Memperkenalkan ‘Gerakan Menulis Siswa’ di Seminari Mataloko

MEMPERKENALKAN ‘GERAKAN SISWA MENULIS’ DI  SEMINARI MATALOKO

Sebagai pribadi yang sering mendapat tugas berkunjung ke beberapa keuskupan di Indonesia, saya terbiasa mendokumentasikan peristiwa dalam sebuah coretan kisah harian. Dokumentasi tertulis itu menjadi alat bukti  bahwa saya sudah berkunjung ke tempat itu sekaligus menjadi lampiran dari sebuah laporan kegiatan yang saya lakukan. Begitu pun ketika saya berkunjung ke Seminari Mataloko tanggal 4 Februari 2019 yang lalu, saya melakukan hal yang sama. Tulisan ini menjadi alat bukti bahwa saya pernah berkunjung ke Seminari Mataloko. Agar tulisan ini, tidak hanya menjadi milik saya, saya ingin mempublikasikan tulisan ini di Flores Pos agar para siswa seminari yang saya kunjungi saat itu dan pembaca Flores Pos, meraih makna di balik kebiasaan menulis.

Keinginan saya untuk memublikasikan peristiwa ini, berawal dari pertemuan spontan dan sederhana. Saya ingin bertemu teman kelas, Romo Nani Songkares. Pada saat yang sama, Romo Nani sedang mendampingi beberapa siswa untuk menulis. Saya diminta secara spontan menularkan semangat kepada para siswa yang sedang menulis. Para siswa diberi ruangan khusus untuk membaca dan menulis. Ruangannya persis di samping ruangan Romo Nani Songkares sehingga aktivitasnya bisa langsung terpantau. Siapapun yang masuk ke ruangan ini, aktivitas hanya satu : menulis. Ada laptop, ada meja, ada buku-buku. Ruangan yang dipenuhi beberapa siswa terasa hening karena hanya jari-jarinya yang bergerak mengikuti perpaduan antara kegiatan otak dan kegiatan hati. Hati yang menggerakkan mereka untuk menulis sesuai apa yang sedang dipikirkan.

Aktivitas mereka menggoda saya untuk menulis tentang mereka. Bahwa ada praktik baik yang sedang terjadi di sana. Para siswa harus dibiasakan untuk menulis dan menulis, itu penegasan dari Romo Nani Songkares. Ketika menyaksikan aksi mereka, pikiran saya tertuju kepada sebuah buku yang berjudul The Power of Habits. Kebiasaan baik yang diperkenalkan sejak dini, akan menjadi kekuatan maha dahsyat di kemudian hari.

Hal ini dipertegas oleh pernyataan Romo Sunu, Provinsial Serikat Jesus, dalam acara retret beberapa tahun yang lalu di Cepu Jawa Tengah. Beliau memperkenalkan peserta retret untuk ‘merasionalisasi rasa’ setiap hari. Apa yang kita rasakan setiap hari, harus ditulis dalam buku atau didokumentasikan secara tertulis agar rasa itu diketahui penyebabnya. Kalau  kita sering menulis rasa pribadi, kebiasaan itu  akan menjadi kekuatan personal yang senantiasa mengontrol seluruh aktivitas harian kita. Kita bisa hidup lebih teratur, terkontrol dan tertata. Pernyataan yang kita ungkapkan lewat kata-kata, akan tertata dengan sendirinya ketika kita terbiasa menuliskan apa yang kita rasakan. Lagi-lagi, aktivitas menulis menjadi sangat penting untuk membentuk diri.

Wajar bila ada yang mengatakan bahwa menulis ada jalan sunyi menuju pengenalan diri. Mengapa? Ketika menulis, kita memadukan beberapa kekuatan  dalam satu gerakan. Ada kekuatan yang mendorong kita untuk duduk, diam dan hening. Ketika duduk, dan mulai menulis, ada keinginan-keinginan lain yang menggoda kita untuk mengabaikan kegiatan itu.

Selain itu, ada juga kegiatan mengelola informasi, pengetahuan yang terbersit di otak kita. Bagaimana kita meramu ilmu yang berseliweran dalam pikiran kita untuk dibentuk dalam  dalam sebuah pernyataan tertulis yang teratur dan tersusun agar siapapun yang membacanya, dapat mengerti.

Perpaduan antara kekuatan rasa, kekuatan otak dan kehendak yang kuat menjadi ‘lahan subur’ terciptanya sebuah tulisan yang berkualitas. Bila para siswa terbiasa menulis, berarti dia sedang dilatih oleh diri sendiri untuk tertib dalam berpikir, tertib dalam merasa dan tertib dalam mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.

Wajar bila Romo Nani Songkares dan Romo Beny Lalo ingin memperkenalkan gerakan ini. Betapa pentingnya, menularkan kebiasaan untuk menulis kepada para siswa.  Bagi para calon imam atau imam yang terbiasa membuat tulisan, akan mempermudah tugas dan karya mereka di kemudian hari. Apa yang diproduksi lewat mulut atau aktivitas verbal di berbagai mimbar, harus terlebih diolah secara matang, lewat proses yang diperkenalkan dalam aktivitas menulis. Wajar saat ini, sudah banyak himbauan agar para pastor yang membawakan kotbah harus disiapkan secara tertulis. Dengan demikian, apa yang dipublikasikan kepada umat secara verbal harus melalui proses pengolahan yang matang. Dengan demikian mimbar yang secara ensensial merupakan tempat mewartakan kabar gembira, benar-benar dimanfaatkan sesuai  dengan intensinya.

Keterampilan dan kemampuan menulis bukan hanya bermanfaat bagi  calon imam tetapi juga untuk para calon pemimpin bangsa atau pemimpin daerah. Kebiasaan untuk merumuskan secara tertulis apa yang dirasakan, dipikirkan menjadi ‘kekuatan’ maha dahsyat untuk memproduksi kebijakan publik bagi masyarakat di kemudian hari . Apa yang diketahui, dirasakan, harus dirumuskan secara jelas dalam sebuah pernyataan dokumentatif agar semua pihak bisa mempelajarinya secara baik untuk membentuk kekuatan komprehensif dalam memproduksi kebijakan publik.

Banyak pemimpin kita lebih giat memproduksi ujaran-ujaran tanpa olahan yang matang, tanpa dibekali kemampuan menulis. Ketika disandingkan dengan input-input kritis dan bermakna, mereka sering menghadapinya dengan sikap defensif yang sulit dipahami secara nalar. Terjadilah proses irasionalitas publik yang mengganggu proses berpikir masyarakat.

Pengalaman ini, nampak sederhana. Hanya soal melatih siswa untuk menulis. Namun praktik sederhana ini sebenarnya memberikan dampak visioner bagi lahirnya seorang pemimpin bangsa, pemimpin umat yang berkualitas. Mereka dididik untuk sejak awal mampu memproduksi pernyataan tertulis yang berasal dari hasil pemikiran yang matang, hasil pengolahan hati yang baik dan managemen diri yang berkualitas.  Dengan demikian praktik baik ini, hendaknya tidak hanya dilakukan di Seminari Mataloko, namun di semua lembaga pendidikan tanpa terkecuali.  Semoga !

Eddy Loke

Surabaya 12 Februari 2019.

Romo Domi dan Kesunyian

Romo Domi dan Kesunyian

 Pada 23 Januari lalu, dua ibu dari Jakarta mengunjungi seminari. Begitu dijumpai di halaman depan Kapela SMP seminari, salah seorang ibu, yang beberapa waktu sebelumnya pernah mampir ke seminari dan bercanda dengan Romo Domi Balo, berkata kepada saya, “Romo, tolong antarkan kami ke Romo sepuh itu, kami mau beri sesuatu.” Mereka membawa tongkat untuk membantu Romo Domi berjalan.

 Saya mengantar kedua ibu itu ke kamar Romo Domi, di bagian dalam, di tempat tidurnya. Romo Domi sedang terbaring. Begitu melihat kedua ibu yang menyapanya, dia terkejut. Matanya sedikit membelalak. Dia ingin mengatakan sesuatu. Tapi tak ada satu katapun keluar dari bibirnya. Dia mencoba menggerakkan tangan, berusaha mengekspresikan sesuatu. Tapi tidak bisa. Kedua ibu itu pamit. Romo Domi hanya menganggukkan kepala.

 Itulah kondisi yang dialami Romo Domi sejak dia kedapatan terjatuh di kamarnya, di depan TV, 17 Januari malam. Malam itu Romo Sarce, tetangga di kamar sebelah, pulang dari misa arwah, kira-kira jam 22.30 WITA. Dia mendengar bunyi TV di kamar Romo Domi. Saat itu Romo Sarce berpikir, Romo Domi pasti sedang asyik menonton debat calon Presiden putaran pertama. Romo Domi memang sangat berminat mengikuti perkembangan politik tanah air. Tapi ketika TV tetap berbunyi sampai kira-kira pukul 24.00 malam, Romo Sarce mulai curiga. Pelan-pelan dia membuka kamar Romo Domi. Dia terkejut, Romo Domi jatuh berselonjor di depan TV, dengan kepala bersandar di dinding tripleks yang membatasi ruang tidur bagian dalam.

 Sejak saat itu, Romo Domi praktis tidak bisa berkomunikasi lagi. Paling-paling satu dua kali berkata “Ya”, atau “Belum”, atau “Praeses”.  Itu pun susah sekali. Bahkan, makin lama kata-kata seperti itu pun tidak bisa diucapkan lagi. Terasa sekali keinginan Romo Domi untuk berbicara sesuatu, tapi yang keluar hanya sebentuk gumaman yang sulit dimengerti. Romo Domi ditelan kesunyian, sunyi sekali.

 Untuk seseorang yang dengan segenap hati, dengan seluruh passion, dengan seluruh kekuatan mencintai pekerjaan berupa produksi kata-kata melalui komunikasi, pengajaran, buku-buku, refleksi, renungan, nasihat dan ungkapan-ungkapan bijak, kejenakaan, kemudian tiba-tiba tidak mampu menemukan kata-kata untuk mengungkapkan dirinya, entah karena merasa tidak bertenaga lagi, atau karena daya ingat yang sudah begitu terkuras, ini rasanya sebuah salib yang besar sekali. Sekurang-kurangnya itu yang kami tangkap dan rasakan.

 Sekali waktu, di sore hari, saya masuk ke kamar Romo Domi. Frater Denny Galus, SVD, yang setia menemani Romo Domi keluar, membiarkan kami berdua di kamar. Saya berusaha mencari segala daya untuk berkomunikasi dengan Romo Domi. Dengan terbata-bata, dia hanya sekali mengucapkan nama saya, lalu komunikasi kami praktis menjadi seperti monolog. Saya bercerita tentang kegiatan-kegiatan yang sedang dilakukan dengan anak-anak, bertanya sembarangan tentang apa yang dia rasakan, tentang keadaannya, sakitnya, tentang tangan dan kakinya. Dia hanya menatap, atau meremas tangan saya.

Frater Louis Watungadha datang sambil membawa buku kenangan 60 tahun imamat Pater Aleks Beding SVD, yang ditulis beberapa imam SVD berjudul, “Bersyukur dan Berharap.” Editor buku tersebut adalah Pater Steph Tupeng Witin SVD yang diterbitkan Penerbit Ledalero (2011). Saya menunjukkan buku itu kepadanya. Semangatnya tiba-tiba menyala. Dia mengambil buku itu, berusaha miring ke kiri atau ke kanan untuk membaca judulnya, dengan susah payah membuka satu dua halaman, bibirnya bergerak seperti hendak membaca sesuatu, akhirnya berhenti. Aduh! Buku yang jadi kegemaran dan sahabat setianya tak bisa dinikmati lagi. Kata-kata berhenti sama sekali!

***

Romo Domi memperkuat barisan formator seminari sejak tahun 2001. Umurnya 60-an tahun saat itu, sudah usia pensiun. Namun segera kami merasakan, betapa Romo Domi menjadi pilar seminari yang luar biasa, sebuah kekuatan yang hanya bisa dan selalu akan kami kenang dan syukuri.

Saat itu kami mulai mempersiapkan diri menyongsong 75 tahun seminari. Salah satu kebutuhan yang dirasakan adalah adanya buku Pedoman Pendidikan Calon Imam, khas seminari Mataloko. Pedoman itu sama sekali belum ada. Dibentuklah Panitia Kerja, antara lain, untuk menghasilkan buku Pedoman itu. Romo Domi adalah ketuanya. Praktis Romo Domi mengerjakannya sendiri. Dia mempelajari berbagai dokumen, baik dari Vatikan maupun KWI. Dia menyusun draftnya. Saat seminari merayakan 75 tahun berdirinya pada tanggal 15 September 2004, Pedoman itu terbit sebagai buku ad experimentum. Lengkap sekali dan mendetail. Sampai sekarang, buku tersebut tetap dipakai sebagai rujukan.

Kebutuhan lain yang tidak kalah penting adalah mengajar bahasa Latin. Karena keterbatasan tenaga, tugas ini minus malum biasanya diberikan kepada para frater TOP. Frater TOP setiap tahun berganti, jadi praktis setiap tahun pengajar bahasa Latin berganti, dan kita tidak pernah mempunyai kepastian, apakah frater yang mengajar itu, bahasa Latinnya baik.

Kehadiran Romo Domi memberi kepastian. Dia sendiri ternyata berminat sekali dalam bahasa Latin. Maka, dia mengajar dari SMP sampai SMA, dengan ketekunan yang luar biasa, spartan. Tidak lama berselang, beberapa buku pegangan pelajaran bahasa Latin dihasilkan: doa-doa dan lagu-lagu liturgis dalam bahasa Latin, Kamus bahasa Latin, dan akhirnya 4 jilid buku teks Elementa Linguae Latinae, Liber Primus, Liber Secundus, Liber Tertius dan Liber Quartus, baik Buku Guru maupun Buku Siswa.

Hanya sedikit sekali pengajar bahasa Latin di seminari-seminari se-Indonesia yang sangat menguasai bahasa Latin. Seminari Mataloko berbangga karena pengajar bahasa Latin yang dimilikinya adalah seorang ahli.  Mario Lawi, seorang penyair muda NTT menulis sebuah buku puisi dalam bahasa Latin, dan dia minta Romo Domi memberikan koreksi dan catatan. Dia tahu kepada siapa dia harus bersandar.

Kreativitas dan produktivitas intelektual seorang Romo Domi Balo seperti tidak pernah berhenti. Terus mengalir. Kalau sedang tidak mengajar, Romo Domi pasti berada di kamarnya, di depan laptop untuk bekerja. Dia mengumpulkan dan menulis banyak hal. Mulai dari ramuan-ramuan tradisional untuk obat-obatan sampai refleksi dan pemikiran-pemikiran teologis. Dua buku terakhir yang diterbitkan adalah tentang Sakramen dan Selibat. Beberapa naskah buku yang siap untuk diterbitkan sudah di-print dan dijilid teratur.

Tidak heran Romo Domi selalu suka membaca. Dia membaca buku, membaca majalah dan koran, dan selalu mengikuti perkembangan-perkembangan terbaru melalui internet. Tentang yang terakhir ini, internet, dia tidak segan-segan mengeluarkan uang untuk pulsa. Jangan pancing diskusi mengenai perkembangan-perkembangan terbaru politik tanah air, misalnya, kegunaan ramuan ini, atau itu. Romo Domi langsung ‘sambar’. Di depan para calon imam, saya suka berkata, Romo Domi itu seorang tua yang selalu muda, karena selalu belajar.

Karena kebijaksanaan dan kekokohan intelektualnya, ditambah kedalaman kerohaniannya sebagai seorang imam pendoa itulah, Romo Domi selalu dinantikan kehadiran dan kata-katanya dalam sidang-sidang staf seminari, atau sidang guru, terutama ketika harus berbicara mengenai hal-hal krusial pendidikan seminari.

Suatu waktu dalam salah satu sidang staf, diputuskan bahwa harus ada Hari Orangtua Seminaris (HOS). Romo Praeses, Romo Gabriel Idrus, Pr, meminta bantuan para staf memberikan masukan mengenai pendidikan seminari, dan situasi terkini yang sedang dialami. Romo Domi ditunjuk untuk membuatkan draftnya, dan seperti biasa, orang tua ini langsung ‘tancap gas’. Dan hasilnya luar biasa sekali. Dia menulis tentang betapa relevannya pendidikan seminari sampai saat ini. Dia menguraikan dengan begitu gamblang tantangan internal dan eksternal yang menyebabkan kemandirian seminari mengalami goncangan.

Saat ini, ketika seminari sedang berbicara tentang grand design pendidikan seminari menuju 100 tahun berdirinya dalam kerja sama yang begitu kental dengan Pemerintah Kabupaten Ngada, seminari harus merumuskan problem statement-nya. Salah satu kata kuncinya adalah kemandirian, sesuatu yang bertahun-tahun sebelumnya sudah digaungkan oleh orang tua yang istimewa ini.

Entah pesan apa yang mau disampaikan Romo Domi Balo dengan kesunyian luar biasa di hari-hari terakhirnya ini. Begitu menyesakkan, begitu menghempas! Kata-kata yang bernas itu lenyap, yang tinggal adalah kesunyian.

Moto tahbisan Romo Domi adalah, “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba, tetapi sahabat” (Yoh.15:15). Bapak Uskup Agung Ende dalam kotbahnya saat Misa Requiem untuk mengantar pergi Romo Domi ke pembaringan terakhir mengatakan, Romo Domi adalah sungguh sahabat Yesus. Persahabatannya dengan Yesus dia ungkapkan tidak hanya dengan kata-kata, tapi seluruh dirinya, hidupnya. Hidupnya sendiri adalah sebuah kata besar yang terus berbicara, lebih dalam, lebih agung dari ungkapan verbal.

Saya teringat Santo Thomas Aquinas, seorang teolog agung, yang karya-karya intelektualnya sangat berpengaruh bagi perkembangan Gereja. Dia menulis seri Summa Theologiae yang terkenal itu, tapi tidak selesai.

Konon, ketika merayakan Ekaristi Santo Thomas mendapatkan pengalaman mistik yang luar biasa, yang begitu memengaruhinya, sehingga dia berhenti menulis. Ketika Bruder Reginald, sekretaris dan sahabatnya, memintanya untuk menyelesaikan Summa Theologiae itu, dia berkata, “Akhir kerjaku telah tiba. Semua yang saya hasilkan rasanya hanyalah setumpuk jerami, dibandingkan dengan apa yang telah dinyatakan kepadaku.”

Kae Domi, mudah-mudahan kepadamu telah dinyatakan, dan akan dinyatakan keagungan, kemuliaan yang tidak mampu diungkapkan dengan karya dan kata-kata manusia, kemuliaan Sahabatmu, Yesus. Rasanya, kata-kata Tuhan, yang kae jadikan moto imamat, adalah jaminannya, “Aku tidak lagi menyebut kamu hamba, tetapi sahabat” (Yoh.15:15).

Romo Nani Songkares, Pr

Homo Proponit, Deus Disponit

HOMO PROPONIT, DEUS DISPONIT

Kenangan bersama Romo Domi Balo, Pr

 

Judul di atas diambil dari kalimat yang terpajang di depan kamar Romo Domi Balo. Kalimat itu sudah tergantung sekian lama hingga sekarang. Bagi orang yang memahaminya, kalimat ini menohok ke dalam relung hatinya, dan ia bermenung, “Manusia boleh merencanakan tetapi Tuhan yang menentukan”.

 Kalimat di atas harus dibaca secara utuh. Jika tidak, maka akan terjadi bencana kemanusiaan, saat manusia terjebak hanya pada dimensi horisontal/humanisme (homo proponit). Dimensi horisontal menyangkut kekinian (hic et nunc). Kekinian mengandung unsur manusia dan dunia yang sedang berkembang. Kekinian yang semakin sekular saat ini, saat manusia semakin percaya diri. Saat manusia berpisah dari Tuhan (Deus). Sejarah evolusi tahap pertama yang ditandai oleh Homo Sapiens (70.000 tahun), yang akan segera diganti dengan tahap kedua yang ditandai dengan  Homo Deus. Manusia bisa menjadi Tuhan atas dirinya dan bisa mengubah lintasan evolusi sejarah masa depan, yang hanya ada di tangannya. Inilah bencana yang paling dasyat, Homo Deus, mau menghancurkan mortalitas dan dunia tak mengenal lagi kematian (immortalitas). Kematian bukan persoalan Tuhan lagi tapi itu adalah masalah teknis yang belum ditemukan solusi teknisnya (Yuval Noah Harari, Homo Deus-A Brief History of Tomorrow,2017,h.24-25)

Di sisi lain, kalimat kedua (Deus disponit) adalah dimensi vertikal, pikiran orang yang berpihak pada Allah. Ini menyangkut masa kini dan masa depan, dunia seberang, harapan akan keabadian. Dengan demikian disimpulkan kehidupan manusia entah kini entah yang akan datang ada pada tangan Tuhan. Dalam kekinian, manusia berencana, membangun dunia, berkembang dalam keilmuan, mencipta segalanya tapi seluruh kehidupan itu tak mencukupi, karena pada akhirnya, dihadapkan pada restu keputusan Tuhan. Kehidupan dan kematian adalah keniscayaan yang ditentukan oleh Tuhan.

Kalimat di depan pintu kamar Romo Domi adalah kalimat utuh sebagai kebijaksanaan dan  proklamasi imannya yang tiada tara pada Tuhan. Pernyataan iman yang tak pernah luntur bahkan semakin mengental sampai di penghujung kehidupan fana ini.

Kalimat ini menjadi faktor pengingat pada diri Romo Domi bahwa sebagai manusia lemah, dengan segala dosa-dosanya, dengan segala concupiscentia, setiap hari dari pagi hingga malam, dalam pekerjaan-pekerjaannya, melayani gereja sebagai seorang imam, melayani para seminaris sebagai pembina dan guru, semuanya dalam nama Tuhan.

Pekerjaan dan panggilan hidupnya adalah evolusi spiritualitas yang dihayati sebagai pewartaan tentang Allah yang Mahakasih, yang nampak dalam diri Yesus Kristus Putera Allah, yang telah bersatu dalam seluruh sejarah homo sapiens. Sejarah manusia yang tak bisa dipotong dan dipisahkan dari kasih Allah.

Sebagai buah dari kebijaksanaan dan imannya ini, pada masa tuanya, Romo Domi masih berbuat banyak hal, memperkaya gereja, seminari dan para seminaris dengan buah-buah pengetahuan dan buah-buah rohani. Tak tahu berapa buku/brosur rohani yang dihasilkan dan dipakai hingga sekarang oleh komunitas ini. Sampai pada saat-saat tenaganya hampir habis, dengan sisa energi kecerdasan berpikirnya, ia masih mempersembahkan buku pegangan bahasa Latin Elementa Linguae Latinae Primus, Secundus,Tertius dan Quartus.

Pada akhir kehidupan saat dia tak bisa berjalan lagi, dari keheningan kursi roda, ia terus memandang generasi baru yang sedang melanjutkan karyanya di seminari ini dengan pekerjaan-pekerjaan rutin, dengan segala rencana-rencana besar ke depan. Dia berdoa dan berserah pada Tuhan, seperti Musa yang memandang Tanah Terjanji dari Gunung Nebo, dan memandang Harun bersama Israel berlangkah ke depan. Ia berdoa semoga seluruh pekerjaan di kebun anggur Tuhan, seminari ini menghasilkan buah-buah imamat dan kader-kader gereja yang berlimpah.

Kita harus tetap percaya seminari ini adalah kebun anggur Tuhan. Pekerja-pekerja di kebun ini datang dan pergi, berganti dari satu generasi ke generasi berikut,  tapi hanya Tuhan yang sama sebagai penentu evolusi sejarahnya sampai keabadian…

Rm. Benediktus Lalo, Pr

Ikan-Ikan Kerinduan

ikan-ikan kerinduan

ada …
ada yang putih
yang itam … yang abu-abu
yang belang … yang kuning

ikan-ikan kerinduan pukul 13.00
ngap-ngap pada bibir sjuta harap
pada kerinduan yang tak pernah sia-sia
nantikan bulir-bulir cinta
dari tangan terulur
yang slalu rindu berbagi tabur

pukul 13
heiii … ikan-ikan kerinduan
membagi telah selesai,
kembali OPA pada tahta segala
tempat smua bertaut harap
‘tuk slalu merindu
pada maha samudra
yang empunya segala

Tak pernah ada yang tahu, semuanya akan berakhir begini. Ada yang datang, ada pula yang pergi. Hidup memang merupakan “suatu datang dan pergi yang terus”. Karena itulah, ia selalu menyambung generasi dan membawa angkatan. Mengalami yang ada, meninggalkannya, lalu merindukan yang akan datang. Bermula dari yang sementara, lalu menuju dan menetap pada yang paripurna dan kekal, Sementara itu fana, sedangkan yang paripurna dan kekal adalah tujuan. Ketika itu menjadi sebuah keyakinan, kekekalan lalu menjadi pilihan untuk senantiasa diper¬juang¬kan dalam menata hidup.

Tidak pernah juga ada yang tahu, pikiran ini singgah di benak dan nurani Opa. Begitulah sapaan akrab setiap anggota komunitas Berkhmawan saat berjumpa Romo Domi Balo. Namun, saya yakin sekali, Opa pasti mengangkat sedikit kacamatanya, mengusap-usap kening, mengelus-elus rambutnya yang memutih, lalu tersenyum tanda setuju. Namun saya tahu, matanya pasti lebih terpaut pada kolam Yobermans di hadapan kami. Pada ikan-ikan kerinduan yang menanti taburan bulir-bulir santap siang dari tangan sang Opa.

Tidak pernah saya duga bahwa kolam Yobermans itu telah menjadi saksi berlangsungnya sebuah keyakinan bahwa “hidup adalah suatu datang dan pergi yang terus … tapak-tapak yang menyambung generasi dan membawa angkatan.” Dari Kolam Yobermans, perisai air tempat pijak St. Yohanes Berkhmans, kita bertolak mengikuti jejak-jejak hidup Opa yang masih tersimpan.

Pukul 13.00
Setelah Opa pensiun melaksanakan tugas regular sebagai guru di kelas bagi para seminaris, pukul 13.00 jadi saat unik. Awalnya, saya anggap biasa karena Opa “Pensiun” selalu mengunjungi penghuni kolam. Saudara-saudara ikan(bahasa St. Fransiskus Asisi” sudah menjadi teman akrab Opa. Memang tidak setiap hari saya mengikuti aktivitas Opa yang satu ini. Suatu saat, pukul 13.00, sambil “seret-seret langkah” dengan segelas penuh makanan ikan, Opa melangkah menuju kolam Yobermans, lalu berhenti tepat di belakang patung Orang Kudus itu. Saya mengikuti Opa dan berdiri di sampingnya. Opa tidak segera memberi makan ikan-ikan kesayangannya. Hal pertama yang Opa lakukan adalah bersiul-siul mendendangkan not “do re do re do re” dengan halus beberapa saat. Sementara saya memperhatikan kolam yang sejak tadi tenang dengan sedikit riak kecil. Awalnya, saya pikir Opa sekadar bersiul karena baru selesai santap siang. Ternyata “doredore” yang unik itu, cara Opa mengundang sobat-sobat ikannya santap siang. Riak-riak kolam semakin besar karena ikan-ikan Opa meluncur berebutan makan siang. Tak lama berselang gelas makanan ikan pun kosong, laris manis santap siang bawaan Opa buat sobat-sobatnya. Cukup banyak kali, Opa tidak langsung kembali. Saya dan Opa masih melanjutkan bincang-bicang kami tentang banyak hal.

Saat Opa sudah tidak bisa lagi menemui sobat-sobatnya karena tidak sanggup melangkah karena sakitnya, saya merasa perlu memasuki waktu uniknya “pukul 13”. Gelas pakan ikan saya isi penuh, melangkah ke kolam, lalu berdiri di belakang patung Orang Kudus itu. Seperti Opa, saya mendendangkan “doredore-nya”. “Lihat! Ikan-ikan sobat Opa bermunculan berebutan santap siang, yang saya taburkan sambil terus ber-doredore.”

Persahabatan yang istimewa. Ikan-ikan itu telah menyatu dengan siul – senandung Sang Opa. Taburan kasih sayang Opa telah memberi mereka hidup. Kebiasaan Opa yang indah telah membuat ikan-ikan itu mengenal dan berebutan kasih yang ditaburkan melalui tangan hatinya dengan cinta. Sobat-sobat itu tak akan pernah lagi mendengar senandung “doredore”. Namun, habitus cinta dan persahabatan yang abadi telah menyatu dalam komunitas kolam Yobermans. Riak-riak kecil itu meninggalkan kenangan manis. Pernah terjalin kisah persahabatan Sang Opa dengan ikan-ikannya melalui senandung siul “doredore”-mu dengan tangan yang selalu siap menabur. Selamat jalan OPA. Selamat memasuki kolam abadi bersama Ikan-ikan kerinduanmu akan selalu menanti taburan kasih.

Rm. Alex Dae Laba, Pr

Imam Berbasis Iman

IMAM BERBASIS IMAN

                “…aku percaya, karena itu aku berkata-kata..” (2Kor.4,13), merupakan suatu ungkapan seorang manusia rapuh yang menjadi rasul karena ditangkap oleh Tuhan sendiri. Dalam kerapuhan dan keterbatasannya, kelak kemudian menjadi rasul utusan Tuhan. Ia  menyampaikan  bahwa iman itu adalah harta rohani yang menjadi dasar, kekuatan yang membuat ia mampu mewartakan, menyampaikan kebenaran sejati Tuhan kepada umat Korintus. Dalam kerapuhan dan keterbatasan manusia itu, kekuatan dan kekuasaan Allah menjadi nyata.  Rencana dan kehendak Tuhan yang membuat ia mampu, demikian keyakinan st. Paulus (bdk. Fil, 4,13).

            Mulanya agak sulit mengenal sosok Imam Tuhan yang satu ini: Romo Domi Balo, Pr,  sebatas dibaca dalam daftar Katalogus Alumni Seminari Tinggi st. Petrus Ritapiret atau sebatas ‘kata orang’ tentang beliau. Dalam perjalanan waktu akhirnya tidak cuma mengetahui tetapi lebih dari itu ‘mengenal’ sebagai rekan sekomunitas.

Dalam  putaran pertama,  jilid I  kebersamaan saya dengan Romo Domi Balo, Pr (Agustus 1988 – Maret 1990, masa pelayanan beliau sebagai Praeses Seminari Tinggi St. Petrus Ritapiret, sementara penulis adalah seorang pembina baru di langkah-langkah awalnya)  terlintas kesan bahwa Imam pelayan tertahbis ini, adalah manusia pelayan sedarhana, lugu, tabah, setia dan mencintai tugas. Lebih jauh terlintas juga pelayan tertahbis ini  sedang dengan serius mencari Tuhan dan kehendakNya dalam hidup dan dalam karya pelayanannya. Hidup dan pelayanannya adalah saat untuk mencari Tuhan, seperti yang diungkapkan St. Vincentius a Paolo (Die Zeit Gott zu zuchen, ist dieses Leben). Kehendak Allah terus digali dalam hidup nyatanya, bukan cuma dalam kata-kata pemanis mulut, tetapi dalam tingkah-tindakan hidup, pelayanannya, walau ia harus menghadapi tantangan dari luar diri dan luar komunitas mau pun dari lingkungan komunitas. Semuanya dihadapinya dengan tenang.  Nampaknya beliau sadar bahwa onak dan duri, arus dan gelombang pasti selalu ada di depan mata kita manusia,  namun Tuhan pasti memegang tangannya. Bersama Tuhan dan dengan Tuhan, manusia akan mampu menghadapi segalanya. Tuhan tidak cuma ditemukan dalam situasi serba enak, menyenangkan, tetapi juga dalam situasi batas, keringat dingin, gemetaran dalam tugas karya nyata.

Dalam sebuah permenungan kesempatan rekoleksi komunitas Staf Ritapiret, jelang Prapaskah 1989  ia pernah berujar,  “Allah dapat kita jumpai/kita temukan pada saat kita melaksanakan tugas kita.”  Nafas sesak dalam menghadapi tantangan kesulitan tugas, seorang pelayan tertahbis, tidak boleh membuat kita  melarikan diri dari semuanya itu, tabah dalam tugas, sabar dalam karya (tentu dalam konteks nyata rumah Rita saat itu).  Dalam nada iman  penuh pasrah diri, nyata dalam kata-kata permenungannya itu, ia mengatakan ‘Badai ganas  telah membuat akar pohon semakin kokoh-kuat.’  Akar pohon itu menjadi kuat justru karena Allah yang memberinya kekuatan. Dalam alur pikiran di atas beliau menutup renungan rekoleksi itu dengan kembali menyitir kalimat St. Vincentius a Paolo, “Die Zeit Gott zu besitzen, ist die Ewigkeit,” waktu untuk memiliki Tuhan adalah keabadian/kebangkitan/kebahagiaan abadi.  Hanya lewat Salib dan penderitaan manusia sampai pada kemuliaan kebangkitan. Keringat dan jerih lelah, suka dan duka silih berganti, tidak ada yang ‘gratis’ dalam hidup manusia ini. Lagi-lagi, kalimat ini semua mengungkapkan kedalaman iman seorang imam Allah ini.

            Pada kebersamaan saya dengan beliau – putaran kedua, jilid II,  (di Seminari Menengah St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko: Januari 2006 sampai dengan  Januari 2019,  hari-hari terakhir sebelum ia meninggal), Romo Domi masih tetaplah seperti yang dahulu, masih dalam kemasan warna dasar yang sama. Iman dan keyakinan akan kekuatan kekuasaan Allah tetap menjadi sandaran dan harapan utamanya. Allah adalah akar kekuatan yang menahan terjangan badai hidup.

Romo Dominikus Balo, Pr adalah seorang imam Praja Keuskupan Agung Ende generasi-generasi awal, produk binaan jaman itu yang terbilang sebegitu kuat dan mendalam menanamkan sesuatu dalam hati anak binaan kala itu. Tempaan tangan para misionaris barat rupanya sulit tercabut dari sanubari Romo Domi. Akar iman sebegitu kokoh kuat, walau sayap kebebasan seorang  manusia/pemuda tetap ia menjadi acuan tindaknnya. Beliau, adalah salah satu sosok pribadi imam karena iman, yang  merangkaikan seluruh hidup dan karya pelayanannya sebagai manusia-pelayan tertahbis, yang tekun-setia, mencintai tugasnya karena ia sadar sungguh bahwa ia menjadi imam karena pilihan Allah sendiri.. Dalam rentang waktu jelang emas imamatnya, hidup dan karya sosok imam  yang satu ini telah membenarkan bahwa ia adalah figur pelayan tertahbis yang tekun setia dan manusia dedikatif dan konsisten dalam melaksanakan tugasnya. Imamat yang digapainya bukanlah sebuah usaha manusia pribadinya atau perjuangan sanak-keluarganya tetapi murni karena iman akan  suara panggilan Allah. Imam karena iman.

Justru dalam ziarah pelayanan kepada sesama, ia telah mencari dan menemukan Allah. Dalam  suatu pengabdian tanpa batas kepada Dia yang telah memilih dan memanggilnya. Iman  membara akan apa yang dikehendaki Allah atas dirinya itu membuat selalu terpancar dalam tingkah perbuatannya Romo Domi ‘Homo proponit, Deus disponit’  – Manusia merencanakan tetapi Allah menentukan. Kalimat yang terpampang mantap di depan pintu kamarnya, bukan cuma sekedar tanda bahwa ia adalah seorang guru bahasa Latin yang handal tetapi lebih sebagai ungkapan iman keyakinannya, bahwa manusia merencanakan segalanya tetapi, tapi Allahlah yang menentukan segalanya itu. Suatu ungkapan iman dan pasrah diri kepada taqdir Allah, cuma Allah yang memiliki daya dan kekuatan penentu atas hidup dan karya kita.

Ziarah karya pelayanannya sebagai imam: dari Lembaga Pendidikan Calon Imam baik di Seminari Menengah (di Lela) pun di Seminari Tinggi, kemudian kembali lagi  ke Seminari Menengah (Mataloko), diselangi dengan tugas pelayanan pastoral parokial, tugas pelayanan di Pendidikan Persekolahan, Pusat Pastoral…semuanya merupakan bentuk pelayanan seorang hamba Tuhan yang taat-setia dan mencintai tugas tanpa memilih-milih lapangan/tempat kerja yang sesuai dengan kemauan, selera diri sendiri, tetapi tunduk-taat total kepada kehendak Allah, taat dan setia kepada putusan Pimpinan, demi kelancaran karya pengabdian kepada Allah dan demi kelancaran karya pelayanan kepada sesama.  Kesetiaan dan cinta akan tugas membuat Romo Domi walau usia semakin uzur, ia tidak mau mundur dalam tugas- tugasnya. Usia uzur tidak menghalangi langkahnya menuju ke kelas, sambil duduk membimbing para calon imam Tuhan. Selain itu, pelayanan karya pastoral: pelayanan sakramen tobat/pengakuan, mendengarkan keluhan dan berbagi dari umat yang datang, pelayanan perayaan Ekaristi bagi  orang yang membutuhkannya, tidak ia lewatkan, tetap dan selalu siap, walau di tempat saja…bukti nyata betapa ia mencintai tugasnya…

Hari-hari jelang  emas imamat yang sudah di mata, dalam  keterbatasan seorang anak manusia, ia tetap berpegang teguh pada apa yang telah terpampang di depan kamarnya itu, ungkapan imannya bahwa manusia merencanakan tetapi akhirnya Allahah yang menentukannya. Kini ia sudah berada di garis finish, sambil mengancungkan tangan tanda kemenangan, ia naik podium untuk dikalungi medali kemenangan: Ia telah menjadi Imam Allah dalam Iman sampai akhir hayatnya, ia telah menjadi sahabat Tuhan untuk selamanya. Saat Kematiannya adalah saat ia menemukan dan memiliki Tuhan yang ia imani (Die Zeit Gott zu besitzen, ist die Ewigkeit). Ia sadar bahwa menghadapi hal satu ini, “Kematian,” manusia tidak mampu  mengajukan  protes terhadap kehendak Allah,  Allah tidak bisa disogok, Tuhan tidak bisa disuap untuk meminta tunda, Allah telah menentukan, menetapkan segalanya Kekuatan dan kekuasaan Allah telah menyata dalam seluruh ziarah hidup dan karya sang imam Allah yang memiliki iman tangguh ini.. Homo proponit, Deus disponit.

Rm. Domi: Imam lansia yang milenial

Dalam kebersamaan hidup selama lebih dari 13 tahun di Lembaga Pendidikan Calon Imam – Mataloko ini, dapat saya katakan bahwa Imam Allah yang lansia ini, jangan dikira ia ketinggalan jaman dan tidak memiliki minat terhadap hal-hal aktual-kontekstual.  Ia adalah imam lansia yang milenial, senior yang berjiwa yunior, imam tua dengan semangat dan berwawasan muda. Ia tetap aktif di depan laptopnya untuk menulis sesuatu, entah artikel, renungan, materi bahan ajar (bahasa Latin, atau bahan apa saja).   Suatu pagi jelang siang (sewaktu saya masih Praeses), dalam nada kelakar saya mengatakan, “Ah…romo sibuk sekali ya? Setiap kali saya lewat di depan kamar, Romo selalu asik duduk di depan laptop, jangan terlalu duduklah,… nanti sakit tu, istirahat-istirahat juga toh!…” Dalam nada kelakar juga beliau mengataka, “Setiap kali saya di depan laptop, Praeses lewat…salah siapa. Sebenarnya saya tidak terlalu sibuk,.. siapa suruh lewat dan lihat ke sini…”

Rm. Domi selalu mengikuti gerak perkembangan dunia politik dengan situasi terbaru, baik lewat TV, malajah, pun sarana-sarana media sosial lainnya.   Minat dan perhatiannya terhadap segala perkembangan terbaru tidak ia abaikan, ia tahu: siapa dari partai apa, dukung pasangan  mana, demonstrasi di mana…ia selalu ikuti, selalu terus  ia belajar dan belajar terusss. Program-program terbaru dalam laptop, dengan pelbagai variasi ia pelajari, obat-obat baik herbal pun generic produk-produk terbaru, ia tahu semua…ketika ditanya selalu ia katakan, “Ada di internet tu, obat itu bagus direkomendasikan dan sangat dianjurkan oleh dokter.”  Obat-obat kebutuhannya didatangkan via internet/on line. Segalanya tentu demi mencoba memperpanjang hidupnya. Rencana dan ketetapan Tuhan telah final, akhirnya Tuhan menjemput sang sahabatNya, untuk duduk di sebelah kananNya… Beliau telah tiada, namun contoh dan teladan seorang imam yang beriman kokoh, imam yang tabah setia dan mencintai tugas,.. nasihat dan petuah kaya makna kiranya tetap terpatri dalam hati kami para warga komunitas, para  anak bina-calon imam, semua  keluarga besar Berkhmawan. Selamat jalan! Doa kami untukmu, doamu kami dambakan selalu.  Requiescat in Pace – R I P.

Mataloko, 05 Februari 2019

Rm. Benediktus Daghi, Pr

Jejakmu Tak Pernah Menyeberang

JEJAKMU TAK PERNAH MENYEBERANG
(Mengenang Figur Romo Dominikus Balo)

Betapa tidak mudahnya ketika saya harus memulai menulis sesuatu tentang ROMO Domi Balo, sebagai senior, kakak, dan sahabat dalam imamat. Bukan karena tidak dekat dengannya dalam jarak tempat, jarak rasa, dan kurang mengenalnya. Tetapi terlebih karena alasan ini: saya harus memulainya dari mana dan tentang apa yang harus saya tulis terhadap figur dengan pengalaman karya yang luas, figur dengan latar belakang hidup dan karya hampir sempurna dalam empat generasi peradaban: generasi Orde Lama, generasi Orde Baru, generasi Reformasi, dan generasi Ledakan Teknologi Informasi atau generasi Milenial saat ini dalam setengah perjalanan Romo Domi.

Oleh karena itu, catatan mengenang figur Romo Domi, saya batasi pada lokus kebersamaan di lembaga pendidikan calon imam Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu-Mataloko, di mana Romo Domi berkarya terakhir selama kurang lebih 18 tahun. Dalam konteks karya, peran, dan tanggung jawabnya di lembaga ini, saya melihat Romo Domi, sebagai figur yang sungguh memberi warna bagi pendidikan seminari. Karena itu, ketika saat ini ia harus pergi menghadap Sang Khalik, saya memilih judul di atas: Romo Domi, Jejakmu Tak Pernah Menyeberang, untuk mengenang jejak-jejak kehadiran dan karyanya di lembaga ini.

Ada dua alasan mendasar untuk mengatakannya dengan judul dimaksud. Pertama, Romo Domi dengan karya-karyanya yang spektakuler, yang saat ini menjadi referensi lembaga dan para pengelola dalam membangun pendidikan calon imam. Pada poin ini, terdapat sejumlah hal yang bisa disebutkan.

1. Sesudah perayaan Intan, 75 tahun Seminari pada tahun 2004, Romo Domi menjadi ketua tim penyusun buku Pedoman Pembinaan Calon Imam. Buku pedoman ini, termasuk buku yang sangat lengkap dari segi Isi, Metode, dan Aplikasinya. Karena itu buku ini memuat hal-hal khas Seminari St. Yoh. Berkhmans Todabelu – Mataloko seperti : tentang Nama, Pelindung Seminari, arti Logo Seminari, Visi, Misi, Komitmen, Profil para seminaris sebagai calon peserta bina dan profil lulusan, Asas-asas, Prinsip dan Isi Pembinaan, Materi Dasar Pembinaan, Lingkungan Pembinaan, Pelbagai Komponen Pembina, Pelbagai Sarana Penunjang, serta Peraturan dan Tata Tertib Sekolah dan Asrama.

Buku pedoman dengan isi yang sangat lengkap ini, tercatat di lembaga ini sebagai buku pedoman pertama yang disusun dengan mengadopsi dari berbagai sumber semenjak seminari ini didirikan. Karena itu pada awal pengantar buku ini ia menulis, “Baru untuk pertama kali inilah Seminari kita mengeluarkan sebuah Buku Pedoman Pembinaan Para Calon Imam, sebagai perwujudan kenekatan kita bersama dalam rangka merayakan 75 tahun seminari kita, yang berpuncak pada tanggal 15 September 2004 yang lalu.”

2. Sebagai guru dan pendidik para calon imam yang mengasuh mata pelajaran bahasa Latin, Romo Domi, telah menerbitkan beberapa modul pembelajaran Bahasa Latin. Modul-modul ini dihasilkan dari dasar pengalaman mengelola pembelajaran bahasa Latin, di satu pihak; dan pada pihak lain Romo Domi berkeinginan agar bahasa Latin sebagai bahasa liturgi gereja ini, harus mempunyai tempat khusus di dalam sistem kurikulum seminari dan kurikulum nasional. Karena itu, ketika masih aktif mengajar sampai dengan 4 tahun yang lalu, Romo Domi sangat tidak puas dengan alokasi waktu mengajar Bahasa Latin yang sangat terbatas yaitu dua jam seminggu. Padahal, menurutnya, dan hal ini juga diamini oleh banyak orang yang pernah belajar bahasa Latin, bahasa Latin adalah pemicu membentuk nalar untuk berpikir kritis dan teliti, serta sebagai alat pembentuk humaniora dalam konteks ilmu-ilmu bahasa pada umumnya.

3. Pada Januari 2013, kami menggelar satu kegiatan yang kami sebut “Reorientasi Sekolah”. Disebut demikian karena sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 2003, kami sudah melaksanakan Orientasi Sekolah. Reorientasi sekolah itu pada prinsipnya ingin kembali meninjau sejauh mana kami menghidupi Visi, Misi, dan Komitmen serta bergumul meramu Materi Dasar Pembinaan sesuai dengan dokumen gereja, “Optatam Totius” dan “Presbyterorum Ordinis,” tentang Pembinaan Calon Imam di lembaga pendidikan ini, yang sudah kami bahas dan temukan sepuluh tahun sebelumnya. Kami merasa bahwa setelah sepuluh tahun berada dalam bingkai pendidikan seminari, ada banyak hal yang menguap hilang dalam rutinitas kami mengelola pendidikan. Selain itu, perubahan zaman pada umumnya, dan tuntutan kurikulum nasional pada khususnya, memang menuntut kami untuk menyesuaikan diri demi menjawab kebutuhan subjek bina dan subjek didik.

Berhadapan dengan tuntutan yang demikian, kami mencoba menjawab dalam bentuk dialog tanya jawab di antara kami para formator. Ada yang bertanya tentang tantangan riil yang dialami dan perlu dirumuskan secara konkret sehingga bisa mencari solusi. Ada yang meminta resep manjur apa yang bisa ditawarkan agar pendidikan calon imam tetap aktual, kontekstual, dan selaras zaman. Banyak pendapat yang diajukan saat itu dengan narasi argumentasi yang kuat dan masuk akal. Tetapi ketika tiba saatnya berbicara, Romo Domi merangkum semua pendapat dan berdiri pada jalan tengah untuk menjembatani arus pikiran yang berkembang serta menjaga keseimbangan antara hal-hal baru yang harus diperhatikan dalam pendampingan siswa dengan ketentuan-ketentuan umum pedoman pembinaan calon imam. Untuk tidak mengurangi pendapat asli yang terekam dalam dokumen Reorientasi Sekolah yang dilaksanakan pda tanggal 25-27 Januari 2013, di sini saya mengutipnya apa adanya:

Dua tahun lalu, redaktur majalah Seminari, Florete, datang pada saya dengan sepuluh pertanyaan. Judul umum Florete saat itu adalah “Pendidikan Calon Imam Dalam Arus Globalisasi”. Saya betul heran bahwa anak-anak itu punya pemikiran yang kritis. Mereka kelihatan cemas dengan globalisasi, tetapi di pihak lain mereka ingin agar pendidikan disesuaikan dengan arus globalisasi itu. Saya bergerak dari pemikiran mengenai globalisasi dan menempatkan pendidikan calon imam dalam era globalisasi. Globalisasi adalah arus yang tidak kita ketahui ujung pangkalnya, tetapi menyerbu masuk dan menyerang segala prinsip yang kita pegang. Kelihatan anak-anak itu ingin supaya pendidikan seminari menjawabi arus globalisasi itu. Intinya ialah: kalau kita menginginkan agar pendidikan calon imam itu harus kontekstual, apa konsekwensinya? Apakah kita mengalah dan membiarkan arus globalisasi itu masuk? Saya kira kita harus membedakan yang harus diperhatikan dan dipegang teguh, dan upaya-upaya untuk menjawab globalisasi tanpa mengorbankan prinsip. Untuk pendidikan calon imam, prinsip-prinsip itu adalah berpegang pada Kitab Suci, Pedoman Gereja, dan Ajaran Para Paus. Kalau prinsip-prinsip ini kita lepaskan, kita akan jadi korban dari globalisasi. Apa kontektualisasinya? Pertama, bergegang teguh pada prinsip-prinsip itu. Kedua, kita tidak boleh memenuhi seluruh keinginan anak-anak, misalnya bebas keluar dari seminari, nonton video sebebasnya, bermain play station, dan lain-lain. Ini justru salah. Dikaitlan dengan pertanyaan ROMO Selly mengenai tuntutan dari pemerintah kita: tantangan untuk seminari kita adalah bahwa pendidikan nasional diwarnai gerakan politik pendidikan tertentu, dan banyak kali kita dituntut mengikuti gerakan politik pendidikan itu. Sering peraturan seminari jadi korban karena hal-hal seperti itu. Di banyak seminari lain, anak-anak mengikuti pendidikan umum di sekolah lain, lalu baru ketika pulang ke asrama mereka mengikuti pendidikan seminari. Kita beruntung mempunyai sekolah dan asrama di satu tempat, sehingga pendidikan itu bisa berjalan bersama. Dan karena itu kita masih bisa mendamaikan kedua tuntutan itu, yakni tuntutan pemerintah dan prinsip-prinsip pendidikan di seminari. Semua kita adalah formator. Kita harus betul menjaga agar tidak ada perpecahan antara sekolah dan asrama. Kita harus betul bekerja sama. Di sekolah kita bukan hanya mengajar, tetapi mendidik. Di asrama ada hal-hal praktis yang diperlukan untuk pendidikan para calon imam”.

4. Tidak hanya pada batas memberi pendapat dalam pertemuan yang kami gelar saat itu. Tetapi Romo Domi pun konsekuen, ketika solusi konkret kerja sama, kedisipilinan, tanggung jawab, sebagai nilai yang turut ditemukan untuk membangun kohesi para formator dengan media doa bersama sebelum dan sesudah proses pembelajaran, ia pun siap mengerjakan sebuah Buku Doa dengan tema dan masa liturginya untuk digunakan sehari-hari di lembaga pendidikan ini. Buku doa inipun harus dicatat sebagai yang pertama dihasilkannya selama seminari ini ada dan hidup.

Tentu hal yang harus dimengerti lebih jauh adalah kehendak Romo Domi yang tersembunyi di balik lahirnya buku doa ini, yaitu agar pembiasaan hidup rohani, pembiasaan memberi bobot spiritual dalam setiap kegiatan, harus mendapat tempat pertama dalam setiap aktivitas. Dan persis di situlah suasana ke-seminari-an, tradisi-tradisi lembaga pendidikan calon imam dijaga dan dirawat bersama seluruh komponen.

Pengalaman saat ini, rasanya menarik ketika para guru dan pegawai mengawali dan mengakhiri proses pembelajaran dengan doa di ruang guru, dan para siswa di masing-masing kelas. Terdengar di setiap sudut ruang tempat dan ruang hati bergema lagu pujian dan doa hormat bakti kepada Allah di tempatNya yang tinggi seperti yang dilantunkan dalam Kitab Mazmur ini, “Pujilah Tuhan di surga, pujilah Dia di tempat yang tinggi. Pujilah Dia, hai segala malaekatNya, pujilah Dia hai segala tentaraNya. Pujilah Dia hai matahari dan bulan, pujilah Dia hai segala bintang terang! Pujilah Dia hai langit yang mengatasi segala langit, hai air yang di atas langit. Baiklah semuanya memuji nama Tuhan, sebab Dia memberi perintah, maka semuanya tercipta”(Mzr 148 : 2- 5).

Kedua, Romo Domi adalah figur teladan pemimpin, tempat saya belajar. Sebagai orang yang saat ini diberi kepercayaan memimpin lembaga ini, terkadang saya mengalami kebuntuan berpikir dan bertindak untuk sesuatu yang butuh kecepatan beraksi. Biasanya saya menggunakan forum pertemuan staf Pembina untuk urung rembuk. Tetapi untuk memastikan cara beraksi yang tidak berdampak negatif, saya berkonsultasi kepada sang sepuh dengan segudang pengalaman dan wawasan yang luas. Dengan itu saya bisa katakan bahwa kehadiran figur sepuh seperti Romo Domi, adalah kehadiran yang meneguhkan dan memberi kepastian untuk mengurai benang kusut permasalahan.
Selain pengalaman dan wawasan yang luas, Romo Domi juga, menjadi tempat saya bercermin tentang ketekunan dan kesetiaan dalam membina imamat. Seandainya Tuhan berkenan memberinya umur yang panjang lebih dari sekarang, di tahun 2020 nanti, bersamanya kita merayakan pesta emas 50 tahun imamatnya. Emas imamat dalam hitungan waktu memang tidak tercapai. Tetapi kebertahanan dalam imamat sampai maut menjemput, itulah nilai emas dalam kesetiaan.

Ketekunan dan kesetiaan yang lain ialah dengan membina disiplin belajar terus menerus, belajar yang tidak pernah berhenti. Ia sangat disiplin mengembangkan diri dengan wawasan yang luas sehingga tidak pernah terasa ia ketinggalan zaman dalam perspektif pastoral sosial politik, ekonomi, dan budaya. Dalam hal ini, Romo Domi, bisa menjadi “narasumber” tersendiri ketika kami berkomunikasi dan berdialog di meja makan. Ia sepertinya sungguh menghayati aksioma Latin yang menjadi bidang kompetensinya, “Ama disciplinam, et disciplina tibi qualitatem praebet” (Cintailah kedisiplinan, maka kedisiplinan akan memberikan anda suatu mutu).

Selamat jalan sang sepuh, guru, dan sahabatku dalam imamat. Kini kau berdiri di tepian waktu untuk menegaskan bahwa kau memang pergi, tapi jejakmu tak pernah menyeberang. Di sini geliat karya dan pelayananmu menyatu dalam harumnya “mawar putih,” lagu kebanggaan laskar Berkhmawan.

Rm. Gabriel Idrus

English Room, Moveable Classroom

Jurnalisme Siswa

English Room,

Moveable Classroom

 

English Room a­dalah salah satu tempat yang paling digemari se­minaris. English Room adalah mo­veable classroom karena pada saat kita belajar kita bebas begerak, tidak terpaku pada kursi. English Room memang kelas tanpa kursi.

Di English Room ke­giatannya menarik, ka­rena penuh permainan, musik dan gerak. Di sana juga, kami sering teng­gelam dalam laptop masing-masing. Kata RD. Nani Songkares, peng­­gagas English Ro­om, tempat ini adalah self-access Centre, tem­pat kami bebas me­ngembangkan diri.

English Room di­kem­­bangkan pertama kali pada tahun 1999. Lokasi  per­tama English Room ber­ada di Unit C, sebuah kom­­pleks ba­ngunan khu­­sus untuk para pem­bina. Ruang itu sekarang telah dialihkan men­jadi ruangan BK yang baru, sebelah barat kompleks SMP, di sam­ping kapela SMP.

Tahun 2000/2001 Eng­lish Room dipindah­kan ke sebelah utara ka­mar makan. Ruangan  i­tu dulunya adalah pang­gung, kemu­dian men­jadi ruangan kelas KPB, sebelum menjadi Eng­lish Room. Di sebe­lah utaranya ada kamar RD. Nani. Dulunya tem­pat itu adalah gudang penyimpan alat-alat ke­se­nian, atau Sanggar Artes. Sekarang Eng­lish Room berusia 18 ta­hun.

Alasan didirikannya  English Room adalah  karena pada waktu RD. Nani bekerja pertama kali di Seminari, Bahasa Inggris menjadi pela­jaran yang menakutkan bagi para siswa, dan nilai Bahasa Inggris dari tahun ke tahun rendah.

Karena hal inilah Rm. Nani dan guru-guru bahasa Inggris berpikir untuk mendirikan Eng­lish Room, semacam pu­sat pengembangan baha­sa Inggris, atau labo­ratorium bahasa di Se­minari. Sejak saat itu memang  siswa Semi­nari semakin termotivasi belajar Bahasa Ing­gris, bermain dan berkreasi dengan bahasa Inggris. Banyak kegiatan diran­cang di tempat ini: Eng­lish Night, Berchmawan News, English Club, Eng­lish Camp, dan lain-lain. Banyak siswa me­mandang bahasa Ing­­gris a piece of cake,  ar­tinya gampang dan enak se­perti sepotong kue. “Ba­nyak yang jatuh cinta dengan bahasa Ing­gris,” ujar RD. Nani. Bahkan, untuk siswa SMA, Eng­lish Room adalah zona bahasa Inggris. Artinya, kalau mereka datang ke ruangan ini, mereka wajib berbicara bahasa Inggris.

English Room ini banyak fungsinya. Ba­nyak siswa belajar ba­hasa Inggris di sini, tapi juga ada kegiatan-ke­giatan lain, seperti ke­giatan Osis, pertemuan-pertemuan, juga kegiat­an jurnalistik SMP dan SMA dengan format ‘Kompas’.

Usaha RD. Nani di­bantu oleh teman-te­man dari Ja­karta dan pa­ra relawan. Ada banyak sum­­bangan  pa­ra rela­wan buat Eng­lish Room ini. Contoh­nya, karpet, lemari 3 buah, LCD ser­ta la­yarnya, laptop dan ma­sih banyak lagi. Se­mua­nya ini mahal na­mun orang dengan tulus hati menyumbang demi ke­pen­tingan calon i­mam.


Kegiatan di English Room tidak hanya di­khu­suskan bagi siswa seminari, tetapi juga siswa dari sekolah lain. “Kami senang be­lajar di English Room. Ka­mi belajar dengan be­bas, dan cepat menger­ti,” ungkap Nona Rego, se­orang siswi Kartini. Hal serupa disampaikan te­man-teman lainnya da­ri Kartini. “Kami tidak canggung bicara dengan orang lain, kami merasa lebih percaya diri”, ujar Juan Ndona, siswa kelas IX. Siswa bergerak bebas karena English Room itu moveable.

Yohan Tongo – Kelas IX

Kamar Mandi, Memupuk Kemandirian dan Kebersamaan

Jurnalisme Siswa

Kamar Mandi, Memupuk

Kemandirian dan Kebersamaan

Kebersamaan dan kemandirian dapat manusia pupuk dalam berbagai aktivitas dan tempat, termasuk di kamar mandi.

SMP Seminari Ma­taloko mem­punyai Ka­m­ar mandi yang besar dan lebar sebab me­miliki siswa yang ba­nyak. Kamar mandi ini terletak  di  samping k­a­­­­­­­­­­­­­­mar lama Rm. A­lex­ander Dae Laba se­laku pe­­­­­­­mbina.  Rm ini bi­a­sanya mengurus air di ka­mar mandi. Ia me­latih kami untuk ber­hemat.

Di kamar mandi SMP, para seminaris me­laku­kan banyak kegi­at­an. Me­­­­­­reka  mencuci pakai­an, mandi, dan membagi ce­rita. Semua kegiatan itu, dilakukan pada wak­­tunya.   Me­­n­cu­ci pa­­­k­a­i­an juga ada wa­k­tu­nya, yakni setiap hari Rabu, Sabtu, dan Ming­gu. Hari-hari ini p­un dibagi lagi. Kelas VII setiap hari Rabu si­ang saat tidur siang, se­dang­kan hari Sabtu siang untuk kelas VIII dan kelas IX. Hari Minggu berlaku umum un­tuk  semua siswa SMP. Pada hari Minggu, bi­asanya men­cuci pa­kaian setelah studi pagi. Pada hari-ha­ri inilah para semi­naris berlatih man­diri dan me­­mupuk kebersa­maan atau tali persau­dara­an.

Pada hari Rabu siang dan Sabtu siang para seminaris harus mencuci dalam keadaan diam, sebab itulah wa­ktu he­ning (sillentium). Para se­mina­ris yang mencuci pa­kaian haruslah men­jaga kebersihan. Mereka di­la­rang bu­ang sam­­pah di­­ sem­ba­rang tem­pat, se­perti got-got se­bab dapat mengakibat­kan sa­­luran tersumbat se­hingga air akan melu­ap. Ge­nangan air dapat men­­jadi sarang jen­tik nya­muk dan me­nim­bulkan aroma yang tidak enak.

Pada saat mencuci pa­ra seminaris dilarang mem­­bawa sa­bun ke da­lam toilet. Apa lagi men­­­jatuhnya ke dalam kloset. Tindakan itu me­nyum­bat saluran kloset. Se­lesai men­­­­­­­­­cuci pa­ka­ian, para seminaris men­jemurnya di je­muran, di samping unit C. Jika je­muran pen­uh, para se­minaris dapat me­njemur pakaian di depan kamar tidur. Ka­mar jemur di­bagi dalam 3 tempat, yaitu di sa­mping unit C, di bela­kang aula, dan di sam­ping kamar yang lama.

Selain men­cuci pa­kai­an, ka­mar mandi juga menjadi te­mpat mandi. Para seminaris dilarang ribut saat mandi agar cepat selesai dan tidak memboroskan air. Na­mun, kebanyakan se­mi­naris me­langgarnya. Pa­da wa­k­tu itulah para seminaris membagikan peng­ala­ma­nnya.

Selain itu, pada saat ma­n­­di sem­inaris dila­rang mem­b­u­ang sa­mpah di sem­ba­rang te­mpat, khu­s­usnya dalam bak mandi. Se­minaris harus men­jaga ke­ber­sihan ka­mar man­di karena ka­mar ma­ndi adalah tem­pat  yang selalu di­kun­jung oleh se­mi­naris.

Kamar m­a­­ndi memi­liki 2 deret  bak be­­sar untuk ke­perluan cuci dan man­di para se­mi­na­ris. Para seminaris ju­ga mem­punyai ke­wajib­an un­tuk mem­bersihkan ka­­­­­­mar ma­­ndi dan toilet. Namun, bukan semua se­minaris me­m­bersih­kan­­nya. Ada kelompok yang diperca­yakan un­tuk mem­ber­sih­­kannya. Kelompok u­ta­­ma yang mem­ber­sih­kan kamar mandi ia­lah seksi toilet.  Me­reka mem­­ber­sih­kan­nya se­tiap hari Rabu dan Sab­tu se­telah bangun ti­dur. Ta­hap awal yang me­reka la­­kukan adalah me­nyi­ram lantai de­ngan a­ir, la­­lu me­nyikat lantai sam­­pai bersih. Semua pe­­­ker­j­a­­an ini se­lesai pu­kul 15.45. Sebagai­ma­na bia­sa, keadaan ka­mar wc dan ka­mar m­andi tam­­pak sangat ber­sih. Se­mua ini di­lakukan siswa di kamar man­­di se­cara bersama. Se­mi­naris gem­bira ka­re­na pe­ker­ja­an ini dila­ku­kan  ba­­gi ke­­pentingan ber­sa­­ma.

Rino Nanga

Kelas VIII A

Rekoleksi: Momen Pembaharuan Komitmen

Rekoleksi: Momen Pembaharuan Komitmen

Jelang Perayaan Puncak Dies Natalis ke-89

 

Tiga hari menjelang perayaan puncak Dies Natalis ke-89, Seminari Mataloko  menyelenggarakan rekoleksi komunitas (12/09/2018). Rekoleksi menjadi momen yang istimewa bagi segenap anggota komunitas guna memaknai hari-hari persiapan menjelang perayaan puncak 15 September mendatang.

Ketua Panitia Pesfam 2018, RD. Beny Lalo dalam kata pengantarnya, menyebutkan bahwa rekoleksi bukan sekadar menjadi bagian dari rangkaian perayaan Pesfam (Pesta famili) melainkan lebih dari pada itu, menjadi hari yang istimewa untuk merenungkan tugas dan tanggung jawab masing-masing anggota komunitas “Dari sekian banyaknya  hari yang kita habiskan untuk pertandingan dan perlombaan, hari ini menjadi hari yang spesial bagi kita untuk bermenung sepanjang hari,” tegasnya.

Kegiatan rekoleksi diawali dengan adorasi bergilir  dari beberapa kelompok kelas yang dimulai dari pukul 06.30. Di sela-sela adorasi, pada pukul 08.00-09.15, semua anggota komunitas yang terdiri atas para imam, suster, frater, guru dan pegawai serta seminaris SMP dan SMA mengikuti renungan dan sharing yang dibawakan oleh Romo Praeses, RD. Gabriel Idrus di Kapela St. Alfonsus Maria de Liguori, Kapela SMA Seminari.

Adapun RD. Idrus pada tahun ini merayakan Perak, 25 tahun Imamatnya. Momen Dies Natalis ke-89 pada tahun ini menjadi kian semarak lantaran adanya perayaan perak imamat Romo Praeses. Rekoleksi pada hari ini bernaung di bawah tema umum Pesfam 2018 yakni “Menabur kasih menuai panggilan”.

Napak Tilas Panggilan Sang Gembala

Romo Idrus mengawali rekoleksi dengan mencoba kembali bernapak tilas, melihat ke masa-masa awal ketika panggilan hidup menjadi imam mulai bertumbuh. “Keinginan untuk menjadi imam hanyalah keinginan kecil dari sekian banyak keinginan yang ada ketika saya berada di bangku Sekolah Dasar,” demikian Romo Idrus mengawali kisahnya.

“Keinginan itu tumbuh tatkala menyaksikan pastor Paroki Lela dan pastor misionaris Belanda lainnya duduk bersama di pastoran Paroki Lela. Selain itu, kontak dengan imam pribumi dan kehadiran Para Frater dari Ritapiret dan Ledalero juga membangkitkan rasa senang saya terhadap mereka. Kehadiran para Frater menjadi kesempatan bagi kami yang masih kanak-kanak untuk menyaksikan orang-orang hebat di lapangan bola kaki, lapangan bola voli dan basket. Selain itu, keterampilan memainkan drama dan alat musik menjadi daya tarik tersendiri bagi saya yang pada saat itu masih kecil. Akan tetapi, setelah menamatkan pendidikan SD saya berniat untuk melanjutkan pendidikan di SMEP (Sekolah Menengah Ekonomi Pertama) selain karena belum ada niat masuk seminari juga karena sang ayah tidak setuju karena sebagaimana pendapat umum, sekolah di seminari itu mahal. Namun, karena didesak oleh Wakil Kepala Sekolah, bapak mengiyakan saya untuk masuk seminari.”

Begitulah awal kisah panggilan Sang Gembala ketika mulai memasuki kehidupan sebagai seorang seminaris. Dalam refleksinya, Romo Idrus menginsafi bahwa sesungguhnya keluarga mempunyai pengaruh yang cukup besar di awal panggilannya. Jawaban yang sederhana itu ternyata mempunyai konsekuensi yang besar bagi dirinya pribadi dan bagi keluarganya. Banyak hal yang berubah ketika ia mulai masuk ke seminari dan ketika ia perlahan-lahan mulai menapaki ziarah sebagai orang yang terpanggil hingga menjadi seorang gembala yang telah berziarah selama 25 tahun dalam tapak Imamat.

Panggilan Imamat sebagai Rahmat dan Tanda Keselamatan

Imamat bagi Romo Idrus pertama-tama adalah rahmat Allah yang menyelamatkan bahwasannya, cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam dirinya dengan segala keberadaannya sebagai seorang manusia. Merefkleksikan keselamatan Allah yang telah lama dimulai ini, Romo Idrus mengambil inspirasi dari sosok Nabi Yeremia. Seperti Allah mengenal Yeremia dengan segala keberadaan dirinya bahkan sejak Yeremia berada dalam kandungan ibunya dan dalamnya karya keselamatan Allah terlaksana, demikianpun cara keselamatan Allah telah lama dimulai dalam diri Romo Idrus. Keselamatan Allah nyata dalam diri pribadi yang terpanggil.

“Bagi seorang imam, imamat sebagai rahmat yang menyelamatkan bukan hanya tejadi dalam diri orang yang dilayani melainkan pertama-tama terjadi dalam dirinya sebagai orang yang terpanggil. Sebab bagaimana mungkin ia dapat menghayati tritugas panggilan Kristus sebagai imam, nabi dan raja kalau ia tidak merasa ada rahmat keselamatan dalam panggilan hidupnya. Kesadaran akan rahmat Allah yang menyelamatkan terasa nyata dalam panggilan saya sebagai imam dan bahkan rahmat itu menjadi nyata dalam pengalaman dilematis.”

Imam kelahiran 24 Maret 1965 ini menambahkan bahwa rahmat Allah bekerja di saat-saat yang tepat dan rahmat itulah yang membawa keselamatan bagi dirinya sendiri dan bagi orang yang dilayaninya. Karena itu, dalam tugas pengabdiannya sebagai seorang gembala, ia mempunyai prinsip yakni menempatkan karya pelayanan imamat di atas kepentingan keluarga. Menjadi imam berarti menjadi pribadi yang lepas bebas dari berbagai ikatan. Prinsip inilah yang selalu dipegang teguh ketika ia berhadapan dengan pengalaman dilematis yang memaksanya untuk mengambil keputusan dengan cepat.

Romo Idrus percaya bahwa ketika menjadi pribadi yang lepas bebas, maka ia akan mendapatkan banyak saudara seperti sabda Tuhan dalam Injil. Pengalamanan pengembaraan 25 tahun imamat sudah menunjukkan bahwa Sabda Tuhan dalam Kitab Suci itu hidup, nyata dan berdaya guna “Tuhan selalu punya cara dan bahkan di saat-saat yang sulit dan tak ada harapan sekalipun, sabda Tuhan menjadi nyata,” demikian imam yang mengambil moto imamat dari Sir. 42:15 ini melanjutkan refleksi imamatnya.

Bertahan dalam Pelayanan Kasih

Imamat menurut RD. Idrus adalah jabatan dan profesi yang mengedepankan pelayanan kasih. Dengan ini hendak ditunjukkan wajah personal dan sosial dari sebuah karya pelayanan. Ketika merayakan Kurban Ekaristi dan sakramen serta hadir dalam karya pelayanan kasih, imam hadir dalam dua wajah yaitu personal dan sosial. Karya pelayanan inilah yang dihidupinya dalam hidup imamatnya.

Lebih lanjut, Romo Idrus membagikan tiga hal pokok yang membuatnya setia dan bertahan selama 25 tahun dalam hidup imamatnya. “Seandainya ditanya, apa yang membuat saya setia dan bertahan hingga usia perak ini, maka saya akan menjawab, pertama-tama adalah selalu berusaha membangun hidup rohani yang baik melalui doa, ibadat dan Ekaristi. Lalai dalam melaksanakan hal ini akan menimbulkan rasa cemas dari dalam diri dan saya bersyukur atas rasa cemas yang kudus ini. Kedua, kesadaran akan keseimbangan antara ora et labora. Doa dan bekerja bagi saya adalah mata rantai yang mengikat imamat. Kata Aristoteles, musuh kehidupan rohani yang baik adalah terlalu banyak melakukan sesuatu. Jika saya hanya bekerja dan lupa berdoa, atau menggantikan doa dengan kerja, apa bedanya saya yang imam dengan para pekerja sosial. Ketiga, selain karena kekuatan Allah, saya juga percaya pada kekuatan manusia yang adalah sahabat dan rekan kerja saya. Saya percaya bahwa masing-masing orang adalah pribadi yang unik dan karena itu, saya selalu berusaha sedapat mungkin menghindari kerja sendiri dan lebih mementingkan kerja tim.”

Sebagai seorang imam, Romo Idrus berusaha untuk menghidupi spritualitas hidup Yesus sendiri yang selalu menyeimbangkan antara doa dan bekerja. Bekerja keras tidak boleh sampai melupakan doa demikianpun sebaliknya, doa yang tekun jangan sampai mengabaikan waktu kerja. Doa dan bekerja harus berjalan seimbang. Itulah perisai yang menjaga tubuh imamat tetap bertahan hingga seperempat abad ini.

Menabur Kasih, Menuai Panggilan

Di akhir rekoleksinya, Romo Gabriel Idrus mencoba merefleksikan tema Pesfam 2018, Menabur kasih Menuai Panggilan. “Jika yang menabur kasih di tempat ini adalah para pembina, guru dan pegawai maka yang menuai panggilan pada akhirnya adalah orang tua, masyarakat dan Gereja. Bagi saya, yang menabur kasih dan yang menuai panggilan adalah kita semua yang dengan caranya masing-masing turut memberi warna pada setiap proses formasi yang ada di Seminari St. Yohanes Berkhmans Mataloko ini,” demikian katanya.

Ada beberapa refleksi sederhana yang kiranya diberikan seandainya yang dimaksudkan dengan penabur dan penuai adalah semua anggota komunitas Seminari Mataloko. Pertama, Semua anggota komunitas harus aktif dan bukan menjadi pribadi yang pasif. Itu berarti adalah tidak ada komponen yang lebih tinggi dari yang lain. masing-masing orang menabur dengan penuh tanggung jawab sehingga produk yang dihasilkan betul-betul bermutu dan pada akhirnya, banyak orang yang mencarinya.

Jika Proses formasi di seminari Mataloko adalah proses menabur maka produk yang bermutu harus dapat dihasilkan pada tahun-tahun mendatang sebab wajah Gereja 30/40 tahun mendatang berada di pundak-pundak semua komponen baik sebagai  formator maupun formandi. Untuk itu perlu ada rasa optimisme yang tinggi bahwasannya, masing-masing pihak adalah pribadi yang besar untuk sebuah karya besar bukan sebaliknya merasa diri kecil dan tidak layak untuk sebuah karya besar. Karena itu, menabur kasih, menuai panggilan tidak akan berarti jika tidak ada kesungguhan dan tanggung jawab serta rasa sakit dan bahkan korban nyawa seperti Yesus yang telah mengorbankan nyawanya.

Kasih Yesus dalam karya pelayanan mestinya menjadi contoh kasih yang kita tabur, sebab, kataNya, “Tidak ada kasih yang lebih besar dari pada kasih seorang sahabat yang memberikan nyawanya bagi sahabat-sahabatnya.” Setiap anggota komunitas diajak untuk mencari kasih yang sempurna dalam pengalaman hidupnya masing-masing.

Hening dalam Doa dan Refleksi

Rekoleksi yang berlangsung sepanjang hari ini diwarnai dengan suasana hening. Seminaris diundang untuk berdiam dalam doa dan refleksi di hadapan Sakramen Maha Kudus. Doa menyadarkan seminaris untuk menyadari hakikat panggilannya sebagai pribadi pendoa sementara refleksi menjadikan mereka pribadi yang bijak dengan melihat diri dan pengalaman hidupnya. Staf Liturgi OSIS membagi kelompok kecil untuk kemudian beradorasi secara bergilir hingga pukul 18.00. Seluruh rangkaian rekoleksi pada hari ini ditutup dengan adorasi bersama di Kapela SMA Seminari. Adorasi penutupan dipimpin oleh RD Bene Baghi.

Akhirnya, suasana khusuk dalam doa memampukan seminaris dan para formator guna menelusuri pengalaman hidup masing-masing dalam melaksanakan tema menabur kasih, menuai panggilan. Pasca adorasi penutupan, rutinitas harian seminaris kembali berlangsung seperti biasa.

Fr. Deni Galus, SVD

MEMILIH TONTONAN YANG EDUKATIF, BAGIAN DARI IMAN

(Lembaga Sensor Film Kunjungi SMA Seminari Mataloko)

 Film bukan hanya sekadar tontonan, lebih dari pada itu, film menjadi sarana ampuh guna menuntun diri pada kebaikan. Film seharusnya menjadi tuntunan dan bukan hanya sekadar bahan tontonan.

SMA Seminari Mataloko dikunjungi tiga tamu istimewa dari daerah ibu kota, Jakarta, Sabtu (28/7/2018). Mereka adalah Drs. Imam Suhardjo, HM, M.IKom,  Dra. Albina Anggit Anggraini, SH, dan Ana Yugo Prasetya, SH, utusan dari Lembaga sensor Film (LSF) Indonesia, yang datang untuk mensosialisasikan “Budaya Sensor Mandiri di Kalangan Pendidikan”.

RD. Beny Lalo dalam sapaan awalnya mengungkapkan terima kasih kepada tim LSF yang sudi memilih Seminari Mataloko menjadi lembaga pendidikan pertama di Flores yang dikunjungi. “Saya belum pernah mendengar sebelumnya bahwa LSF pernah datang berkunjung ke salah satu tempat di bumi Flores. Karena itu, mewakili pimpinan Seminari Mataloko, saya mengucapkan selamat datang dan terima kasih karena telah memilih Seminari Mataloko menjadi  tempat pertama yang dikunjungi,” ungkapnya. Lebih lanjut, RD Beny Lalo, menjelaskan gambaran umum sekolah Seminari Mataloko dan jumlah seminaris yang ada sekarang.

Mengenai entusiasme seminaris dalam mengikuti kegiatan ini, terpantau bahwa animonya sangat tinggi, terbukti ruangan yang disiapkan sesak dipenuhi seminaris mulai dari KPB Hingga kelas XII. Hadir pula dalam kegiatan ini para frater TOP pendamping dan RD. Nani Songkares

Film: Tontonan atau Tuntunan

Penting bagi Masyarakat Indonesia untuk memilah dan memilih film mana yang layak untuk ditonton sebab pasalnya tidak semua konten dalam film layak dikonsumsi khalayak dari semua kategori usia.

Imam Suhardjo, Ketua Komisi 1 Lembaga Sensor Film, menjelaskan bahwa terdapat beberapa konten dalam film yang tidak layak ditonton dan karenanya harus disensor oleh LSF Indonesia. Konten yang dilarang umumnya sarat akan pornografi, kekerasaan/judi/narkoba, provokasi SARA, pelecehan nilai-nilai agama dan yang merendahkan martabat/harkat manusia.

Ia menambahkan, sebagai tanda layak beredar, semua film yang ada di tanah air, pertama-tama harus mendapat Surat Tanda Lulus Sensor (STLS)  dari Lembaga Sensor Film Indonesia. Karena itu, ia memberi awasan agar hanya menonton film yang telah memperoleh surat izin. Sensor atas film menjadi sangat urgen dengan tujuan agar konten dalam film tidak bertentangan dengan ideologi Pancasila dan UUD 1945, tidak menunjukkan perbuatan yang tercela, tidak melakukan perbuatan melawan hukum dan tidak merusak kerukunan hidup antarumat beragama di tanah air.

Bapak Imam menyadari bahwasannya, pribadi-pribadi yang menangani Sensor Film tidak pernah luput dari kesalahan. “Mengingat kami yang bekerja di LSF bukanlah pribadi yang sempurna, dan karena itu, ada beberapa materi dalam film yang tidak sempurna untuk disensor, maka saya mengajak insan muda sekalian untuk menggalakkan usaha sensor mandiri,” jelasnya.

Adapun kegiatan sensor pribadi amat mengandalkan kedewasaan pridadi dan kelompok dalam memilih film yang layak ditonton. Sensor pribadi menjadi sangat penting mengingat tidak semua film yang tersebar di dunia virtual telah disensor oleh Badan Sensor Film Indonesia. Dengan melakukan sensor pribadi, maka film bukan sekadar menjadi bahan tontonan melainkan materi tuntunan khususnya bagi anak-anak dan remaja.

Sosialisasi yang Komunikatif lagi Inspiratif.

 Imam Suhardjo, sebagai pembicara utama dalam sosialisasi kali ini, mengajak seminaris untuk berpikir dengan menjawabi beberapa pertanyaan yang disodorkan. Ajakan ini ditanggapi dengan antuasiasme yang luar biasa dari para seminaris. Tak sedikit dari mereka mengacungkan tangan dan beberapa kali menjawabi pertanyaan yang disodorkan. Setiap jawaban yang benar diberi hadiah berupa gelas dan payung yang bertuliskan LSF.

 “Saya tertarik untuk menjawabi pertanyaan karena mau mendapatkan hadiah yang menarik. Siapa tahu saya bisa dapat gelas atau payung,” sela Yones, seminaris kelas XI IIS di sela-sela  pertemuan.  Suasana dalam ruangan pertemuan menjadi kian riuh ketika banyak seminaris yang “berebutan” menjawab pertanyaan yang diajukan  Imam. Pada kesempatan yang sama, beberapa seminaris mengajukan pertanyaan perihal LSF dan kiprahnya di tanah air.

Imam, Albina, dan Yugo mengapresiasi semangat yang luar biasa ini. Para seminarispun mengapresiasi materi yang disiapkan dan jalannya sosialisasi. “Bagi saya, kegiatan sosialisasi kali ini begitu menarik selain karena materinya yang bagus, cara penyampaiannya pun  beda sehingga tidak membosankan,” kata Firmus, seminaris kelas XII IIS. Firmus juga menambahkan bahwa pembicara kelihatannya sangat energik dan energi yang sama mengalir kepada audiens sehingga meskipun sudah malam, mereka tidak mengantuk.

Sosialisasi Sensor Film Mandiri pada akhirnya,  menyadarkan seminaris agar lebih selektif lagi dalam memilih tontonan dan memastikan bahwa tontonan (baca: film) sudah mendapat Surat Tanda lulus sensor dari LSF sebab memilih tontonan yang baik adalah bagian dari kedewasaan iman.

 Edukasi Melalui Film

 Film yang baik adalah film yang berdaya edukatif. Tidak semua film memilki daya seperti ini. Karena itu, di akhir pertemuan, kepada audiens,  ditayangkan sebuah film inspiratif yang diangkat dari keutamaan budaya NTT yang amat menjunjung tinggi nilai toleransi agama. Film yang dibintangi oleh aktris ternama Laudya Cintya Bella itu berjudul “Aisya, Biarkan Kami Bicara.”

Film ini berdurasi lebih dari satu jam dan  mengisahkan Aisya, seorang guru Muslim yang berkarya di sebuah daerah terpencil di NTT. Perjuangan Aisya untuk meyakinkan masyarakat setempat akan nilai agama yang memersatukan dan kerelaan masyarakat untuk menerima Aisya yang berbeda sebagai saudara mereka, menjadikan film ini menarik dan sarat emosi, “Aisya adalah gambaran tokoh Muslim yang solider dan sosok yang inspiratif. Dari Aisya saya belajar bagaimana kasih yang tanpa pamrih, mengasihi bukan karena orang lain sama melainkan karena ia berbeda dari saya. Kasih menjadi pesan yang kuat yang saya dapat dari film ini,” aku Bryan, Ketua OSIS SMA Seminari Mataloko.

Film ini mengajarkan bahwasannya keberagaman agama di Indonesia adalah kenyataan yang terberi. Manusia Indonesia entah itu orang Jawa ataupun orang NTT, entah itu Muslim atau Kristiani, tiada bedanya. Semua rakyat Indonesia sama dan bersaudara. Film “Aisya Biarkan Kami Bicara” menjadi prototipe dari film Indonesia yang berdaya edukatif. Masyarakat Indonesia dan siswa seminari Mataloko khususnya harus berani mengambil sikap untuk memilih bahan tontonan yang mendidik seperti ini. Mengingat arus komunikasi dan internet yang semakin tak terkendali, maka sensor mandiri menjadi hal yang mutlak diperlukan insan intelektual lagi beriman dewasa ini.

Di penghujung pertemuan, pihak LSF memberikan cinderamata berupa buku Bunga Rampai 100 Tahun Sensor Film di Indonesia. Memasuki Abad Kedua, plakat dan sertifikat kepada lembaga seminari sebagai tanda terima kasih atas kerja sama yang baik demi terselenggaranya sosialisasi malam hari ini. Selain itu kepada seminaris diberikan juga buku panduan Sensor Film Mandiri sebagai pedoman literasi film.

Fr. Deni Galus, SVD