SIDANG KOMITE SEMINARI MATALOKO AWALI TAHUN PELAJARAN 2018/2019

Lembaga pendidikan calon imam SMP/SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko membuka tahun pelajaran 2018/2019 dengan menggelar sidang komite yang dilaksanakan pada Sabtu (21/7/18). Sidang yang dihadiri oleh ratusan orang tua/wali seminaris ini membahas beberapa hal di antaranya laporan pertangggungjawaban penyelenggaraan pendidikan  Seminari pada periode yang lama sekaligus membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari.

Praeses Seminari, Rm. Gabriel Idrus, Pr dalam sapaan awalnya menegaskan bahwa pertemuan komite adalah program rutin tahunan yang diselenggarakan Seminari sebagai bentuk tanggung jawab pihak pengelola Seminari dan orangtua pada penyelenggaraan pendidikan calon imam. Pertemuan komite baginya adalah kesempatan emas bagi orang tua untuk merapatkan barisan dan berbagi sukacita di antara mereka. “Bagi saya, Selain sebagai acara rutin tahunan, sidang komite juga menjadi sarana bagi para orang tua untuk merapatkan barisan, tempat berbagi cinta satu sama lain, demi gereja, demi anak-anak kita (baca: seminaris) dan pada akhirnya berkiblat pada tegaknya Kerajaan Allah di dunia ini,” demikian Rm. Gabriel Idrus, Pr memberi penegasan di awal pertemuan.

Lebih lanjut, Praeses yang sekaligus kepala SMA seminari ini menyebutkan bahwasannya, semua yang dikerjakan orang tua dan semua yang diusahakan dalam rahmat Tuhan selama ini dan di masa yang akan datang, turut membantu anak-anak untuk senantiasa selalu bertumbuh dan merawat panggilan mereka.

Merawat Panggilan

Pendidikan Seminari pada hakikatnya mengarahkan calon imam untuk mencintai panggilan dan mengusahakan pertumbuhannya. Keseluruhan proses formasi sebenarnya berjalan ke arah ini. Karena itu, bagi Rm. Beny Lalo, Pr, pembinaan di seminari memberikan kekhasan justru karena ia memperhatikan bukan hanya aspek intelektual melainkan perkembangan kepribadian secara keseluruhan.

Adapun proses pendampingan seorang calon imam di seminari Mataloko berlangsung selama 24 jam dengan memperhatikan beberapa aspek formasi seperti Sanctitas (kerohanian), Sapientia (kebijaksanaan), Scientia (pengetahuan), Sanitas (kesehatan) dan Socialitas (berjiwa Sosial). Seluruh aspek pembinaan yang ada merupakan kontekstualisasi  dari 12 living values yang dibentuk oleh PBB sebagai nilai dasar kehidupan di antara sesama manusia. Melalui lima aspek formasi yang ada, seminaris yang memberikan dirinya untuk dibentuk di Seminari Mataloko ditempa agar kini dan kelak dapat menjadi pribadi yang cinta damai, rendah hati, penuh kasih sayang, berjiwa toleransi dan memiliki spirit penghargaan, Kejujuran, kerja sama, tanggung jawab serta kesederhaan untuk berbagi dalam persahabatan. Pembinaan di seminari pada prinsipnya menekankan asas kebebasan demi sebuah kebahagiaan pribadi dan sesama.

Lima aspek formasi atau yang sering disingkat menjadi 5S ini berjalan seimbang dalam satu hari kehidupan seorang seminaris pada panti pendidikan calon imam Seminari Mataloko mulai dari bangun pagi hingga istirahat malam. Untuk itu, seminaris bukan hanya belajar dalam ruangan melainkan keluar dan mengakrabkan diri pada tanah yang memberikan kehidupan. “Belajar merawat tanah juga menjadi kesempatan bagi seminaris untuk mencintai panggilannya sendiri. Sebagaimana tanah akan subur ketika dijga dan dipelihara, demikianpun halnya dengan panggilan hidup seorang calon imam akan tumbuh dengan subur jika dirawat dan disiram dengan air rohani,” demikian Romo Sil Edo, Pr menambahkan.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari

Sidang Komite ditutup dengan pengesahan Rancangan anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari. Adapun Penyusunan Rancangan APB seminari mengacu pada Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga Komite Sekolah SMP dan SMA Seminari. AD dan ART tersebut didasarkan pada  Permendikbud No. 75 tahun 2016 tentang Revitalisasi Komite Sekolah dan mempertimbangkan Perpres No. 87 tahun 2016 tentang aturan Pungli.

Rapat pengesahan anggaran dipimpin langsung oleh ketua Komite Seminari Mataloko, Yohanes C.W. Ngebu. Bapak Yohanes menggarisbawahi pentingnya kontribusi komite dalam pembangunan seminari. Setelah dipertimbangkan secara bersama, dan atas izin anggota komite, maka Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Seminari kemudian disahkan dan ditetapkan menjadi APBS untuk digunakan selama satu tahun pelajaran yang akan datang. Sidang komite akhirnya ditutup oleh Praeses seminari.

Dalam kata penutupnya,  Praeses Seminari meminta bantuan doa dan dukungan dari komite sekolah, “Di hari-hari yang akan datang, ada banyak rencana besar yang akan dilakukan oleh Seminari. Karena itu, kami meminta partisipasi dari orangtua untuk masuk dalam irama yang sama dan marilah kita saling membantu dan doakan untuk kerja-kerja besar di hari-hari  yang akan datang,” ungkapnya.

Fr. Deni Galus, SVD

untitled

GRATIA SUPPONIT NATURAM (2)

Cabang Meluas karena Akar Mendalam – Kilas Balik (3)

GRATIA SUPPONIT NATURAM (2)

Catatan Pendidikan ala Gymnasium

Di samping pengajaran, ditekankan sekali pembinaan watak. Oleh karena itu kurikulum tidak hanya mencantumkan mata pelajaran-mata pelajaran intelektual. Disediakan juga waktu dan peluang untuk berbagai kegiatan yang bertujuan untuk menanamkan dan menumbuhkan paham, nilai dan sikap hidup di dalam diri para siswa. Ada kegiatan untuk mengembangkan perasaan, merangsang imajinasi, memperlancar komunikasi, interaksi dan hubungan yang baik antar sesama.

Latihan-latihan otoekspresi seperti membuat karangan, berdeklamasi, latihan seni teatrikal, latihan seni suara, olah musik instrumental mendapat tempat pula dalam sistem pendidikan ini. Kegiatan seni musik misalnya, mendapat perhatian yang besar di seminari. P. Karel van Trier, SVD mengajarkan teori dan praktik musik mulai dari kelas satu sampai kelas enam.  Dari beliau, para siswa mendapatkan latihan mengolah seni suara secara intensif. Ada koor dewasa (Mannen-koor) untuk para siswa di kelas-kelas tinggi, ada koor anak-anak (Kinder-koor). Ada latihan intensif dirigen, latihan musik instrumental, pembentukan orkes seminari. Semuanya diarahkan dalam rangka pembinaan watak dan kepribadian.

Bahkan juga kerja tangan dalam rangka kebersihan sekolah, asrama, penataan taman, mendapat porsinya. Kegiatan seperti ini langsung dipelopori pembinanya. P. Yan Smit SVD, misalnya, sangat berjasa dalam penataan taman di halaman tengah kompleks seminari. Beliau memesan bibit-bibit bunga dari negeri Belanda dan bersama siswa menanamnya dalam petak-petak yang artistik. Beliau berpendapat, bunga-bunga yang indah menggairahkan para siswa untuk hidup dan belajar.

Demikian pula kegiatan-kegiatan yang diarahkan untuk menumbuhkan semangat kelompok, kerja sama, solidaritas, tenggang rasa satu sama lain, cinta lingkungan alam dan masyarakat mendapat perhatian serius.

Salah satu bentuk kegiatan itu adalah liburan terpimpin berupa ekskursi ke suatu tempat tertentu, baik secara bersama-sama atau dalam kelompok kecil, di mana para siswa dan Staf Pembina membaur dengan masyarakat, menikmati piknik bersama ke pantai, mendaki gunung dan lain-lain. P. Cornelissen SVD menyimpan banyak kenangan dari kegiatan-kegiatan seperti ini.

Mendaki gunung Ebulobo atau Inerie, beramai-ramai mengunjungi kampung terpencil seperti Warukia di Riung Barat, atau berjalan kaki ke utara untuk berlibur di pulau Pata, Riung, sungguh merupakan pengalaman yang membekas. Di sana ada solidarity making, ada kemenyatuan dengan alam dan masyarakat, ada kemerdekaan dan kegembiraan, ada persahabatan yang tulus.

“Saya sendiri menikmati perjalanan-perjalanan seperti itu, sembari melupakan kesibukan-kesibukan sehari-hari, menghirup udara dalam alam bebas, bersama dengan kelompok pemuda-pemuda sebagai kawan. Ya, mereka benar-benar sahabat!”  kata P. Cornelissen (P.F. Cornelissen, SVD. 50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali. Ende: Arnoldus, 1978:  28).

Ketika berkisah tentang pendakian gunung api Ebulobo, P. Cornelissen berkata, “Betapa kecil nampak puncak gunung yang tinggi itu dari bawah, tapi setelah berdiri di atasnya orang akan kagum betapa luas di sekitarnya. Jika untuk pertama kalinya mendaki sampai pada puncak sebuah gunung berapi yang tinggi menjulang ke langit itu, barulah terasa suatu pengalaman yang tak pernah akan terlupakan.”

Pulang dari liburan-liburan seperti itu terasa ada energi baru yang menyuburkan jiwa dan menyegarkan panggilan; terasa terpulihkan kekuatan untuk melayani dengan totalitas yang tinggi, untuk mengeksplorasi pertumbuhkembangan diri dan sesama.

Karena itulah pendidikan dengan sistem seperti ini telah sangat besar dirasakan manfaatnya. Tentang hal ini J. Riberu menulis, “Pengaruh seminari bukan saja dirasakan lewat mereka yang ditahbiskan. Kebanyakan mereka yang menikmati jamahan pendidikan seminari mampu membina kepribadiannya sedemikian rupa, sehingga dapat berjasa bagi masyarakat sekitarnya” (Riberu Dr. J.Setengah Abad Lalu: Jasa Pendidikan dan Para Pendidik Flores” dalam Dungkal.A. Jejak Langkah Pendidikan dan Para Pendidik Flores.Jakarta: Yayasan Padi Jagung 1999: 16-17).

Yang Perlu Kita Pelajari

Catatan Bapak John Riberu pantas kita cermati. Di situ tersimpan arti dari judul karangan ini: Gratia supponit naturam. Rahmat bekerja melalui pengembangan diri yang maksimal. Dengan mengembangkan diri secara maksimal baik secara intelektual maupun personal, orang menjadi manusia yang baik, dan dengan menjadi manusia yang baik, orang mampu menjadi berkat bagi banyak orang.

Sudah sepantasnya seluruh proses pembelajaran, baik yang dilakukan guru maupun siswa, menjadi suatu proses yang menumbuh-kembangkan. Itulah salah satu ilham yang bisa ditarik dari praksis pendidikan para pendahulu kita.

Orang belajar bukan untuk menghafal, karena otak bukan alat perekam semata. Orang belajar untuk dapat mengembangkan kegemaran berdaya cipta, kebiasaan dan keberanian berpikir, agar kualitas intelektual benar-benar bertumbuh.

Orang mengapresiasi seni dan musik bukan demi selera dan panggung semata, atau pertunjukkan, atau perlombaan, tapi demi penghalusan kepribadian, dan pada gilirannya, penghalusan peradaban.

Orang melakukan kerja tangan bukan karena terpaksa, tetapi untuk mengembangkan disponibilitas: kerelaan dan kemurahan hati seorang manusia yang baik untuk melayani sesamanya, kendatipun harus berkotor-tangan, berkorban dan bahkan menjadi kuli.

Orang mencintai doa dan berbagai latihan rohani lainnya bukan sekedar sebagai dekorasi dan ekshibisi, tetapi sebagai sarana untuk merasakan kehangatan KasihNya, dan sarana untuk memurnikan motivasi hidupnya untuk berkarya, pertama-tama dan di atas segalanya Ad Maiorem Dei Gloriam – demi kemuliaan nama Tuhan. (Nani Songkares, PrBagian II, habis).

Siswa 1937 (2)

GRATIA SUPPONIT NATURAM (1)

Cabang Meluas karena Akar Mendalam – Kilas Balik (3)

GRATIA SUPPONIT NATURAM (1)
Catatan Pendidikan ala Gymnasium

Gratia supponit naturam. Rahmat mendukung kodrat. Itu terjemahan harafiahnya. Maksudnya, rahmat bekerja maksimal melalui pengembangan bakat-bakat secara maksimal. Secara negatif berarti rahmat tidak akan bekerja dengan maksimal apabila kita menyia-nyiakan kesempatan dan kemungkinan untuk mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada pada kita secara sungguh-sungguh. Rahmat tidak akan bekerja maksimal apabila kita menjadi setengah-setengah dan minimalis. Artinya juga, kita mengembangkan bakat dan kemampuan yang ada pada kita bukan pertama-tama demi kepentingan diri kita sendiri, tetapi demi penyaluran rahmat itu bagi pelayanan kepada orang lain melalui bakat dan kemampuan kita.

Pertanyaannya adalah, bagaimana bakat-bakat itu dapat dikembangkan secara maksimal? Pertanyaan inilah yang sebetulnya mau dijawab melalui pendidikan. Kata bahasa Inggris untuk pendidikan adalah education. Kata tersebut berasal dari bahasa Latin educare, yang merupakan bentuk yang disederhanakan dari ex-ducere, yang berarti menarik keluar segala sesuatu yang tersembunyi dalam diri seseorang. Pendidikan berarti menarik keluar bakat dan kemampuan yang masih terpendam, dan mungkin tidak disadari, dalam diri seseorang untuk dipersemaikan dan ditumbuh-kembangkan. Melalui proses pendidikan bakat seseorang terlihat, bertumbuh dan berkembang.

Pendidikan yang menumbuh-kembangkan berbagai bakat dalam diri seseorang itulah yang dikembangkan semaksimal mungkin dalam tradisi pendidikan di Seminari-Seminari, terutama ketika Seminari-Seminari, termasuk Alma Mater kita, menggunakan kurikulum Gymnasium ala Eropa pada saat-saat awal berdirinya, sampai beberapa waktu kemudian setelah kemerdekaan.

Beberapa hal sangat menonjol dalam kurikulum itu, yakni pengembangan bakat-bakat dan kemampuan intelektual terutama melalui bahasa (di mana otak diperlakukan sungguh sebagai alat untuk berpikir, sehingga kegemaran berpikir, kebiasaan berpikir bahkan keberanian berpikir sungguh dikembangkan), pengembangan bakat-bakat dan kemampuan artistik terutama melalui kesenian dan musik, pengembangan bakat-bakat dan kemampuan jasmani melalui olahraga, dan pengembangan kemampuan rohani melalui pendidikan dan latihan-latihan rohani.

Dengan demikian melalui kurikulum pendidikan seperti ini diupayakan agar sebagian besar bakat yang terpendam dalam diri manusia diberi ruang untuk bertumbuh, sehingga ia dapat menjadi manusia yang baik.

Melihat kurikulum pendidikan seperti ini, manusia seperti apakah yang mau dihasilkan? Manusia yang baik, manusia tipe ideal, yang bertumbuh-kembang secara seimbang dalam hampir semua bakat-bakatnya. Kita lalu tergoda untuk bersikap skeptis: dapatkah manusia tipe ideal itu terwujud?

Dalam hal ini, menurut hemat saya, sebaiknya kita tidak berandai-andai. Kita perlu memasang telinga untuk mendengar kembali suara dari kedalaman sejarah, khususnya sejarah pendidikan di Seminari kita kurun waktu 25 tahun yang pertama (1926-1950).

Mendengar Suara Sejarah

Dari catatan sejarah pendidikan di Seminari kita terlihat betapa penumbuh-kembangan bakat-bakat diwujud-nyatakan dalam pendidikan humaniora yang kokoh. Dua hal mau dicapai sekaligus, yakni kualitas pengetahuan dan kualitas watak yang kokoh.

Para pendidik di Seminari adalah pengajar-pengajar yang profesional. Mereka menyiapkan materi dan metode pengajaran secara baik. Mereka menerapkan disiplin yang ketat, bukan untuk membelenggu dan memasung kreativitas siswa, tetapi untuk memacu siswa berkembang secara maksimal baik intelek maupun kepribadiannya.

Karena itu, dalam pandangan J. Riberu, mereka, para pendidik itu, bukan hanya pengajar, tetapi sekaligus benar-benar pendidik. Bagi pendidik tipe ini, kegiatan mengajar yang berarti pengembangan pengetahuan dan keterampilan dalam diri siswa memang penting. Akan tetapi tujuan utama adalah pembinaan watak (Riberu Dr. J.”Setengah Abad Lalu: Jasa Pendidikan dan Para Pendidik Flores” dalam Dungkal.A. Jejak Langkah Pendidikan dan Para Pendidik Flores.Jakarta: Yayasan Padi Jagung 1999).

Mereka merasa tidak puas kalau peserta didik hanya pandai karena menguasai pengetahuan dan keterampilan. Mereka berusaha agar anak asuhannya memiliki peringai dan sikap hidup yang menyebabkan dia dianggap manusia yang baik. Cita-cita mereka adalah menjadikan anak asuhannya manusia yang baik dalam arti yang seasli-aslinya. Itulah pendidikan humaniora yang mereka kembangkan melalui sistem ini.

Berbagai mata pelajaran yang diberikan pun menampakkan cita-cita ini: manusia berpengetahuan dan manusia berwatak. Ada mata pelajaran, tapi tidak banyak dan bertumpuk-tumpuk. Yang penting adalah penguasaan tiga kompetensi dasar: membaca, menulis, berhitung, yang mengarah pada pengembangan kemampuan berpikir (Nani Songkares, Pr – Bagian I).

DSC_6433

DOA TAIZE DI SEMINARI

Ratusan siswa SMP dan SMA Seminari Mataloko, membanjiri kapela Santo Alfonsus Maria De Liguori, guna mengikuti doa Taize, Jumat (30/3/2018). Kendati berjumlah besar, Kapela di sisi barat SMA tersebut terasa hening. Para siswa khusuk berdoa diterangi cahaya lilin di altar dan sisi luar barisan bangku kapela itu.

Doa dalam suasana syahdu ini dipimpin oleh Fr. Stefanus F. Tangi, O’Carm, yang sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di seminari. Lantunan lagu-lagu pendek dengan syair dari penggalan Kitab Suci yang dinyanyikan berulang-ulang, diiringi petikan gitar, terasa bergema lembut, dan membawa para seminaris masuk ke dalam perjumpaan batin dengan Tuhan.

Alunan Musik dan Kitab Suci

Inti doa bercorak Taize adalah penggalan Kitab Suci yang dilantunkan berulang-ulang dalam bentuk lagu dengan iringan musik, dan dinyanyikan dengan hati, sehingga terasa lembut. Sabda Tuhan mengalir ke dalam batin, bergema di seluruh tubuh.

Jesus remember me, when You come into Your Kingdom – Yesus ingatlah akan daku, ketika Engkau masuk ke dalam KerajaanMu” (Lk.23:42). Ini salah satu contoh penggalan Kitab Suci yang dilantunkan. Sabda Tuhan ini dinyanyikan berulang-ulang di Kapela, dengan alunan musik yang lembut. Setelah itu ada saat hening, untuk meresapkan Sabda Tuhan. Indah sekali!

Di luar Kapela, Sabda itu diingat, didengungkan terus, dibawa ke dalam kehidupan. “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak,” kata Yesus (Yoh.15:5). Doa bercorak Taize terasa membantu para seminaris tinggal di dalam Tuhan, di dalam SabdaNya yang membawa kekuatan bagi kehidupannya.

Dari sejarahnya, doa ini dikembangkan Br. Roger Schütz saat pecah perang dunia II. Dia mendirikan sebuah komunitas di Taize, sebuah desa kecil di timur Perancis. Komunitas ini hidup bernapaskan doa dan karya. Doa yang dikembangkan adalah penggalan Kitab Suci, yang dilantunkan dengan lembut. Ini dilakukan tiga kali sehari, yakni pagi, siang dan malam. Doa seperti ini menggelorakan cinta yang mempersatukan. “Cintailah, dan ungkapkanlah cinta itu dengan hidupmu”, itulah motto hidup Br. Roger. Komunitas itu menyatukan segenap umat kristiani (Katolik, Ortodox, Protestan).

Dahaga akan kasih yang mempersatukan di kalangan umat kristiani seakan terpenuhi di dalam komunitas ini, dan yang paling merasakannya adalah kaum muda. Mereka berdondong-bondong datang dari berbagai belahan dunia, dari berbagai gereja, termasuk dari Indonesia, untuk berziarah ke Taize.

“Seseorang yang singgah ke Taize bagaikan mendekati sumber mata air. Di sini seorang peziarah berhenti, melepaskan dahaganya sebentar, sebelum melanjutkan perjalanannya,” ujar Paus Yohanes Paulus II dalam kunjungannya ke Taize, 5 Oktober 1986.

Berakar pada Tuhan

Doa itu membuat kita berakar pada Tuhan, kata Paus Fransiskus, di hadapan ribuan jemaat yang memadati lapangan St. Petrus di Vatikan, 21 Maret 2018 lalu. “Tanpa akar, dapatkah sebuah pohon bertumbuh dengan baik, dapatkah tanaman berbunga? Tidak!” Hidup kristiani harus berbuah dalam kasih dan perbuatan baik, lanjut Paus. Untuk itu seorang Kristen harus berakar pada Tuhannya. “Jangan pernah hidupmu terpotong dari Yesus,” tegasnya.

Doa bercorak Taize bertujuan mengakarkan hidup pada Tuhan. Tentu, ini bukan corak doa satu-satunya, tetapi salah satu bentuk yang bisa membantu para seminaris bertekun dalam doa.

Sebetulnya, doa ini telah lama diperkenalkan di seminari. Namun, saban tahun kegiatan ini meredup. Fr. Even menghidupkannya kembali. “Kami sering melantunkan doa bergaya Taize di biara Karmel”, katanya.

Pengajar bahasa Jerman di SMA Seminari itu mengatakan, doa Taize mempunyai corak kontemplatif. Kekuatannya bukan pada perasaan atau pikiran, tetapi pada Sabda Tuhan yang dilantunkan berulang-ulang, dan membawa suasana hening.

Sabda Tuhan itu memperkaya khasanah batin. Gema Sabda Tuhan yang terus bergaung itu mengundang orang untuk datang menjumpai Tuhan dalam liturgi kudus dan doa-doa pribadi. Taize membantu orang beriman membangun doa-doa batin, berupa perulangan penggalan Sabda Tuhan. Pada gilirannya, doa-doa batin itu menjadi napas hidupnya. Itulah yang telah lama dipraktikkan para rahib dari Gereja Timur sejak abad pertengahan.

Para seminaris berharap doa bercorak Taize ini dijalankan secara teratur dan tetap di lembaga pendidikan calon imam ini. (Kontributor: Ari Djone, Naldy Muga, siswa kelas X. Editor: Nani).

IMG_20180404_173426 (3)

MENULIS: TERAPI YANG DAHSYAT

Pe­­­­­nulis itu i­ba­­­rat se­­­o­rang dokter yang me­nyem­buh­­­kan pa­sien (di­­ri­nya dan o­rang lain) de­ngan o­bat terapi yang ber­na­­ma tu­lisan. Re­sep­­­nya: me­­­­­­­nulis se­tiap saat.

Sekelompok sis­­wa SMA Se­­minari Ma­ta­­lo­ko berbincang dengan ba­­pak Ferdinandus Loke, ketua re­dak­si SA­DHA­NA, majalah bulanan Komisi Pembangunan Sosial Ekonomi Konferensi Wali Gereja Indonesia (PSE-KWI) Jakarta, Ra­bu ­(04/04/18) di English room Seminari. Alum­nus Seminari yang ke­rap disapa Edy ini berbagi pengalaman dan inspirasi bagi sejumlah seminaris tentang dunia tulis-menulis.

Pertemuan sing­kat ter­sebut mence­rah­kan se­mi­naris akan pen­ting­nya menulis. Dikisahkannya, pada mu­lanya karangan yang dibuatnya tidak dimuat dalam majalah-majalah yang dikirimnya. Na­mun, karena sikap pan­tang menyerah serta ke­gigihannya, ia men­jadi sa­lah satu o­rang yang sukses karena menulis. “Awalnya tak sekalipun bakat menulis nampak dalam diri saya. Namun, dengan pem­bia­saan diri, kita menjadi mampu. Ala bisa karena biasa”, papar Edy.

Menyembuhkan

Banyak infor­ma­si dan pengalaman ter­sim­pan da­­lam memori se­­tiap o­rang. Memori ter­­­­­­sebut mem­bentuk kom­­­­­­­plek­si­tas yang kuat se­hing­ga menjadi beban pikiran. “Pikiran kita di­pe­­nuhi de­ngan hal-hal ruwet yang kita terima dari pe­ris­tiwa hidup ki­ta. Se­ca­ra medis, keru­we­­tan ter­sebut bisa membawa beban, seperti frustasi, misalnya, yang pada gilirannya mendatangkan penyakit,”, jelas Edy.

Ia melanjutkan, “salah satu cara mengurai pikiran yang bertumpuk adalah me­­­­­­­­­­­nu­lis. Saat me­nu­lis, ki­ta me­­ra­pikan pi­ki­ran ruwet kita, membuatnya jadi teratur.”  Hal tersebut diakui Rm. Nani Songkares, Pr, teman kelas Edy di seminari, yang turut hadir dalam bincang-bincang tersebut. “Menulis itu menyembuhkan. Itu salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari pembicaraan pak Edy. Kita be­run­­tung didatangi oleh o­rang seperti pak Edy yang berpengalaman da­lam bidang tu­lis­-me­nu­lis, dan beliau sendiri sudah merasakan daya penyembuhan sebuah tulisan”, ujarnya.

Inspirasi Kehidupan

“Penulis hebat adalah mereka yang bisa me­manfaatkan apa dan siapa pun sebagai inspirasi  bagi tulisan me­reka”, kata Edy. Menurutnya, orang yang men­jadi inspirasi tulisan disebut nara­sum­ber ke­hi­dupan, se­ka­lipun itu adalah se­o­rang nenek tua mis­kin yang bekerja keras a­tau anak kecil yang be­gitu naif. Banyak hal yang sederhana berubah menjadi sesuatu yang luar biasa di ujung pena seorang penulis.

Ia mencontohkan, seorang pe­nu­­­lis hebat seperti An­drea Hirata me­mu­lai tulisannya dari pe­nga­laman sederhana semasa kecil te­tapi berilham bagi ba­­nyak orang. Dia mengolah pengalamannya menjadi novel berjudul Laskar Pelangi yang mentransformasi kehidupan orang lain.

Laskar Pelangi adalah novel pertama dari tetralogi buah pena Andrea Hirata. Dalam novel tersebut, pengalaman belajar di sebuah sekolah sederhana di Belitung disajikan sebagai tulisan yang banyak mengubah orang. Ada mahasiswa yang terlibat narkoba disembuhkan setelah membaca novel ini. Ada dokter gigi yang tak mau berputus asa, walaupun belum mendapat pekerjaan. Semangat pantang menyerah itu ditimbanya dari novel Laskar Pelangi.

 “Kita me­nulis  un­tuk orang lain. Jadi, apa yang ki­ta tulis harus di­pa­hami dan berdam­pak bagi orang lain. Kita tak per­lu meru­mit­kan tu­li­san kita dengan ka­ta-kata yang tinggi, me­­lainkan cukup de­­ngan tulisan sederhana, tetapi menarik dan menggugah pembaca. Keterampilan tersebut tidak datang begitu saja, tetapi melalui latihan yang tekun disertai semangat membaca yang tinggi,” ujarnya memotivasi siswa.

Edy melanjutkan, dengan menulis, kita dikenali banyak orang, sekalipun kita tidak mengenal mereka. “Saya banyak berjumpa dengan orang-orang yang tidak saya kenal, yang merasa tergugah oleh tulisan saya. Ada kebahagiaan tersendiri ketika mereka telah mengetahui saya melalui tulisan, saat saya menyebutkan nama. Menulis itu menembus batas ruang dan waktu.”

Kalimat te­ra­khir­­nya membangkit­kan se­ma­ngat para se­minaris yang hadir un­tuk se­gera terjun ke dalam dunia tulis menulis. Ti­dak sia-sia me­mang kedatangan so­sok asal Je­rebu’u ini. Ka­ta­-ka­tanya membuat se­mi­na­ris saat itu terpikat dan tergerak untuk terjun menulis.  “Luar biasa. Sung­­guh memberi banyak dorongan bagi saya untuk menulis”, tu­tur Jordy Mu­ga (17), siswa kelas XI, salah satu peserta pertemuan itu.



Peserta Pelatihan Menulis Membludak

Usai perbincangan yang inspiratif itu, OSIS SMP dan SMA Seminari menyelenggarakan pelatihan menulis, yakni Senin-Jumat (9-13/4/2018) untuk siswa SMP, dan Jumat-Minggu (13-15/4/2018) untuk siswa SMA. Pelatihan ini dibuat berkenaan dengan kegiatan Ujian Sekolah Bersandar Nasional (USBN) di SMP dan Ujian Nasional (UN) di SMA, di mana banyak ruang kelas di SMP dimanfaatkan untuk USBN, dan beberapa guru SMA menjadi pengawas ujian sehingga tidak bisa memroses pembelajaran.

Pelatihan yang sedianya diberikan hanya kepada 25 siswa peminat dari masing-masing jenjang dihadiri lebih dari seratus siswa, masing-masing 55 siswa SMP dan 50 siswa SMA. Kegiatan tersebut dipandu para guru bahasa di Seminari, yakni Rm. Nani Songkares, Pr, P. Anton Waget, SVD (guru bahasa Inggris), Rm. Alex Dae Laba, Pr (guru bahasa Indonesia), dan Rm. Sil Edo, Pr, selaku prefek/pamong SMP. Para formator itu dibantu para guru SMP dan para frater yang menjalani praktik pastoral di Seminari.

Hasil pelatihan tersebut adalah penerbitan “Koran” majalah dinding bercorak rubrik yang diperkenalkan sejumlah wartawan senior Kompas pada pelatihan menulis 2011 silam. Koran Kompas, demikian para siswa biasa menyebutnya, menghiasi sejumlah besar majalah dinding di emperan kamar makan SMP dan SMA, dengan ragam tulisan berupa berita, kisah inspiratif, dongeng dan cerpen. Berbagai topik seputar seminari dan kehidupan para seminaris disajikan.

Pelatihan berikutnya direncanakan Rabu-Minggu (9-13/5/2018) untuk para peminat yang belum sempat mengikuti kegiatan pelatihan April silam.

Kehadiran para penulis seperti Maria Matildis Banda beberapa waktu lalu berdampak amat besar. Para penulis alumni seminari juga menyulut api menulis yang luar biasa. Frans Padak Demon, dan Edy Loke adalah dua penulis alumni seminari yang baru-baru ini berbagi pengalamannya kepada para siswa. “Kita sangat mengharapkan para alumni, para penulis lain singgah dan memberi pencerahan bagi para siswa kita”, kata Rm. Beni Lalo, Pr, prefek/pamong SMA (Penulis: Piere Ralph, Doni Mere – siswa SMA kelas XI. Editor: Nani).

DSC_0429-jadi-pramuka-1024x614

PRAMUKA: “BANGUN KEMAH, BANGUN KADER ZAMAN NOW”

Pramuka (Praja Muda Karana) adalah kegiatan ekstrakurikuler rutin yang diterapkan di Seminari Mataloko. Kegiatan Pramuka siswa SMPS Seminari Mataloko selalu dijalankan setiap hari Jumat pukul 15:00-16:45 yang diisi dengan kegiatan-kegiatan yang telah terprogram. Kegiatan Pramuka pada hari Jumat (16/03) yaitu: latihan membangun kemah secara kreatif dengan menggunakan terpal dan tali Pramuka.

Cuaca panas dan rasa “kantuk” tidak menyurut semangat para siswa untuk berlatih. Kegiatan Pramuka hari ini adalah membangun kemah dari terpal. Kegiatan itu bertujuan supaya seminaris tetap bisa berkreasi di tengah zaman yang disebut “zaman now” ini. “Latihan membangun kemah menggunakan terpal ini melatih kreasi teman-teman agar tidak hanya menggunakan kemah jadi, melainkan kita pun bisa membangun kemah dari terpal,” ujar Gusto Nanga salah satu anggota Pramuka SMPS Seminari.

Latihan itu dihadiri oleh Pelatih Pramuka andalan Seminari yaitu Kak Anton. Beliau selalu memberi semangat bak “bumbu pedas” supaya seminaris tidak putus asa. Di sela-sela kegiatan itu Kak Anton menjelaskan proses dan cara kerja. Beliau katakan bahwa latihannya sangat mudah dengan cara membuat simpul pada setiap lubang di terpal lalu ikatkan tali sisa pada kayu tonggak lalu membentuk segi tiga.

SPORTIF DAN KERJA KERAS 

Pembangunan kemah dari terpal ini tidak hanya melatih adik-adik dan teman-teman untuk membangun kemah secara kreatif. Tetapi kegiatan seperti ini dapat membentuk seminaris menjadi seorang pekerja keras. Selain itu, pembangunan kemah dalam kegiatan Pramuka ini juga dapat menumbuhkan semangat sportifitas di antara mereka. Setiap regu dipacu untuk membangun kemah secara baik, cermat, dan cekatan. Oleh karena itu, kekompakan dan kerja sama merupakan hal yang harus ada dalam diri setiap peserta (anggota regu). “Mereka harus tetap sportif dan memiliki jiwa kerja keras. Dan masing-masing anggota di setiap regu tentunya memiliki barang bawaan masing-masing (yang diperlukan) sehingga tidak repot dalam kelompok!” ujar Kak Anton Ndiwa.

PENERAPAN DI ASRAMA

Kerapian, kerja keras dan kecekatan seminaris dalam setiap kegiatan Pramuka itu membantu mereka dalam menjalani hari-harinya di asrama. Di asrama mereka dibentuk dan membentuk diri lebih lanjut supaya menjadi pribadi yang disiplin, tanggung jawab, dan sportif. Sikap-sikap tersebut nyata dalam keseharian hidup mereka, mulai dari bangun tidur pagi pukul 04:30 sampai tidur malam pukul 21:15. Misalnya, mereka harus disiplin dan cekatan ketika harus bangun pagi, cuci muka-mandi, rapikan tempat tidur, dan kemudian menuju Kapela untuk berdoa dan merayakan Ekaristi. Beberapa kegiatan rutin pagi itu dijalani dengan disiplin yang tinggi dalam waktu 45 menit. Inilah buah-buah sederhana yang bisa langsung dirasakan oleh para seminaris SMP. Oleh karena itu, jelas bahwa kegiatan Pramuka itu penting dan harus diteruskan. (Yoga Kedang (IX A)/ Editor: Fr. Louis Watungadha).

IMG_20180404_193005

MEDIA: WHY MATTERS?

MEDIA: WHY MATTERS?
Bincang-Bincang bersama Frans Padak Demon

Siswa SMA Seminari Mataloko mengadakan bincang-bincang bersama Frans Padak Demon, Independent Consultant Voice of America (VOA), di Ruang Musik SMA, Rabu (4/4). Kegiatan 2 jam yang berlangsung seusai makan malam tersebut menjadi nostalgia tersendiri buat alumnus yang terdaftar sebagai siswa seminari tahun 1969 itu. “Saya terakhir kali berada di sini tahun 1975”, kenangnya. “Di SMP Seminari dulu, saya memulai Mading BIAS (Bimbingan Aspirasi Siswa)”.

Pertemuan tersebut menarik perhatian para seminaris, terutama ketika Frans berbagi pengalaman malang melintang di dunia jurnalistik dalam maupun luar negeri seperti, antara lain, di Harian Merdeka, Jurnal Ekuin, Harian Prioritas, The Mainichi Shinbun, Metro TV, NHK Radio & TV dan VOA.

“Reporter dan seorang imam terpanggil menjadi pembawa berita”, ujar penerima beberapa beasiswa luar negeri seperti di Jepang, Swedia dan Amerika tersebut. Sebagaimana seorang imam mewartakan kebenaran, “kewajiban pertama jurnalisme adalah memberitakan kebenaran”, tandasnya.

Itu sebabnya, jurnalisme yang baik cover both sides, seimbang, tidak berat sebelah. Demi menjamin kebenaran dalam pemberitaan, “seorang jurnalis perlu memiliki disiplin dalam melakukan verifikasi, mengecek dan terus mengecek kebenaran informasi”, lanjutnya, seraya menyebutkan 10 elemen utama jurnalisme, mengutip pendapat Bill Kovack dan Tom Rosentiel.

Frans banyak berbagi pengalamannya menahkodai VOA. Berbagai video tentang VOA ditayangkan. Video-video tersebut mengungkapkan kreativitas pemberitaan VOA, juga kecintaan masyarakat terhadap stasiun TV dan Radio itu. “VOA dicintai masyarakat karena kedalaman isi, dan integritas pemberitaan”. Frans adalah satu-satunya Direktur VOA penerima Gold Medal Award dari pemerintah Amerika Serikat, karena keberhasilannya memimpin stasiun TV dan Radio yang berpangkal di Amerika.

Media Penting

Di tengah banjir informasi yang dahsyat, di mana setiap warga bebas memberitakan apa saja lewat media-media sosial termasuk kebohongan, Frans menegaskan pentingnya media yang berintegritas dan berlandaskan kebenaran.

Media yang berintegritas itu “seperti cahaya di antara banjir berita, cahaya yang menerangi masyarakat. Masyarakat membutuhkan informasi yang benar. Informasi yang salah dapat menimbulkan pengambilan keputusan yang salah di tengah masyarakat”, tegasnya.

Frans mengutip tujuan pemberitaan seperti dikatakan Bill Kovack dan Tom Rosentiel, yakni menyediakan informasi yang diperlukan agar orang bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Untuk itu berita harus berlandaskan kebenaran. “Bayangkan kalau berita itu salah atau menyesatkan, masyarakat jadi kacau. Yang sama kan, kalau imamnya memberitakan yang salah, ya umatnya masuk neraka”, candanya memicu gelak tawa.

Lebih jauh dikatakan, berita yang baik dan benar menimbulkan kepercayaan, trust, di tengah masyarakat. Kepercayaan amat penting dalam pewartaan. “Karena itu kita harus menghindari laporan tidak berdasar yang hanya mencari sensasi. Kalau content-nya bagus dan benar, kita tidak perlu membuat iklan, tidak perlu mencari pembelaan, masyarakatlah yang membela kita”, bebernya.

Selanjutnya, Frans menegaskan pentingnya memanfaatkan media digital bagi pewartaan. Dibeberkannya, pengguna HP saat ini mencapai 91 persen penduduk dewasa Indonesia, dan dari jumlah itu, 60 persen menggunakan Smartphone. Selain itu, 79 persen penduduk memanfaatkan internet setiap hari. Mengenai sikap terhadap media digital, 71 persen pengguna memandangnya positip. Ini peluang yang patut digunakan untuk pewartaan. Gereja perlu memanfaatkannya.

“Saya kira penting sekali kita masuk ke dalam media digital. Pewartaan saat ini tidak cukup dilakukan melalui mimbar. Paus Fransiskus saja aktif setiap hari melalui Twitter”, ungkapnya, sambil menampilkan cuitan terkini dari Paus Fransiskus mengenai Paskah. “Setiap hari saya mengikuti cuitan Paus”.

Frans menegaskan, pewartaan melalui media digital menjangkau sejumlah besar umat, dan mereka dapat mengaksesnya kapan dan di manapun. “Pewartaan melalui kertas tetap penting, tapi kertas entah dalam bentuk Harian, Majalah atau buku itu mahal, sedangkan pewartaan media digital dilakukan melalui udara, karena itu murah dan menjangkau banyak orang”, katanya.

Frans mengapresiasi peluncuran website seminari. “Itu keputusan yang tepat. Saya berharap siswa dilibatkan. Tadi saya membaca tulisan mereka di Mading. Content-nya bagus. Sayang kalau tidak dibaca banyak orang. Dengan melibatkan banyak siswa, setiap waktu kita dapat meng-update informasi melalui website”. Frans menganjurkan, website dilengkapi content bercorak audio, berupa renungan, misalnya, yang dapat diperbaharui setiap waktu (Penulis: Mario Degho. Editor: Nani).

WhatsApp Image 2018-03-03 at 00.08.55

VISITASI: RUTINITAS PENUH MAKNA

Begitu lonceng berakhirnya waktu sekolah berbunyi, para siswa seminari berbondong menuju kapel sebelah utara kompleks SMA.  Keheningan menyeruak dalam setiap dinding kapel. Masing-masing seminaris berlutut di bangku yang sudah diperuntukan bagi mereka. Inilah kegiatan visitasi yang rutin dijalankan seminaris setiap hari: berdoa dalam keheningan.

Visitasi berasal dari bahasa Latin visitare yang artinya mengunjungi. Visitasi adalah kegiatan rutin harian yang dilakukan seminaris berupa kunjungan kepada Sakramen Maha Kudus, guna mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas setengah hari yang telah lewat, dan meminta berkat untuk setengah hari yang akan dihadapi. Visitasi diadakan setiap hari pukul 13.10 pada hari sekolah dan pukul 12.00 pada hari Minggu atau hari libur.

Kadang-kadang sebagai ganti visitasi, siswa memanfaatkannya untuk berdoa di depan gua Maria yang berjarak 30 m ke arah selatan kapela. 

Penuh Makna

 “Visitasi itu sangat bermanfaat bagi saya. Setelah memeras otak di jam-jam pembelajaran di kelas, kita bisa menjernihkan otak kita dengan berdoa dalam keheningan. Kita mempersembahkan segala yang kita lakukan, dan menyerahkan apa yang akan terjadi pada Tuhan”, kata Bryan Beka, ketua OSIS SMA Seminari, saat ditemui pada Minggu (18/03/2018) usai kegiatan visitasi.

“Dalam visitasi kita merenungkan kegiatan yang telah dilakukan, agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama di hari-hari ke depan”, ujar Martino Djong, siswa kelas X dari Maumere.

Visitasi memang berguna bagi seminaris. Banyak dari mereka terbawa suasana keheningan, yang sangat membantu perkembangan hidup rohani. Tanpa keheningan, orang tak dapat merenung dan berefleksi dengan baik, orang tak dapat menyampaikan keluh kesah di hadapan Tuhan. Padahal dengan menyampaikan keluh kesah, hati kita menjadi lega.

Dengan kemudahan teknologi saat ini, orang dapat mencari hiburan dengan berselancar dalam dunia maya dan tenggelam dalam media-media sosial. Hal tersebut tidak dilakukan oleh para seminaris. Sebagai gantinya, mereka melakukan visitasi.

“Visitasi adalah saat jeda, saat beristirahat dalam Tuhan”, tandas Rm. Benediktus Lalo, Pr, Prefek SMA, saat dimintai komentarnya mengenai kegiatan tersebut. “Di saat kita merasa lelah dan tak berdaya, Tuhan hadir dan membantu. Kalau para siswa terbiasa melakukan hal ini setiap hari, mereka pasti akan merasakan manfaatnya di dalam hidup. Mereka akan menjadi kuat saat mengalami tantangan dan krisis”, lanjutnya.

Visitasi adalah saat kita mendengarkan panggilan Tuhan yang berseru, “Marilah kepadaKu kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu” (Mat.11:28).

Sebagai kegiatan rohani yang dilakukan setiap hari, visitasi dapat menjadi rutinitas. Tapi kalau dijalankan dengan sungguh, visitasi menjadi rutinitas penuh makna (Penulis: Carlos Feto. Editor: Nani).

CENDANA: INVESTASI JANGKA PANJANG SEMINARI

Tubuh para seminaris membungkuk membersihkan rerumputan di sekitar cendana dan menyirami cendana yang tumbuh subur di atas tanah. Pekerjaan ini dilakukan setiap sore setelah kegiatan istirahat siang, terutama saat musim panas. Saat musim hujan, para siswa membersihkan semak di sekeliling cendana, agar tidak menutupi tanaman tersebut. Pohon-pohon cendana ditanam di lahan sebelah kiri kuburan imam projo kevikepan Bajawa,  utara asrama SMA, yang sebelumnya terlihat kosong.

Pemanfaatan lahan kosong di sekitar kompleks seminari semakin giat dilakukan karena perkebunan Malanuza yang sebelumnya menjadi andalan seminari telah berdiri menjadi PT tersendiri. Pengelolaannya berada di bawah Keuskupan Agung Ende di Ndona.

 Pada pertengahan Desember 2015 RD. Sil Edo, selaku penanggungjawab usaha kebun seminari membeli 2.000 anakan cendana dari Kurobhoko. Sejak itu para siswa SMP dan SMA seminari menanam anakan tersebut pada lahan-lahan kosong sekitar kompleks sekolah dan merawatnya.

Tidak semua cendana hidup. Saat ini terdapat 600-an pohon yang masih bertahan karena sebagian lahan tidak mempunyai unsur hara yang cukup, yakni senyawa yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, seperti cendana. Maklum, di atas lahan tersebut dahulu ditanami jeruk dan alpukat. Perawatan cendana diserahkan tanggungjawabnya kepada Osis SMA.

“Penanaman cendana merupakan salah satu bentuk dari penerapan Grand Design pada poin ketiga tentang pemanfaatan lahan-lahan produktif, “ ujar RD. Gabriel Idrus Praeses seminari, saat diwawancarai pada Sabtu (24/3/2018).

Grand Design  adalah pokok-pokok panduan pembenahan seminari menyongsong 100 tahun berdirinya  pada tahun 2029 mendatang. Pokok-pokok panduan  tersebut, yang ditetapkan setelah diadakan analisis keadaan seminari dengan metode SWOT, adalah: Bidang Manajemen Mutu Pendidikan, Bidang Sarana Prasarana, Bidang Pengelolaan Aset dan Usaha Produktif, Bidang Penataan Lingkungan, dan Bidang Penggalangan Dana.

Diharapkan, cendana-cendana dapat memberikan hasil, yang menunjang pembenahan lembaga seminari ini menyongsong satu abad berdirinya dan sesudahnya. Tentu saja, melalui penanaman pohon cendana, para siswa terlibat aktif mencintai dan melestarikan lingkungan secara produktif.

Juga para siswa dapat belajar berbagai nilai yang memperkuat kepribadiannya. “Tanah itu pintu masuk penumbuhkembangan nilai-nilai“, kata RD. Benediktus Lalo pada suatu kesempatan.

Dengan demikian cendana adalah investasi jangka panjang, baik secara ekonomis, maupun bagi pengembangan kepribadian calon imam (Penulis: Martino Djong. Editor: Nani).

KECEMASAN, TOTALITAS, DAN HARAPAN

Cabang Meluas, karena Akar Mendalam – Kilas-Balik (2)

KECEMASAN, TOTALITAS, DAN HARAPAN

Berpindah ke tempat baru dengan fasilitas lebih memadai tidak serta merta membuat hidup dan pergulatan pendidikan mudah. Ada berbagai tantangan baru yang mesti dihadapi.

Butuh Keberanian dan Tekad Baja

Ketika masih di Sikka, seminari berada di tengah kampung, dengan atmosfir Katolik yang kental, karena semua penduduk beragama Katolik. Di Mataloko seminari berada di tempat yang sunyi. Beberapa perkampungan sekitar, seperti Dolu, Wogo atau pun Belu tersembunyi di rerumpunan bambu.

Kalau di Sikka, sejak sebelum tahun 1600 orang sudah mengenal agama Katolik, di Ngada umumnya, dan Mataloko khususnya, agama Katolik baru diperkenalkan tahun 1920 dengan kedatangan P. Ettel, SVD. Jadi ketika seminari didirikan di Mataloko, baru 9 tahun agama Katolik diperkenalkan di wilayah itu. Sebagian besar umat belum beragama Katolik. Para misionaris lebih dilihat sebagai orang “kulit putih” daripada sebagai imam atau biarawan.

Bahwa seminari diletakkan di tengah bangsa yang sebagian besar belum mengenal agama Katolik, rasanya itu sebuah pertaruhan besar. Lagi-lagi di sini keyakinan kedua tokoh, Mgr. Vestraelen, SVD, dan P. Frans Cornelissen, SVD, bahwa bangsa Flores itu gens naturaliter christiana serta mempunyai cita-rasa religius dan moral yang tinggi, dan tekad baja yang total untuk menyelenggarakan pendidikan calon imam yang bermutu berperan besar di balik keberanian ini.

Belakangan, P. Cornelissen, SVD tegas menulis, “Orang sangat keliru kalau menganggap bahwa seminari harus berada di tengah-tengah masyarakat Katolik” (50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali, hal. 33).

Menjaga Kesehatan Siswa

Tantangan lain yang dihadapi adalah kesehatan siswa. Kala itu Flores dibagi dalam 5 wilayah administratif kepemerintahan (Onderafdeling), dan di setiap Onderafdeling ditempatkan seorang dokter. Namun tak jarang dokternya kurang dari lima, bahkan sering hanya dua. Di Bajawa sendiri dokter sering tidak ada. Kunjungan dokter setiap bulan datang dari Ende. Tidak selalu seminari mendapat pelayanan medis dari seorang dokter yang kebetulan berkunjung ke Bajawa itu.

Karena itu banyak hal diupayakan sendiri, agar kesehatan para siswa bisa ditangani. Biasanya seorang imam atau suster yang sedikit banyak mengenal obat-obatan ditugaskan untuk menangani kesehatan siswa.

Masalahnya adalah kalau para siswa menderita penyakit berbahaya, seperti radang paru-paru, atau pun TBC. Sering kali mereka tidak ditangani semestinya, atau terlambat penanggulangannya. Akibatnya, beberapa siswa tidak tertolong. Ada yang meninggal di seminari, yang lain meninggal di rumah. Itu beberapa catatan pedih P. Frans Cornelissen, SVD.

Bukan Mendidik Imam Kelas Dua

Namun semua tantangan itu tidak menyurutkan semangat untuk terus mendidik para calon imam. Dari tahun ke tahun jumlah siswa makin bertambah, begitupun jumlah pendidiknya.

Seluruh proses pendidikan dijalankan dengan kesungguhan dan totalitas yang amat besar. Pendidikan Gymnasium ala Eropa diterapkan, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Ini merupakan sistim pendidikan seminari menengah di Belanda (Klein Seminarie) untuk mempersiapkan para pemuda melanjutkan studi di seminari tinggi (Groot Seminarie).

Mengapa proses pendidikan seperti ini yang dipilih dan dijalankan dengan segenap totalitas, padahal yang dididik adalah calon imam pribumi? Catatan P. Frans Cornelissen, SVD membantu memahami pergumulannya.

Dalam kata sambutannya pada Upacara Peresmian Seminari 15 September 1929, P. Frans Cornelissen, SVD, mengutip Paus Benediktus XV dalam ensiklik Maximum Illud yang mengatakan bahwa para rohaniwan pribumi harus dididik sebaik-baiknya, tidak hanya sekedar diberi pengetahuan elementer. Pendidikan yang diberikan haruslah “lengkap sempurna dan utuh dalam semua seginya sebagaimana lazimnya diberikan dalam pendidikan imam-imam dari bangsa-bangsa yang sudah maju” (50 Tahun Pendidikan di Flores, Timor dan Bali, 35).

Ini merupakan sikap yang dipilih untuk mengembangkan proses pendidikan di seminari, sebuah sikap yang sangat maju karena beberapa hal. Pertama, cukup banyak seminari yang dikembangkan di Asia dan Amerika Latin memilih mendidik imam-imam pribumi sebagai imam kelas dua. Ada banyak contoh yang dikemukakan. Kedua, masa penjajahan Belanda saat itu menganggap wajar perlakuan kelas dua bagi pendidikan kaum pribumi. Tapi P. Cornelissen memilih menerapkan proses pendidikan yang sama kualitasnya dengan proses pendidikan calon imam di negara maju.

Itu sebabnya pilihan ini mewarnai atmosfir pendidikan di seminari sejak awal. Karena itu imam yang akan dihasilkan adalah imam dengan proses pendidikan, hak, kedudukan dan kualitas yang sama, imam sebagai sesama saudara.

Buah-Buah Pertama

Pertengahan tahun 1932 para siswa angkatan pertama yang berawal dari Sikka menamatkan pendidikannya di seminari menengah. Itulah buah-buah pertama hasil pendidikan di seminari ini.

Dengan pemikiran bahwa pendidikan calon imam pribumi haruslah pendidikan yang “lengkap sempurna dan utuh dalam semua seginya”, maka tanggal 8 Januari 1932, diputuskan untuk mendirikan sebuah seminari tinggi, agar para calon imam dapat melanjutkan studi filsafat dan teologi. Seminari tinggi itu didirikan di Mataloko. Sebuah rumah bertingkat dua bagi seminari tinggi itu dikerjakan tahun 1932 dan selesai tahun 1933 dengan nama rumah Arnoldus, atau lebih dikenal di kalangan masyarakat sebagai Rumah Tinggi (Kemah Tabor saat ini). Mereka yang melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi itu diterima sebagai anggota novisiat SVD, sesama saudara sederajat dengan para anggota serikat dari Eropa.

Dari angkatan pertama novisiat SVD yang berjumlah 7 orang itu (yang merupakan penggabungan angkatan 1926 dan 1927 di Sikka), 4 orang menjadi imam, yakni Lukas Lusi dan Marsel Seran dari angkatan 1926, dan Gabriel Manek serta Karel Kale Bale dari angkatan 1927. Dari ke-4 orang itu, seorang menjadi Uskup, yakni Mgr. Gabriel Manek, SVD, sebuah pembuktian nyata bahwa seminari yang pada awal mula dibangun dengan sederhana menghasilkan buah yang matang dengan  mencapai pucuk pimpinan tertinggi gereja lokal (Nani).