktu. “Time is what we want most but, but what we use worst, ” kata William Penn. Untuk Romo Bene, waktu harus dimanfaatkan sebaik-baiknya. Begitu lonceng tanda selesai jam pelajaran, Romo Bene mengakhiri pelajarannya dan meninggalkan ruangan kelas. Satu atau dua menit sebelum pelajaran dimulai Romo Bene sudah berada di depan kelas. Bahkan saat memberikan ceramah, diminta bicara sekian menit, sekian menit itulah yang dimanfaatkannya sungguh-sungguh.

Karena penghargaan yang besar pada waktu inilah, Romo Bene selalu ada waktu untuk menyiapkan segala sesuatu: kotbah, pelajaran, ceramah. Ada waktu untuk menyiapkan modul pelajaran. Ada waktu untuk memeriksa pekerjaan siswa. Dan, ada waktu untuk melayani sesamanya.  Asal telah disampaikan sebelumnya, dia tidak akan pernah melalaikan permintaan orang. Dia adalah tempat para Romo, frater, guru, dan pegawai mencurahkan isi hatinya, melalui Sakramen Pengakuan, atau konsultasi pribadi. Dia adalah orang tua yang rapuh secara fisik, tapi menjadi sandaran kokoh secara rohani.

Saat para Romo atau para guru mengalami kesulitan kendaraan, Romo Bene selalu menawarkan panther-nya. “Saya gedor kamar Romo Bene tengah malam, karena ibu mau melahirkan,” kisah Pak Yus Tae, guru biologi di Seminari, yang telah menjadi Kepala Sekolah di SMA Negeri di Were. “Saya nekat saja, Romo. Saya yakin, beliau pasti mau bantu. Benar. Beliau langsung bangun, ambil panther di gudang, dan bantu antar ibu saya ke Bajawa”, kenang Pak Yus.

Suatu waktu dalam sebuah sidang sekolah, para guru diimbau membelikan laptop. Para guru terdiam. Saat itu harga sebuah laptop dengan spesifikasi biasa saja mencekik. Romo Bene dengan sukarela menawarkan uang yang disimpannya di bank untuk dipinjamkan. Dia hidup sederhana. Uang tidak dia belanjakan sembarangan. Sebesar apa pun yang dia peroleh, dia tabung. Pada waktunya, dia mengulurkan tangan untuk membantu. Pastor bonus – gembala, imam yang baik, yang rela berkorban, asal orang lain tertolong, dan merasa berarti dalam hidupnya.

Saat Indonesia bergulat dengan kebhinekaan, topik tentang Islamologi menjadi salah satu pembicaraan hangat di kamar makan. Ada-ada saja pertanyaan yang dilontarkan. Islamolog ini pasti akan meladeni dengan ketenangannya, dengan guyon-guyonnya yang membuka cakrawala penghargaan terhadap kebhinekaan. Sesewaktu dia menyisipkan bahasa Arab yang mengundang ingin tahu. Semua mata pasti tertuju kepada Si Rambut Putih – julukan para siswa seminari kepadanya. Si rambut putih penuh kasih dan inspirasi.

Orang tua yang penuh kasih itu kehangatan di musim dingin. Kepergian Romo Bene pukulan besar untuk Seminari. Kami – para Romo, frater, suster, guru, pegawai, anak-anak kehilangan sosok orang tua. “Aduh, orang tua sudah tidak ada lagi.” Kata-kata ini membuat hati sangat pilu. Pilu sekali. Sebuah sandaran telah hilang.

Biasanya anak-anak seminari akan pergi berdoa dan bermain-main, bercanda di pusara Pater Engels, SVD, Romo Domi Balo, Pr, Romo Nadus Sebho, Pr, dan para Romo lainnya di kuburan. Mereka membersihkan kuburan, pasang lilin. Berdoa, omong-omong. Mereka juga pasti rindu bercanda dengan kae, Romo Bene Daghi, di pusaramu. Hanya saat ini, pusaramu jauh di sana, di Wolobaja.

Semoga Romo Bene selalu bisa omong-omong dengan anak-anak, di hati mereka. “Cuma dalam Dia yang menguatkan aku, aku mampu” (Fil 4:13). Kami mencintaimu kae. Selamat jalan.

Nani Songkares

IMAM DI ANTARA CALON IMAM

 IMAM DI ANTARA CALON IMAM

Oleh : Rm. Beni Lalo, Pr

Tulisan ini dibuat dalam rangka Pancawindu imamat Rm. Bene Daghi. Beliau mendesak saya agar segera menuntaskan tulisan ini untuk dimasukkan ke dalam Buku Pancawindunya. Setiap kali ketemu selalu beliau bertanya “sudah selesai ko ?”. Di awal bulan Januari saya mengatakan kepadanya, ”sudah tuntas Ka’e…”. Saya tidak sangka kemendesakkan pertanyaan Rm. Bene sebagai pertanda bahwa ia tidak lama lagi hidup di dunia ini. Tanggal 1 Pebruari 2021 beliau menarik napas terakhir di RSU Bajawa dan dikuburkan dengan cara khas di usia imamat ke 36 menuju 37 tahun.

Dalam duka kita menyerahkan Rm. Bene ke dalam tangan Tuhan. Sambil kita bersyukur atas 36 tahun imamatnya sebagai rahmat Allah bagi dunia dan gereja. Benar motto tahbisan imamatnya: “Cuma dalam Dia yang menguatkan aku, aku mampu…” (bdk.Fil. 4: 13). Rahmat Allah meneguhkan kesetiaan seorang imam yang rapuh secara manusiawi. Rahmat yang ditumpahkan dalam kondisi batin hidup seseorang, dalam dialog internal dari waktu ke waktu antara dinamika panggilan/tindakan Allah dan dinamika jawaban/tindakan manusia (Darminta,2006: 16). Allah yang hadir dalam seluruh proses panjang panggilan dari tahap awal ke tahap perutusan: undangan Allah pada seseorang; keinginan seseorang untuk bersatu dengan Allah; komitmen dalam iman; perkembangan spiritual; dan mandat apostolik (Konseng, 1995: 14).

Tahap-tahap yang sama juga dialami oleh Romo Bene Daghi sepanjang 36 tahun sebagai imam. Dalam tulisan ini, saya tidak mendalami tahap-tahap di atas. Saya membuat refleksi yang bersumber dari konsep imamat (biblis dan tradisi gereja) kepada fenomena-fenomena yang sempat tertangkap lensa dalam pengalaman hidup bersama Rm. Bene Daghi.

A. Menjadi imam Tuhan

Pada saat seseorang menyebut kata “imam”, muncul dalam pikirannya gambaran sosok seorang yang berperan sebagai pengantara manusia dan Tuhan, seorang yang berperan sebagai penghubung yang menyampaikan doa dan harapan umat pada Tuhan. Sebaliknya juga, imam menjadi tanda kehadiran Tuhan di tengah umatNya. Surat Ibrani  mencatat bahwa seorang imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah (Ibr.5:1).

Konsili Vatikan II menyatakan bahwa imam menyandang kewibawaan Kristus dan berkat meterai istimewa, dijadikan serupa dengan Kristus, sehingga mampu bertindak dalam pribadi Kristus Kepala (PO 2). Dengan demikian, imam menjadi simbol kesucian. Simbol kesucian pada diri imam dinyatakan melalui pelaksanaan tugas-tugasnya, yakni tugas mengajar (pelayanan Sabda Allah), menguduskan (pelayanan sakramen) dan memimpin (pelayanan kepemimpinan).

1. Pelayan Sabda Allah: sebagai pelayan Sabda Allah, imam bertugas untuk mewartakan Injil ke seluruh dunia. Perjanjian Lama dalam Kitab Ulangan mencatat peran mengajar dari imam adalah mengajarkan aturan-aturan Tuhan kepada Israel (Ul.33: 10). Dalam teks ritus tahbisan imam, ada ajakan terhadap imam baru untuk mengajar dan melaksanakan aturan Tuhan. Seperti pesan Paus Fransiskus,”…dengan merenungkan hukum Tuhan, pastikan kalian percaya akan apa yang kalian baca, kalian ajarkan apa yang kalian percaya, dan kalian menjalankan apa yang kalian ajarkan…”.

Tentang sosok Rm. Bene, saya mengenal sebagai pribadi imam yang berpusat pada Sabda Allah. Dia berusaha hidup konsisten. Boleh saya bilang, dalam kerapuhannya, dia menghidupi apa yang dia baca dan percaya, serta apa yang dia wartakan. Hal ini terlahir dari bagaimana ia bersungguh-sungguh membaca, merenung dan membagi Sabda Allah setiap hari. Sabda Allah dihadapkan pada diri sendiri untuk dihayati, baru sesudah itu dibagikan pada sesama. Tampak dalam persiapannya untuk merayakan Ekaristi pada semua hajatan, entah peristiwa harian sederhana, entah peristiwa hari besar/hari raya. Buku agenda khusus untuk renungan/kotbah tersiapkan dan disimpan secara rapi dari dulu sampai sekarang. Kotbahnya disiapkan dan dibawakan secara tertulis atau diketik. Jarang dia berkotbah tanpa teks.

Peran pelayan Sabda Allah identik dengan peran guru. Sebagai calon imam (frater TOP) dan imam, dia selalu ditempatkan sebagai guru di lembaga pendidikan calon imam, kecuali sebagai seorang diakon ditempatkan di paroki Wolofeo.

Satu kelebihan dari Romo Bene sebagai seorang guru adalah konsistensi antara apa yang diajarkan dan apa yang dihidupinya. Dia menunjukkan keteladanan kepada kami para imam  di seminari. Keteladanan yang paling terasa adalah pada disiplin diri.  Pϋnktlich ! Waktu benar-benar terdiri atas detik per detik, menit per menit.

Peran pelayan sabda identik juga dengan peran kenabian yang mewartakan kebenaran. Memang benar pribadi ini berbicara tentang kebenaran. Berbicara sesederhana apa pun harus benar dengan verifikasi data yang jelas. Dia menertibkan dirinya pada jalan lurus sampai pada cura minimorum, seperti mengurus keuangan harus dipertanggungjawab sampai pada satu sen. Kebenaran yang dihayatinya adalah buah dari kedalaman diri yang berakar pada Sabda Allah yang direnungkannya setiap hari. Kedalaman diri bukan ruang kosong, melainkan lahan subur untuk kebenaran hidup (Reinhard Lettmann: Innerlichkeit ist kein Hohlraum oder inhaltlose Leere…)

2. Pelayanan sakramen: sebagai pelayan sakramen, imam bertugas untuk mempersembahkan kurban rohani atau melayani karya pengudusan lewat sakramen (PO 5). Dalam surat kepada umat di Ibrani (5,1), dikatakan secara jelas bahwa imam ditetapkan bagi manusia dalam hubungan mereka dengan Allah, supaya ia mempersembahkan persembahan karena dosa. Dengan melayani sakramen-sakramen, seorang imam menghadirkan Kristus yang telah mengurbankan diri-Nya di kayu salib.

Searah dengan disiplin dirinya yang baik, pribadi Romo Bene selalu setia merayakan Ekaristi harian pada waktunya, kecuali kalau dia dalam perjalanan atau sakit. Ekaristi harian disiapkan sejak sebelumnya. Omnia parata sunt. Semua disiapkan termasuk membaca kalender liturgi setiap hari dengan semua titik komanya, sehingga semua teman imam yang merayakan hut kelahiran dan tahbisan hari itu, didoakan.

Kekurangan yang berkaitan dengan pelayanan sakramen adalah dia jarang melayani sakramen permandian, sakramen nikah dan sakramen orang sakit, karena alasan yang sangat jelas, full di seminari. Sakramen tobat tetap dilaksanakan untuk para imam/ suster yang datang mengaku dosa dan terlebih pelayanan untuk para siswa seminari.

Seiring dengan masa tuanya dan memiliki kematangan rohani yang mumpuni, dia pernah dipercayakan oleh Uskup sebagai Delegatus untuk cura animarum biara-biara di kevikepan Bajawa dan sering pula melayani ret-ret para imam/suster.

3.Pelayanan kepemimpinan/gembala: sebagai pemimpin umat Allah, imam mengemban tugas Kristus sebagai Kepala dan Gembala dengan menghimpun semua orang, dalam persaudaraan sejati dan menghantar mereka menuju komunio Allah Tritunggal (PO 6). Seperti kata Paus Fransiskus bahwa imam menjalankan tugas di dalam Kristus, Kepala dan Gembala, dalam persatuan dengan Uskup. Imam menjalankan tugas seperti Kristus, bukan untuk dilayani melainkan untuk melayani.

Seperti sudah dikatakan di atas bahwa Rm. Bene bertugas lebih di lembaga-lembaga pendidikan calon imam, maka boleh dibilang dia menjadi gembala dan pemimpin di seminari-seminari. Domba-dombanya adalah para siswa seminari/para frater, dan saat beliau menjadi Praeses di Ritapiret dan Mataloko, domba-dombanya adalah seluruh anggota komunitas itu.

Penempatan Romo Bene di Seminari Menengah Mataloko sejak 2006, sebenarnya dimaksudkan oleh Uskup, agar di tengah komunitas pendidikan calon imam, harus ada seorang imam senior yang berperan sebagai teladan, sekaligus sebagai seorang tua yang matang, yang berperan sebagai sosok bijak dan tenang di tengah orang muda. Menjadi tokoh pemersatu dan menjaga persaudaraan adalah salah satu sayap dari tugas kegembalaan atau kepemimpinan seorang imam.

B. Menjadi imam Diosesan

Siapakah imam diosesan itu ?  Rm. Domi Balo (alm.) dalam brosur pendidikan calon imam, menjelaskan secara negatip bahwa imam diosesan adalah imam yang tidak termasuk Ordo atau Konggregasi/Tarekat tertentu. Imamatnya adalah imamat perdana atau rasuli (seperti diterima para Rasul), yakni imamat seperti yang diserahkan Kristus kepada para murid-Nya pada awalnya. Atau sekurang-kurangnya berpangkal pada imamat awali tersebut, tanpa atribut lainnya, terkecuali bahwa ia oleh tahbisannya di-tua-kan. Dalam bahasa aslinya disebut “Presbyter”, yang berarti “tetua/penatua”, yang kemudian diterjemahkan dengan “imam”. Oleh sebab itu, di belakang nama seorang yang ditahbiskan menjadi imam diosesan (khususnya di Indonesia) ditambahkan atribut “Pr” (singkatan dari presbyter, bukan projo)

Imam non tarekat ini disebut imam diosesan yang dikaitkan dengan kata “diocesis” (Lat. wilayah) karena ia terikat pada salah satu wilayah keuskupan tertentu. Dioses sama dengan praja dalam bahasa Jawa. Dalam hubungan dengan Gereja, yang dimaksudkan dengan wilayah tertentu/dioses, adalah wilayah tertentu gerejawi, yakni keuskupan. Oleh karena mereka terikat dengan keuskupan tertentu, maka mereka disebut imam diosesan. Pimpinan mereka adalah seorang Uskup Diosesan (Uskup dengan yurisdiksi wilayah “kekuasaan”, sebagai pemimpin resmi partikular). Dengan Uskup itu, ia mengikatkan diri.

Romo Bene mengambil keputusan masuk Seminari Tinggi Ritapiret pada tahun 1974 dengan motivasi yang sangat personal. Dia merasa dirinya cocok untuk menjadi imam yang mengabdikan diri untuk umat setempat di Keuskupan Agung Ende. Dia mau menghayati spiritualitas imam diosesan “dari dunia kembali ke tengah dunia”. Ke tengah dunia dan bersatu dengan dunia, menghadirkan diri di sana secara lain dan baru sambil memberikan kesaksian khusus imamiahnya. Dikatakan secara lain dan baru, sebab sejak tahbisan, imamatnya dituntut oleh martabatnya itu, harus dijalani di tengah dunia menurut nasehat injil (ketaatan, kemiskinan, kemurnian) secara konsekuen. Pelbagai hak yang seharusnya dimiliki oleh dunia, oleh karena tahbisannya dan misinya yang baru itu, harus ditinggalkan dan ditanggalkannya. Di tengah dunia, dia harus memberikan kesaksian yang baru.

Hanya sayangnya, harapan Romo Bene untuk bekerja secara langsung bersama umat di paroki-paroki yang sederhana, tidak terwujud. Sebagai penghayatan pada spiritualitas alkitabiah, sebagai dasar spiritualitas imam diosesan, dia harus taat pada keputusan Uskup. Uskup sudah mempunyai rencana lain untuk dia. Dia disiapkan untuk studi lanjut di Roma untuk mendalami bidang Islamologi. Semuanya ini membuka jalan baru dan menentukan perjalanan imamatnya selanjutnya ke depan. Dia harus bekerja setiap hari di tengah para calon imam sebagai dosen dan guru sampai kematiannya.

Pelayanan kecil setiap hari dijalankannya dengan kesetiaan yang besar. Kesetiaan adalah buah Roh Kudus dalam diri sang imam. Kesetiaan adalah wewangian yang menyenangkan dunia dan manusia (Paus Fransiskus). Seperti kata Paulus, “…sebab bagi Allah, kami adalah bau yang harum dari Kristus di tengah-tengah mereka yang diselamatkan dan di antara mereka yang binasa..” (2 Kor.2:15). Inilah yang disyukuri dalam perjalanan imamatnya sampai melewati 36 tahun dan tak sampai pada pancawindu yang direncanakan…Selamat jalan Rm. Bene menuju keabadian. Di sana perayaan syukur imamatmu menjadi sempurna.

Rm. Beny Lalo, Pr

Pengasuhan Digital bagi Seminaris Diaspora

Sejak dipulangkan ke rumah masing-masing pada akhir Maret lalu, praktisnya sebagian besar proses formasi anak-anak Seminari Santu Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko berlangsung melalui metode Dalam Jaringan (Daring).

Pengasuhan digital dari orang tua, pihak seminari, para pastor dan para mitra menjadi sangat penting dan dibutuhkan. Dalam rimba raya jaringan internet, para seminaris diaspora ini perlu didampingi dan diasuh.

Dialog aktif antara anak dan orang tua, para pastor dan para mitra menjadi kunci keberhasilan pengasuhan digital untuk para seminaris diaspora. Tingkat keseringan berkomunikasi antara kedua pihak ini harus berbanding lurus dengan banyaknya waktu yang digunakan anak untuk berselancar di dunia maya.

Ketika durasi “berada di depan layar” kian meningkat, partisipasi aktif orang tua, para pastor dan para mitra dalam membangun komunikasi dengan anak harus ditingkatkan pula.

Mengapa Penting?

Pertama, situasi sekarang memaksa anak-anak seminari melakukan banyak aktivitas Daring, terutama untuk mengikuti Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Selain itu, interaksi untuk proses formasi sebagai calon imam juga terjadi melalui media-media Daring.  Kedua tuntutan ini menyebabkan durasi waktu untuk cemplung ke dalam dunia digital semakin tinggi.

Kedua, jagat maya merupakan jagat yang sama sekali asing bagi sebagian besar anak-anak seminari. Dalam situasi normal, mereka dilarang menggunakan HP dan tidak memiliki akses ke dalam dunia maya dengan segala kemungkinan-kemungkinannya yang tidak terbatas. Dalam era kenormalan baru ini, mereka diwajibkan memiliki HP dan keahlian berselancar di dunia maya untuk melayani kepentingan formasi.

Ketiga, internet selalu berwajah ganda. Di satu sisi, akses ke dalam internet meningkatkan literasi dan wawasan anak. Di sisi lain, dalam internet terdapat sejumlah tantangan yang mengancam perlindungan dan hak anak seperti perundungan digital dan pencurian data pribadi (KOMPAS, 21/06/2020). Dampingan orang tua, para pastor dan para mitra mutlak perlu untuk meminimalisasi kejahatan siber dalam berbagai levelnya.

Keempat, alasan terkait etika digital. Walaupun memiliki banyak kesamaan, etika digital dan etika dunia nyata tetap memiliki perbedaan. Dalam dunia digital, segala sesuatu pasti meninggalkan jejak. Selain itu, semuanya serba terbuka. Oleh karena itu, anak-anak perlu mendalami etika digital dan selalu diingatkan untuk mematuhi etika-etika tersebut.

Kelima, anak-anak perlu dilindungi dari pelbagai variasi bahaya informasi-informasi palsu. Semua orang memiliki akses ke dalam internet dan oleh karena itu berbagai jenis informasi, entah itu benar atau salah, entah itu baik atau buruk, berseliweran dalam berbagai platform media-media Daring. Kontrol orang tua, para pastor, dan para mitra membantu anak-anak dalam proses penyaringan dan internalisasi informasi-informasi tersebut.

Peran Sentral Orang tua, Para Pastor dan Para Mitra

Orang tua, para pastor dan mitra memiliki peran penting dalam pengasuhan digital bagi para seminaris diaspora. Peran tersebut dapat dijalankan melalui kehadiran dan dialog aktif. Spritualitas kehadiran dan dialog aktif menjadi kunci keberhasilan proses-proses pengasuhan digital. Oleh karena itu, orang tua, para pastor dan para mitra wajib memberikan teladan dan panutan.

KOMPAS (20/06/2020) meringkas tiga lapisan yang harus dimiliki sebuah keluarga ketika (anak-anaknya) harus mencemplungkan diri ke dalam dunia digital.

Lapisan pertama adalah kesadaran akan pentingnya keselamatan, keamanan, dan privasi. Lapisan kedua adalah literasi media agar bijak menyikapi informasi palsu serta menilai kebenaran konten. Lapisan ketiga menyangkut kesadaran tentang hak dan tanggung jawab.

Orang tua, para pastor, dan para mitra memiliki kewajiban dan tanggung jawab membangun ketiga lapisan kesadaran tersebut. Perlu diakui, usaha itu tidak gampang. Oleh karena itu pada bagian berikut direkomendasikan hal-hal praktis yang perlu dibuat.

Langkah-langkah Praktis Pengasuhan

Pertama, kerja dan belajar dalam dan melalui media daring harus dijadwalkan. Orang tua dan para mitra harus melibatkan diri dalam penyusunan jadwal belajar dan kerja anak. Keterlibatan itu juga harus sampai pada tahap pengawasan, apakah jadwal itu ditaati atau tidak.

Kedua, tingkatkan komunikasi langsung dengan anak. Komunikasi itu harus dari muka ke muka dan dari hati ke hati, bukan melalui perantaraan media-media sosial.

Ketiga, ingatkan anak akan kerawanan dan bahaya yang ada di ruang virtual. Banyak bahaya yang bisa saja timbul, misalnya penipuan, kekerasan verbal, pencurian data pribadi, dan perundungan digital.

Keempat, usahakan sebisa mungkin agar menemani anak saat mereka sedang bekerja dan belajar melalui media-media Daring. Pada bagian ini, sekali lagi ditekankan pentingnya spiritualitas kehadiran bagi seorang anak.

Kelima, orang tua, para pastor, dan para mitra harus selalu mengingatkan anak akan pentingnya menjaga etika bermedia sosial. Etika itu misalnya, selalu menggunakan kata-kata yang sopan dan tidak saling memaki.

Keenam, sebagai pengasuh, tentu saja orang tua, para pastor, dan para mitra juga harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang literasi teknologi digital. Oleh karena itu, mau tidak mau, orang tua juga harus mempelajari seluk beluk dunia digital dan segala tuntutan-tuntutannya.

Tommy Duang