Ada banyak hal yang berkesan mengenai Romo Idrus, sapaan sehari-hari Praeses Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu yang sekaligus merangkap Kepala SMA Seminari ini. Semuanya terangkum dengan luar biasa lengkap, penuh detil, on the spot, pada momennya, dan sekaligus indah melalui buku Memori ini.
Setahu saya, hanya ada dua pimpinan lembaga Seminari yang melakukan pencatatan luar biasa. Pertama, P. Frans Cornelissen, SVD, yang menerbitkan buku berjudul 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor, dan Bali (Percetakan Arnoldus Ende, 1978). Kedua, Rm. Gabriel Idrus, Pr dengan Memori berjudul Perjalanan Tugas di Lembaga Pendidikan Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko (2022) setebal hampir 500 halaman ini. Bagi saya, ini kebetulan yang sangat istimewa. Akhir dari 50 tahun pertama perjalanan pendidikan Seminari didokumentasikan dan direfleksikan secara amat mendalam oleh The Founding Father itu sendiri, dan menjelang akhir 50 tahun paruh kedua pendidikan Seminari ditandai dengan hadirnya Memori Rm. Idrus ini.
Kalau buku pertama karya Pater Cornelissen, SVD seperti memberi aba-aba kepada Seminari dengan keyakinan yang kuat untuk berlayar 50 tahun lagi ke depan sampai mencapai satu abad, buku kedua, yakni Memori Rm. Idrus ini memberi semacam aba-aba untuk membuang sauh, setelah hampir selesai mengarungi paruh kedua 50 tahun Menuju Satu Abad. Dan setelah itu, Rm. Idrus menyerahkan tongkat estafet kepada pimpinan baru untuk berefleksi sejenak di pelabuhan menyongsong satu abad, lalu mengajak Seminari untuk taat dengan penuh keyakinan pada perintah Guru: terus berlayar, bertolak ke tempat yang dalam untuk menebarkan jala. In verbo Tuo laxabo rete (Lk. 5:5)
Saya tidak ingin membandingkan keduanya. Rasanya tidak perlu, karena setiap orang ada masanya, dan setiap masa ada orangnya. Namun, membaca kedua karya ini, bagi orang yang ikut terlibat langsung dalam karya pastoral pendidikan calon imam di Seminari ini, sungguh mengaduk-aduk perasaan batin.
Ada rasa syukur yang meluap. Saya teringat pelindung Seminari ini, Santo Yohanes Berkhmans. Dia tidak sampai ditahbiskan sebagai imam. Namun, kehidupannya sebagai anak muda calon imam itu begitu membekas. Pada saat kematiannya begitu banyak orang melayat. Pembimbing rohaninya hanya bisa tercengang, lalu berucap, “Hari ini, jari Tuhan ada di sini.” Dalam kedua karya istimewa ini, kita bisa rasakan hadirnya “Jari Tuhan”, di sini, di Seminari kita ini.
Ada rasa haru yang mendalam. Rm. Idrus memulai masa penugasannya di Seminari dengan perasaan berat, karena tidak ada apa-apanya, tidak ada persiapan profesional yang meyakinkannya untuk menerima tugas ini. “Saya rasa berat Bapak Uskup,” ungkapnya jujur kepada Mgr. Longinus da Cunha. Namun, kata-kata Bapak Uskup kepadanya itu palu godam. “Karena kamu merasa berat, maka saya yakin kamu bisa!” In verbo autem Tuo, laxabo rete – Tetapi karena Engkau yang menyuruhnya, maka aku menebarkan jala juga.
Dalam kisah Injil Yohanes, para murid yang pasrah pada kata-kata Tuhan yang berkuasa itu bertolak ke tempat yang lebih dalam. Mereka menebarkan jala. Di luar dugaan, mereka menangkap banyak sekali ikan. 153 ekor banyaknya. Angka 1 5 3 ternyata angka simbolis dalam bahasa Ibrani yang berarti, Akulah Anak Allah yang Hidup (ini kurang lebih penjelasan guide, ketika berkesempatan berziarah ke Danau Galilea, Israel). Nanti akan kita baca pada akhir Memori Rm. Idrus ini, rasa terpesonanya dia menyaksikan kekayaan rahmat Tuhan yang dia alami sepanjang masa penugasannya di Seminari. Ini merupakan peneguhan atas moto tahbisan imamatnya sendiri yang indah sekali, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Seluruh Bab V dari Memori ini menggemakan rasa terpesona dan sikap adoratif para murid, termasuk Rm. Idrus, setelah “menangkap” dengan mata kepala sendiri, dengan seluruh pengalaman hidup, 1 5 3 itu.
Kita bisa baca sendiri daftar “mukjizat” atau “jari-jari 153” yang dialami sejak awal perjumpaan dengan tiga figur imam, Pater Eman Weroh, SVD, Rm. Edy Dopo, Pr, dan Rm. Bernard Sebho, Pr: penggalian visi dan misi yang melibatkan seluruh komponen, yang boleh dikatakan sebagai “pembaptisan” bersama dalam satu ikatan dan gerakan roh kependidikan; keberanian membedah tradisi penanganan keuangan Seminari dengan menanamkan tradisi dan sistem baru yang lebih akuntabel, yakni RAPBS; tanggapan yang bijak, pada waktunya, dan penuh risiko “menabrak” tradisi pendidikan Seminari, terhadap tuntutan pemerintah akan adanya manajemen pendidikan yang lebih profesional, yakni dengan memisahkan SMP dan SMA; memfasilitasi pengembangan diri yang profesional dari para guru dengan menyelenggarakan berbagai pelatihan yang berbobot demi pelayanan kepada calon imam; ketahanan menghadapi berbagai risiko, termasuk ancaman pembunuhan; upaya menghemat dana dan menabung secara berkelanjutan melalui berbagai deposito untuk kepentingan lembaga; pengembangan infrastuktur dan sarana prasarana yang kelihatannya mustahil, mulai dari rehabilitasi berat, yang menjangkau sebagian besar kompleks Seminari, sampai pembangunan-pembangunan baru, mulai dari Ruang Kelas Baru (RKB) sampai Rumah Susun (Rusun); pengadaan sarana prasarana seperti marching band, peralatan untuk Sanggar Kreasi Berkhmawan, pengadaan buku-buku untuk perpustakaan, alat musik, komputer, dan jaringan internet. Ini rasanya mustahil, tapi terjadi.
Sehubungan dengan renovasi besar-besaran, pembangunan baru, dan pengembangan sarana prasarana ini ada sebuah kisah menarik. Suatu waktu sepulang mengantar para siswa untuk konser galang dana di Jakarta, dan setelah renovasi kamar makan SMP ditambah English Room, dan kamar tidur Rm. Nani, imam yang menerima tahbisan 29 September 1993 di Lela, Maumere ini berdoa di depan patung Santo Yohanes Berkhmans di depan Kapela SMP. Doa ini berbentuk umpatan, kurang lebih demikian. “Santo Yohanes Berkhmans. Kau lihat sedikit di belakang kau ini ko, ini kapela kumal yang tidak ada potongan. Kau tidak bisa bantu ko? Kau gerakkan orang untuk renovasi ini kapela ni ko?”
Doa ini tampaknya kasar, tapi keluar dari hati yang jujur, dilantunkan oleh seorang yang seluruh jiwa-raganya dipersembahkan untuk Seminari, yang tak henti-hentinya berpikir dan mencari jalan bagaimana merenovasi pendidikan calon imam ini, yang telah sekian lama berjasa baik untuk gereja lokal maupun gereja sejagad. Berkali-kali Rm. Idrus meyakinkan para rekan imamnya, para guru, pegawai, orang tua / wali seminaris untuk mulai mengambil langkah merenovasi gedung-gedung yang reyot. “Ini memang berat, tapi kalau kita tidak mengambil tanggung jawab, siapa yang harus mulai?”
13 Maret 2017, pukul 10.00 pagi. Ratusan umat berkumpul di dalam Kapela Santo Yohanes Berkhmans yang telah dipugar itu, untuk merayakan Misa Syukur. Seluruh bangunan direnovasi dengan tetap mempertahankan arsitektur yang lama. Loteng, atap, tembok, lantai diganti baru. Interior Kapela itu indah sekali dan sungguh mengangkat hati. Bagian luarnya diberi cat putih yang menawan. Tanggal 13 Maret adalah Hari Pesta Santo Yohanes Berkhmans. Dalam Misa Syukur itu, melalui para donatur yang saat itu hadir, Santo Yohanes Berkhmans seakan-akan mengabulkan secara utuh jeritan hati Praeses Seminari yang sudah kehilangan kehalusan kata untuk mengungkapkan doa. “Jari Tuhan ada di sini”! Upaya renovasi Kapela ini dicatat secara lengkap dalam Memori ini.
“Jari Tuhan, jari 1 5 3” terus berlanjut. Saya tidak ingin menyebutkan satu per satu. Semuanya terekam dalam Memori ini. Saya hanya menyebutkan beberapa contoh.
Rm. Idrus menghidupkan kembali kegiatan ekstrakurikuler Pramuka jauh sebelum kegiatan tersebut digaungkan kembali melalui Kurikulum 2013. Berbasiskan pengalamannya di bangku SMA tahun 1980-an di mana gerakan Pramuka begitu terasa di Seminari, dengan kemping-kemping yang mengesankan, termasuk kemping di Mengeruda, Soa, tahun 1984 bersama sekelompok pemuda yang tergabung dalam Pertukaran Pemuda Indonesia-Kanada (INKA), Rm. Idrus meminta bantuan Pak Nani Regang, tokoh Pramuka di Kabupaten Ngada, untuk mengaktifkan kembali gerakan Pramuka di Seminari. Sejak itu, Pramuka menjadi kegiatan yang sangat hidup. Belakangan, kegiatan tersebut bermetamorfosa dalam ‘wajah-baru’ bersama kegiatan Bahasa Inggris, English Camp. Bahasanya menggunakan Bahasa Inggris, rohnya kegiatan Pramuka. Dia menjadi wadah integrasi. Berbagai mata pelajaran terlibat. Terakhir, pada English Camp 2018, mata-pelajaran Inggris, matematika, fisika, dan Kesenian berkolaborasi memfasilitasi berbagai kegiatan selama 4 hari penuh dengan lapangan sepabola SMP sebagai camping ground-nya.
Rm. Idrus juga menginisiasi gagasan Grand Design Seminari menuju Satu Abad. Terasa sekali di sini berbagai pihak terlibat menyumbangkan pikiran dan tenaga. Berbagai Focus Group Discussion (FGD) dengan Pemkab Ngada, alumni serta pemerhati pendidikan digelar. Hasilnya terasa sekali. Ada perumusan masalah yang jelas, ada semacam arah-dasar, bagaimana menjalankan reksa pendidikan Seminari ke depan, ada upaya-upaya konkret dalam rangka pembenahan Seminari di berbagai sektor.
Upaya-upaya konkret itu beraneka ragam, dan terus berjalan. Di bidang legalitas status tanah Seminari, misalnya. Ini kerja yang sangat ruwet dan menjadi masalah turun-temurun. Di masa kepemimpinan Rm. Idrus, legalitas status tanah menjadi jelas. Untuk situasi sekarang dan ke depannya di mana legalitas status tanah menjadi taruhan eksistensi Seminari, ini merupakan salah satu legacy (warisan) yang sangat istimewa. Semua perjuangan itu secara kronologis dan lengkap dapat dibaca pada Memori ini.
Upaya lain yang tak kalah pentingnya bagi eksistensi Seminari ke depan adalah perjuangan kaderisasi tenaga tertahbis untuk bekerja di Seminari. Konsekuensi dan risikonya besar untuk Seminari. Kalau sekarang tidak dilakukan, maka Seminari akan berada pada situasi to be or not to be. Tidak bisa lagi diharapkan seorang imam dengan basis Sarjana Filsafat Umum ditugasi begitu saja bekerja di Seminari, tanpa ada persiapan yang lebih spesifik. Kalau para imam tidak disiapkan secara khusus, maka akan ada dua kemungkinan. Atau para awam yang profesional mengambil alih posisi-posisi penting pendidikan di Seminari sesuai tuntutan pemerintah dan profesionalisme, atau Seminari ini tinggal hanya sejarah. Tidak bertahan. Mati dan menjadi fosil.
“Jari Tuhan” itu terasa sekali, ketika tiba-tiba seluruh dunia ditimpa bencana Covid-19. Semua orang, semua lembaga, berada pada situasi batas, situasi kritis. Kalau penanganannya keliru, kalau tidak ada kolaborasi yang saling menjaga, yang saling menyelamatkan, yang penuh pemahaman, yang menumbuhkembangkan, situasi bisa sangat berbahaya. Kalau keputusan-keputusan keliru, atau membingungkan, masa depan lembaga ini bisa berbeda. Orang kunci di balik penanganan bencana Covid-19 yang dahsyat ini adalah pemimpinnya, Rm. Idrus.
Semua ini menimbulkan rasa bangga. Rm. Idrus, sejauh yang saya tahu, imam yang bersahaja. Imam yang rendah hati. Dia pikul pacul, bekerja di kebun. Pernah hampir terjatuh di kebun kopi. Dia ngepel lantai. Dia bersihkan kandang babi. Kalau melihat Rm. Idrus sore-sore dorong mesin untuk potong rumput, itu hal yang biasa.
Namun, yang sering tidak terlihat, dia adalah sekretaris itu sendiri, perekam jalannya roda kehidupan Seminari yang ulung, selama masa pengabdiannya. Dia misa pagi sekali. Hampir setiap hari. Jam 6.00 pagi, dia sudah menyantap sarapan pagi di kamar makan. Jam 6.30, dia sudah ada di kantornya, menunggu kehadiran rekan-rekan guru. Selama berada di kantor, dia duduk menulis buku kronik, dalam sunyi. Hanya ditemani, Sparky, anjing kesayangannya. Kalau dia minta bantuan sesama rekan untuk membuat draft, atau kertas kerja, atau laporan, dia memeriksa dengan sangat teliti, sampai titik dan koma. Berkali-kali.
Melalui kehadiran dan karyanya, “Jari Tuhan” ikut menari-nari di sini, di Seminari ini. Maka, kalau pada Bab V, dia bermadah, “Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15), ini adalah madah seluruh anggota Komunitas Seminari. Dia mengartikulasikan ungkapan syukur Seminari ini.
Jembatan Kolaborasi, Jembatan Transformasi
Profesor Rhenald Kasali, Ph.D, Guru Besar Ekonomi pada Universitas Indonesia, melalui program Youtube-nya menyebut 10 ledakan besar yang terjadi pasca Covid-19, di antaranya ledakan kolaborasi. Zaman sekarang ini adalah zaman kolaborasi. Orang tidak bisa lagi bekerja sendiri. Rhenald Kasali menyebut 3 S untuk membangun kolaborasi. S pertama adalah sensory. Banyak pesan atau sinyal yang tidak terungkap lewat kata, tapi lewat sinyal-sinyal tubuh, lewat sensory. S kedua adalah synchronous. Kalau mau berkolaborasi kita harus sinkronkan diri. Ketiga adalah spontaneous, tidak kaku, berdiskusi mengenai berbagai hal di mana saja, ada kebebasan untuk berkreasi, mencipta.
Salah satu kekuatan Rm. Idrus ini adalah kemampuannya untuk tidak saja berkolaborasi, tapi menjadi jembatan kolaborasi berbagai pihak. Rasanya seluruh karya besar yang disentil di atas adalah hasil kepiawaian Rm. Idrus berkolaborasi.
Dia bukan tipe lone ranger, yang mau bekerja sendiri, bertarung sendiri. Dia bekerja sama dan menghargai kemampuan rekan-rekannya. Dengan caranya, dan dengan kerendahan hatinya, dia memupuk kerja sama itu.
Suatu waktu, dia meminta pertemuan, hanya di antara para imam. “Teman-teman, kalau teman-teman lihat ada sesuatu yang kurang pada saya, kita omong terus-terang ko.” Teman-teman bicara terbuka, tapi tentu ada pesan-pesan yang mungkin tidak diungkapkan dengan kata-kata. Rm. Idrus menangkap sinyal-sinyal. Juga ada hal-hal yang Rm. Idrus tidak ungkapkan dengan kata-kata, karena rahasia jabatan, karena ada banyak pertimbangan. Namun, ada sinyal-sinyal yang teman-teman baca. Rm. Idrus lepas bebas dalam pergaulan, tapi ada momen di mana kata-katanya terukur. Dia butuh waktu, ruang, dan konteks tertentu untuk mengungkapkannya. Rm. Idrus bukan tipe pemimpin yang judgemental.
Maka kalau banyak orang memberi kesaksian bahwa kamar makan di Seminari menjadi tempat yang paling menyenangkan untuk rekan-rekan se-komunitas, Rm. Idrus adalah kuncinya.
Rm. Idrus dengan rela hati menempatkan diri dalam jaringan yang lebih besar. Dia membuka kerja sama dengan berbagai pihak: dengan pemerintah, dengan pemerhati pendidikan, dengan para alumni. Dengan caranya sendiri, dia merawat dan menumbuhkembangkan jaringan itu, bahkan dengan sentuhan yang sangat personal. Dalam jaringan yang besar itu, dia berupaya mensinkronkan semua pihak, agar berada pada ‘nada’ atau arus yang sama, untuk kepentingan lembaga pendidikan calon imam ini. Dia adalah jembatan kolaborasi, atau pemimpin sebuah orkestra, yang membuat kolaborasi berbuah transformasi.
Suatu waktu, pada pertengahan tahun 2017 selepas kegiatan lokakarya bersama Ibu Itje Chodidjah di Wisma Emaus, Ende, Pater Anton dan saya memutuskan untuk berbicara dengan Rm. Idrus di kantor Kepala Sekolah SMA. Kami bercerita tentang lokakarya yang begitu bagus yang kami alami di Ende bersama Ibu Itje. “Kita harus buat lokakarya ini untuk semua formator Seminari. Nani tolong komunikasikan dengan Ibu Itje, tanyakan waktunya, dan atur bagaimana dia bisa ke Seminari.”
Itulah awal pembicaraan untuk menghadirkan Ibu Itje Chodidjah di Seminari Mataloko, dan pada 15-17 Februari 2018 terjadilah lokakarya yang istimewa berjudul Interpersonal & Social Skills Training dengan Ibu yang sangat Islami yang ikut menjadi bagian dari orkestrasi pendidikan calon imam.
Ini salah satu contoh bagaimana dalam kepemimpinan Rm. Idrus, spontanitas dan kebebasan diberikan ruang yang begitu leluasa sehingga orang dapat bekerja dan memberikan yang terbaik dengan segala totalitas untuk kepentingan anak-anak.
Dalam bidang saya sendiri, bahasa Inggris, saya merasakan itu. Saya memfasilitasi kegiatan Immersion Program, dan melaksanakannya di berbagai tempat, termasuk di Fo’a, di kebun Pak Laurens Nau, dan saya tahu Rm. Idrus sepenuh hati mendukung. Bersama anak-anak, kami mendirikan Berchmawan News, dan Rm. Idrus berdiri sebagai pilar pendukung. Kami mengembangkan Eagle English Club yang sampai sekarang sangat aktif, dengan peserta dari berbagai sekolah. Kami merancang dan melaksanakan English Camp dengan Pramuka sebagai rohnya, dan lapangan atas Seminari sebagai camping ground. Kami mengembangkan extensive reading, berjejaring dengan Extensive Reading Foundation di Jepang, dan menggunakan aplikasi MReader untuk membantu siswa. Lagi-lagi Rm. Idrus tidak hanya mendukung. Dalam sidang guru, extensive reading ditetapkan sebagai bagian dari kurikulum Seminari, dan English Room menjadi salah satu pos internet yang penting di Seminari.
Bagi saya, Rm. Idrus tidak hanya piawai berkolaborasi. Dia adalah jembatan kolaborasi dan jembatan transformasi. Di tangannya, reksa pendidikan di Seminari menjadi sebuah simfoni.
Kisah Sebuah Legenda
Pada 30-31 Januari 2006 diadakan lokakarya berjudul “Sistem Penilaian berdasarkan KBK”. Laporan lengkapnya bisa dibaca pada Memori ini. Pada Sambutan Penutupan, Rm. Idrus berbicara tentang novel Sang Alkemis, karya penulis Brazil, Paulo Coelho.
Novel itu memang menarik sekali. Namun, yang lebih mengesankan saya, adalah pelajaran yang ditarik Rm. Idrus. Dia berbicara tentang tokoh utama, bocah penggembala domba dari Andalusia, bernama Santiago. Singkat cerita, Santiago bermimpi mendapatkan harta karun. Harta karun itu ada di bawah sebuah piramida di Mesir. Di Mesir, dia bertemu seorang pedagang Kristal. Atas jasa Santiago, pedagang Kristal itu jadi kaya. Dia memberikan sejumlah uang kepada Santiago untuk pulang ke kampung halamannya. Dia mengukir kisahnya sendiri menjadi seorang legenda penggembala domba. Kepada para guru, Rm. Idrus berpesan, “Legenda kita adalah legenda guru.”
Saat membaca Memori Rm. Idrus ini, sebetulnya saya membaca kisah sebuah legenda. Legenda seorang pemimpin yang sederhana, anak desa, seperti Santiago. Legenda seorang pemimpin yang penuh impian. Legenda seorang pemimpin yang teguh, yang penuh perjuangan, yang menderita, tapi tak pernah menjadikan penderitaannya sebagai alasan untuk menyerah. Kehidupan seorang pemimpin itu padang pasir, seperti yang dialami Santiago, tapi langkahnya, seperti langkah Santiago, tak pernah surut. Ada banyak kemustahilan yang sebenarnya bisa menghentikan langkah Santiago. Namun, Santiago pantang mundur. Dia bahkan mengalami, banyak hal menjadi mungkin. Pemimpin memungkinkan yang mustahil menjadi nyata. Legenda seorang pemimpin yang mampu membaca pertanda. Legenda seorang pemimpin yang menghayati kepemimpinannya sebagai sebuah seni, sebuah orkestra untuk menghasilkan simfoni. Legenda seorang pemimpin yang basisnya adalah spiritualitas, berbagi kekayaan imamat. Legenda seorang pemimpin yang mengajak seluruh komunitas untuk melihat, dan percaya, “Jari Tuhan ada di sini”, di Seminari ini.
“Karya Tuhan hendak kukenangkan dan segala yang kulihat hendak kukisahkan” (Sirakh 42:15). Terima kasih Rm. Idrus.
Rm. Nani Songkares, Pr