HEBOH RAZIA RAMBUT, NELSON TEKU: “SAYA SIAP MELAYANI”

Feature  – Edgar Sebo

Wee, Senin nanti ada razia rambut.”

“Mati eee, main razia semua ni. Gunting rambut su.

Eee, aman sa….Pak Enso doang kok.”

Begitulah isi gosip yang sering saya dengar setiap kali Pak Enso Feto, Guru Geografi SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu mencanangkan razia rambut. Ada siswa yang segera memangkas rambutnya. Ada juga yang malah tidur-tiduran tanpa beban. Adalah sebuah kemunafikan, jika saya menganggap enteng “program” guru saya yang satu ini.

Siang itu, saya dan empat teman saya sedang belajar Fisika bersama Guru Fisika kami, Ibu Themi Woghe di Lab Fisika. Atmosfer pelajaran yang membosankan seketika pecah, ketika seorang siswa masuk lab dengan sopan, hendak menyampaikan sesuatu.

“Saya ingin bicara dengan Ibu Themi”, ujar siswa yang ternyata adalah Gilang By, siswa kelas XII C. Setelah cukup lama berproses bersama Ibu Themi, Gilang tidak langsung meninggalkan ruangan. Malah dia berdiri tegak bagai orang yang lupa cara berjalan.

Hee By, kenapa tidak keluar?”, tanya Ibu Themi dengan nada yang agak tinggi. “Ibu”, mulainya pelan. “Pak Enso sedang razia rambut.”

Kami panik. Rambut kami panjang. Sayang sekali jika rambut yang kami rawat, basuh dengan shampoo, dan minyaki setiap hari dipotong begitu saja. Benar, Pak Enso sedang menjalankan “ritualnya” di kelas XII C.

Para siswa yang tak dapat melarikan diri lagi dipaksa untuk duduk di kursi mereka masing-masing. Mereka pasrah. Sementara itu, Pak Enso asyik memangkas rambut mereka. Rambut mereka ditarik-tarik, lalu dipangkas dengan clipper.

Sadisnya, rambut mereka tidak dipangkas secara rapi. Ada yang nyaris botak, setengah botak, boteng (botak tengah), dan model-model absurd lainnya. Sembilan siswa menjadi korban kelaliman Pak Enso siang itu.

Satu per satu siswa kelas XII C meninggalkan ruangan kelasnya sambil memegang-megang dan menutupi kepala mereka, karena malu dilihat orang.

Grand Tuwa hanya bisa pasrah saat Pak Enso memangkas rambutnya hingga berlubang-lubang. “Molo su, pasrah saja”, kata lelaki kelahiran Rendu, Nagekeo itu.

Sementara itu, Dolin Nggano, putra Worhonio, Ende justru mengaku stres karena aksi Pak Enso yang dinilai tidak manusiawi. “Stres ngeri la”, ujarnya dengan nada membentak. Sekadar informasi, rambut Dolin siang itu bagaikan Bukit Sasa yang setengah longsor.

“Saya kecewa sekali”, keluh Aldo Bheo, siswa asal Mauponggo, Nagekeo. Dirinya mengaku sudah memangkas rambutnya sejak satu hari sebelumnya, tetapi tetap digunting oleh Pak Enso. “Saya juga jadi malas untuk mengikuti les Geografi siang itu”, tambahnya.

Namun, Aldo tidak menyalahkan Pak Enso. Memang rambutnya sudah dipangkas, tetapi tidak memenuhi standar panjang rambut maksimum. “Saya yang salah”, katanya.

Hari itu, bukan hanya kelas XII C saja yang “dieksekusi”. Setiap kelas yang tidak ada pelajaran dirazia oleh Pak Enso. Bahkan, para siswa yang ia jumpai di luar kelas bernasib sama. Untungnya, saya dapat menghindari razia dengan alasan “mau ikut ujian Bahasa Inggris.”

 

Saya Siap Melayani

Semesta seakan turut berduka atas perginya rambut para seminaris. Mendung. Suasana kamar tidur kelas XII yang biasanya berisik kini sunyi.

Ternyata setelah ditelusuri lebih jauh, para seminaris sedang berada di kamar jemur, mengantri untuk mendapatkan pelayanan pangkas rambut.

Eja, gunting rambut ja’o ro”, kata saya kepada Nelson Teku yang sedang memangkas rambut temannya.

“Sabar”, jawabnya datar. Setelah menunggu selama 30 menit, tibalah giliran saya.

Nelson – begitulah ia biasa disapa – adalah seminaris kelas XII B. Ia lahir di Ende, 16 Juli 2007. Sejak masih kelas X, Nelson aktif sebagai pemangkas rambut para siswa SMA Seminari Todabelu.

“Saya menjadi pemangkas rambut, karena saya ingin membantu teman baik saya, Kristian Riwu”, jawab Nelson ketika ditanyai tentang motifnya.

Lebih lanjut, Nelson menuturkan bahwa dirinya tidak tega menyaksikan Kristian memangkas rambut seorang diri. Oleh karena itu, ia belajar memangkas rambut. Namun, kala itu, hanya tersedia sedikit kesempatan baginya untuk membantu.

“Awalnya hanya satu atau dua orang saja. Tapi, lama-kelamaan makin banyak. Bisa empat sampai tujuh orang per minggu”, jelasnya.

Perjalanan Nelson sebagai seorang pemangkas rambut tidak mulus-mulus saja. Kendala utamanya terletak pada isu sarana. Nelson mengaku tidak memiliki peralatan pangkas rambut sendiri. Ia mesti meminjam dari teman-temannya. Menurutnya, hal tersebut hanya menguras waktu dan memperlambat pelayanannya.

“Kalau customer bawa alat yang lengkap kan bagus. Tapi, akan merepotkan kalau harus buang-buang waktu untuk sekedar cari alat. Saya merasa terhambat untuk melayani teman-teman”, kata pemuda yang suka melukis itu.

Akan tetapi, terlepas dari itu semua, Nelson selalu siap melayani kapanpun dibutuhkan, apalagi pada masa pasca-razia seperti ini. Ia sadar bahwa momen seperti ini adalah kesempatan yang bagus untuk belajar melayani dengan tulus.

“Saya selalu siap melayani. Panggil saya kalau mau gunting rambut. Tengah malam pun jadi”, katanya sekaligus menutup obrolan kami sore itu, Senin, 23 September 2024 (Edgar Sebo).

UNTUK MENJAGA WARISAN BUDAYA

Teater Kata Berkhmawan di Festival Nagekeo One Be 2024

Teater Kata Berkhmawan Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko mempersembahkan teater bertajuk “Menyulut Api Tradisi” dalam pergelaran Festival Nagekeo One Be 2024 di lapangan Berdikari, Danga, Mbay pada Selasa Malam (24/9).

Menurut pendamping Teater Kata Berkhmawan, Fr. Tevin Lory, keterlibatan Teater Kata Berkhmawan dalam Festival Nagekeo One Be 2024, sebagai bentuk partisipasi untuk menjaga warisan budaya yang sebagaimana digaungkan dalam tema Festival Nagekeo One Be 2024, yakni “Kebangkitan Kampung”.

Bagi Tevin, tema Festival Nagekeo One Be 2024 tersebut sangat relevan dengan situasi masyarakat Nagekeo saat ini. Menurutnya, di tengah arus globalisasi yang semakin deras, masyarakat sering terjebak dalam rutinitas modern yang menjauhkan mereka dari akar budaya.

Teater, sebagai medium seni, menurut Tevin, memiliki kekuatan luar biasa untuk menghidupkan kembali tradisi yang kerap terabaikan oleh laju modernisasi. Dalam setiap gerak, monolog, dan musik, tersimpan jejak-jejak sejarah yang bisa membangkitkan kesadaran akan warisan budaya.

“Ketika api tradisi dinyalakan kembali, masyarakat diajak untuk merenungkan bagaimana kita dapat mempertahankan dan merayakan warisan budaya di tengah perubahan zaman,” ungkap Tevin.

Selain itu, Tevin berharap dengan terlibat dalam Festival Nagekeo One Be 2024, ke depannya, Teater Kata Berkhmawan bisa menjadi sebuah arena bagi siswa untuk menemukan kebebasan dalam berkarya dan mengekspresikan kisah yang mendalam dan bermakna.

“Semoga panggung-panggung masa depan selalu menjadi ruang bagi mereka untuk tumbuh, bereksperimen, dan menyuarakan kebenaran,” tegas Tevin.

Sementara itu, salah satu pemeran Teater “Menyulut Api Tradisi”, Andris Raja bersyukur dengan keterlibatan Teater Kata Berkhmawan dalam Festival Nagekeo One Be 2024.

“Saya bersyukur. Saya dan teman-teman Teater Kata Berkhmawan bisa punya ruang, kesempatan untuk mengekspresikan diri, bakat kami di panggung Festival Nagekeo One Be 2024,” ungkap Andris. (Bayu Tonggo).

50 SISWA SMA TERIMA BEASISWA PIP ASPIRASI HUGO PAREIRA

Lima puluh siswa kelas XI dan XII SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu dengan penuh sukacita menerima beasiswa Program Indonesia Pintar (PIP) Aspirasi Hugo Pareira di Aula SMA Seminari Todabelu pada Jumat (20/9/2024).

Beasiswa tersebut diberikan secara simbolis melalui penyerahan sertifikat oleh Bapak Stanis Soli Kesu sebagai perwakilan dari pihak Andreas Hugo Pareira.

Hadir juga dalam acara tersebut RD. Tinyo Sera selaku Kepala SMA Seminari Todabelu dan RD. Isto Dua sebagai operator sekolah SMA Seminari Todabelu.

Dalam sambutan pada awal acara, Stanis menjelaskan beasiswa PIP secara detail kepada para siswa. Ia mengatakan bahwa Beasiswa Aspirasi merupakan program beasiswa yang lazimnya diinisiasi oleh anggota legislatif atau tokoh masyarakat tertentu sebagai bentuk dukungannya terhadap perkembangan pendidikan di wilayah pemilihannya.

Beasiswa ini bertujuan untuk membantu pelajar atau mahasiswa yang memiliki potensi akademis, tetapi mengalami keterbatasan secara finansial untuk melanjutkan pendidikan mereka,

Alumnus Seminari Mataloko ini juga menambahkan bahwa pada tahun ini terjadi peningkatan jumlah bantuan, yakni dari 1 juta ke 1,8 juta.

Selain itu, Tinyo dalam sambutannya mengucapkan terima kasih berlimpah kepada pihak Hugo Pareira yang telah merealisasikan beasiswa PIP Aspirasi kepada ke-50 siswa SMA Seminari Todabelu.

“Kami percaya bahwa ini merupakan bukti nyata kecintaan Bapak Hugo kepada para siswa dan juga calon Imam sebagai generasi penerus bangsa dan Gereja,” kata RD. Tinyo.

Sementara itu, Vito Dhae dalam sambutannya mewakili ke-50 siswa, merasa bersyukur atas penerimaan beasiswa PIP. Baginya, dengan adanya PIP dirinya dan teman-temannya bisa terdorong untuk memanfaatkan masa belajar mereka secara baik dan mengembangkan semua potensi yang dimiliki, agar kelak dapat menjadi pribadi yang unggul serta dapat berguna bagi masyarakat, bangsa, dan Gereja.

Vito berharap agar ke depannya program beasiswa PIP terus berlanjut sehingga turut mendukung pendidikan generasi-generasi selanjutnya. (Vito Dhae).

Bazar di Seminari Mataloko, Terima Kasih untuk Alfred Gare Ft Pax Group dan Maumere All Stars

Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko menggelar bazar pada Minggu (8/9/2024). Bazar ini diisi dengan aneka stan kuliner, stan hiburan, stan permainan berhadiah, stan penjualan baju Pesta Famili (Pesfam) HUT ke-95 Seminari, stan pameran seni, dan stan penjualan aneka produk menarik.

Tujuan Bazar

Menurut Ketua Bazar dan Ketua Seksi Gali Dana Pesfam HUT ke-95 Seminari, RD. Dino Amawawa, bazar tersebut merupakan bagian dari rangkaian kegiatan untuk menyongsong HUT ke-95 Seminari pada Minggu (15/9/2024). Dino turut menyebutkan bahwa pergelaran bazar juga bertujuan untuk mengumpulkan alumni guna membangun keterikatan yang solid menuju satu abad Seminari.

“Bazar ini juga jadi bagian dari ‘rumah panggil pulang’ untuk alumni agar semakin solid untuk selalu ada bersama Seminari menuju satu abad”, jelas RD. Dino.

Selain itu, Praeses Seminari Mataloko, RD. Martinus Ua dalam sambutannya pada awal bazar, mengungkapkan bahwa bazar yang setiap tahun diselenggarakan oleh Seminari juga menjadi “momen berharga bagi orang tua siswa (seminaris) untuk datang, ada bersama, dan mendukung pendidikan anak-anak mereka di Seminari”.

Hal yang Berkesan

Dalam wawancara penulis dengan panitia penyelenggara bazar, salah satu hal yang berkesan bagi Seminari dalam pergelaran bazar tersebut ialah hadirnya bintang tamu, Alfred Gare featuring Pax Group dan Maumere All Stars.

Bagi Panitia Penyelenggara, Alfred Gare ft Pax Group dan Maumere All Stars telah hadir secara total dan sangat mendukung kegiatan bazar.

“Mereka beri habis, dukung penuh, dan beri warna tersendiri untuk bazar kali ini. Karena itu, mewakili panitia penyelenggara bazar, kami mengucapkan terima kasih banyak untuk Alfred Gare dan teman-teman”, ungkap RD. Dino.

Tiga Pesan

Selain itu, panitia penyelenggara bazar juga mengucapkan terima kasih kepada Alfred Gare ft Pax Group dan Maumere All Stars yang telah memberi catatan dan pesan penting untuk seminaris dan lembaga Seminari di sela-sela acara bazar.

“Ada tiga pesan yang kami catat. Tiga catatan dan pesan yang sangat penting untuk para siswa, seminaris dan lembaga ini, dalam perjalanan menuju satu abad ke depan”, jelas RD. Dino.

Pertama, Alfred Gare dan teman-temannya berpesan kepada para seminaris untuk senantiasa setia dan menghargai aturan yang sudah ada sejak 95 tahun lalu.

“Jangan pernah tinggalkan aturan selama kamu hidup di sini. Karena itulah yang akan membentuk kamu di kemudian hari,” tegas para personel Pax Group, Romi Keo, Sony Koda, dan Jefni Japi yang juga adalah alumni Seminari Mataloko (Al-Semat).

Hal kedua yang ditegaskan oleh Alfred Gare dan teman-temannya ialah para seminaris dalam kehidupannya di Seminari mesti memiliki cita-cita atau orientasi.

“Kamu harus punya orientasi atau cita-cita selama hidup di Seminari ini. Selain orientasi jadi Imam, juga orientasi dalam bakat, kemampuan kamu,” ungkap Alfred Gare dan teman-teman.

Ketiga, kepada lembaga Seminari, Alfred Gare dan teman-temannya juga berpesan bahwa meskipun ke depannya Seminari mengembangkan pola pendidikan dan pembinaan dengan gaya modern, tetapi harus tetap mempertahankan aturan-aturan dan tradisi yang sudah lama hidup (Bayu Tonggo).

Pada Pesfam 2024, San Paulo Juara Umum

Dalam rangka memeriahkan HUT ke-95 pada (15/9) mendatang, Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu menggelar tiga cabang pertandingan dan  empat jenis perlombaan sejak Selasa (27/8) hingga Rabu (4/9). Pertandingan dan perlombaan tersebut, yakni sepak bola (SMP dan SMA), bola voli (SMP dan SMA), bola basket (SMP dan SMA), vokal grup, solo vokal yang dikhususkan bagi siswa kelas VII SMP, lawak, dan fashion show untuk kategori anak guru/pegawai/ karyawan.

Untuk terlibat dalam pertandingan dan perlombaan, Panitia Pesta Famili (Pesfam) HUT ke-95 Seminari membagi segenap warga Seminari ke dalam empat kelompok, yang diberi nama berdasarkan nama Uskup Keuskupan Agung Ende. Nama keempat kelompok tersebut berturut-turut, yakni San Donato, San Longino, San Vincenzo, dan San Paulo.

Setelah mengakumulasi hasil  dari setiap cabang pertandingan dan perlombaan, panitia Pesfam Seminari melalui Seksi Acara dan Olahraga OSIS SMA, akhirnya menetapkan kelompok San Paulo sebagai juara umum.

“Kami sudah akumulasi. San Paulo yang menjadi juara umum dalam pergelaran pertandingan dan perlombaan Pesfam tahun ini”, ungkap Wakil Seksi Acara OSIS SMA, Jack Huik dan Wakil Seksi Olahraga SMA, Yano Joka kepada Breaking News, Kamis (5/9).

San Paulo mengumpulkan 54 poin dari setiap cabang pertandingan dan perlombaan dengan perinciannya sebagai berikut. Cabang sepak bola SMA: 9 poin, bola voli SMA: 9 poin, bola basket SMA: 9 poin, sepak bola SMP: 0, bola voli SMP: 0, bola basket SMP: 3 poin, solo vokal:  5 poin (juara II), lawak: 5 poin (juara II), fashion show: 7 poin (juara I), dan vokal grup: 7 poin (juara I).

Sementara itu, peringkat kedua diraih oleh kelompok San Longino yang berhasil mengumpulkan 48 poin dari setiap cabang pertandingan dan perlombaan. Dari cabang sepak bola SMA, San Longino mengantongi 3 poin, bola voli SMA: 6 poin, bola basket SMA: 6 poin, sepak bola SMP: 6 poin, bola voli SMP: 9 poin, bola basket SMP: 0, solo vokal: 7 poin (juara I), lawak: 7 poin (juara I), fashion show: 1 poin (juara IV), dan vokal grup: 3 poin (juara III).

Selain itu, posisi ketiga disabet oleh kelompok San Vincenzo yang mengantongi 38 poin dari setiap cabang pertandingan dan perlombaan. Sepak bola SMA: 3 poin, bola voli SMA: 0, bola basket SMA: 0, sepak bola SMP: 9 poin, bola voli SMP: 3 poin, bola basket SMP: 9 poin, solo vokal: 3 poin (juara III), lawak: 3 poin (juara III), fashion show: 3 poin (juara III), dan vokal grup: 5 poin (juara II).

Sementara itu, posisi terakhir diduduki oleh kelompok San Donato yang memperoleh 32 poin dari setiap cabang pertandingan dan perlombaan. Sepak bola SMA: 3 poin, bola voli SMA: 3 poin, bola basket SMA: 3 poin, sepak bola SMP: 3 poin, bola voli SMP: 6 poin, bola basket SMP: 6 poin, solo vokal: 1 poin (juara IV), lawak: 1 poin (juara IV), fashion show: 5 poin (juara II), dan vokal grup: 1 poin (juara IV).

Terhadap hasil ini, Ketua kelompok San Paulo, Pascal Jadu menuturkan rasa bangga dan apresiasi kepada anggota kelompoknya yang berhasil meraih juara umum dalam pergelaran pertandingan dan perlombaan Pesfam 2024. Dirinya mengungkapkan bahwa prestasi tersebut berkat kerja keras, sikap optimis, dan soliditas yang selalu dibangun dalam kelompok.

“Saya bangga dengan hasil ini. Ini semua karena kerja keras, sikap optimis, dan soliditas yang selalu kami bangun dalam kelompok,” ungkap Pascal.

Lebih jauh Pascal menegaskan bahwa soliditas yang dibangun dalam kelompok secara sederhana bisa dijalankan “dengan selalu hadir dan beri dukungan kepada anggota kelompok yang mengikuti pertandingan atau pun perlombaan”. (Bayu Tonggo).

Opening Ceremony Pesfam 2024, Praeses Seminari Beri Pesan Ini

Segenap warga Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko melangsungkan opening ceremony Pesta Famili (Pesfam) menyongsong HUT ke-95 Seminari pada 15 September mendatang.

Opening ceremony ini berlangsung di halaman tengah SMA Seminari pada Senin sore hingga malam, 26 Agustus 2024.

Opening ceremony diawali dengan jalan santai yang mengelilingi perkampungan Mataloko. Selanjutnya segenap warga Seminari mengikuti rangkaian acara opening ceremony di halaman tengah SMA Seminari.

Tiga Hal Penting

Dalam opening ceremony tersebut, Praeses Seminari, RD. Martinus Ua atau Romo Tinus berpesan kepada warga Seminari tentang tiga hal penting. Tiga pesan tersebut berpijak pada tema Pesfam tahun 2024, yang terinspirasi dari moto Uskup Keuskupan Agung Ende, Mgr. Paulus Budi Kleden: “Peliharalah Kasih Persaudaraan” (Ibr. 13:1).

Pertama, Romo Tinus menyampaikan bahwa segenap warga Seminari tentu sepakat bahwa kasih dan persaudaraan menjadi nafas/roh/spirit yang menggerakkan keseluruhan hidup di Seminari.

Karena itu, bagi Romo Tinus kasih dan persaudaraan itu harus menjadi tekad bersama dan mesti dihidupkan oleh warga Seminari, baik oleh para formator, guru/pegawai, karyawan/ti, maupun oleh para seminaris.

“Saya kira ini harus menjadi nafas, menjadi roh yang menggerakkan seluruh keberadaan kita di lembaga ini. Mulai malam ini dan selanjutnya. Ini harus menjadi tekad kita bersama,” tegas Romo Tinus.

Kedua, menurut Romo Tinus perayaan Pesfam kali ini sedikit berbeda dari tahun-tahun sebelumnya. Dalam perayaan Pesfam kali ini, akan dilangsungkan pula pencanangan menuju satu abad Seminari. Karena itu, bagi Romo Tinus, tentu akan ada banyak kegiatan dan pertemuan yang turut melibatkan warga Seminari ke depannya.

Dirinya berharap anggota komunitas Seminari, baik yang tinggal di dalam Seminari maupun di luar, tidak menjadi tamu atau penonton dalam setiap kegiatan atau pertemuan yang ditetapkan.

“Perlu ada sedikit pengorbanan, kalau kita betul mencintai lembaga kita ini dan supaya kasih dan persaudaraan semakin subur dan menggerakkan seluruh aktivitas kita. Masing-masing kita, mudah-mudahan bisa memberikan kontribusi dengan cara dan bentuk tertentu,” ungkap Romo Tinus.

Ketiga, Romo Tinus menegaskan bahwa kasih harus menjadi fondasi persaudaraan di dalam komunitas Seminari. Menurut Romo Tinus, persaudaraan atau kebersamaan tanpa kasih itu mustahil.

Ia membandingkan hal itu dengan ungkapan: “ikan tanpa air, atau pohon tanpa tanah”.

Romo berharap dalam perjalanan menuju satu abad, warga Seminari mesti menjadikan kasih sebagai nafas yang menyuburkan dan menyalakan persaudaraan.

Di akhir amanatnya, Romo Tinus berterima kasih kepada Panitia Pesfam 2024 yang telah menyelenggarakan opening ceremony dengan sangat baik dan meriah. Ia juga berterima kasih kepada para formator, guru/pegawai, karyawan/ti, dan para seminaris yang telah terlibat dalam opening ceremony.

Ia berharap aneka kegiatan Pesfam 2024, mulai dari opening ceremony hingga perayaan HUT ke-95 Seminari pada 15 September mendatang, harus menjadi wadah yang memperkuat tumbuhnya semangat persaudaraan di dalam komunitas Seminari (Bayu Tonggo).

LIMA SISWA SMA SEMINARI RAIH SILVER MEDAL JISF

Lima Siswa kelas XII SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu menyabet silver medal dalam kompetisi Jakarta International Science Fair (JISF) kategori environmental science pada Senin, 29 Juli 2024. Kelima siswa itu, yakni Edgar Sebo, Leo da Costa, Preno Tae, Andris Raja, dan Satria Tipa Wea.

Dalam kompetisi ini, kelima siswa tersebut merancang alat yang bernama CLEANTER (Clean the Water) yang berfungsi untuk membersihkan air dari polutan. Mereka mempresentasikan hasil eksperimen itu dengan menggunakan power point secara daring.

Edgar Sebho selaku ketua kelompok menuturkan bahwa dalam merancang produk CLEANTER, dirinya dan teman-temannya harus mengorbankan waktu liburan naik kelas mereka.

“Saya merasa lega, karena telah menyelesaikan proyek kami tepat pada waktunya. Kami harus meninggalkan kesenangan selama liburan naik kelas kami. Alhasil, perjuangan kami tidak sia-sia,” tutur Edgar Sebo.

Sementara itu, Themi Woghe sebagai pendamping para peserta lomba berharap pencapaian tersebut dapat memotivasi semua siswa Seminari, agar mampu mengembangkan bakat dan minat yang dimiliki. Selain itu, bagi kelima siswa, Themi berharap agar bisa berbagi ilmu kepada teman-teman lainnya. (Aril Mite dan Harol Tage).

Pelaksanaan MPLS SMA Seminari Todabelu Tapel 2024/2025

Hari Pertama

    Di tengah kabut dingin, 90 siswa kelas X SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu melaksanakan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) Tahun Pelajaran (Tapel) 2024/2025 hari pertama, Senin pagi 22 Juli 2024. Kegiatan ini dilaksanakan di Aula SMA Seminari Todabelu.

    Tema yang diangkat dalam MPLS ini, yakni “Mari Bersama Ciptakan Lingkungan Belajar yang Inklusif, Berkebinekaan, dan Aman bagi Semua”.

    Terkait pelaksanaan MPLS ini, Kepala SMA Seminari Todabelu dalam renungannya saat Perayaan Ekaristi Pembukaan Tapel 2024/2025 untuk SMP dan SMA, mengatakan bahwa pelaksanaan MPLS menjadi salah satu kegiatan sekolah yang dapat membantu para siswa untuk bergerak dari tindakan dan situasi kita yang destruktif pada tapel 2023/2024, menuju tindakan dan situasi yang konstruktif pada tapel 2024/2025.

    Romo juga menyinggung bahwa “kita mesti menjadi pribadi yang baru pada tapel 2024/2025”. Pribadi yang baru, bagi Romo Tinyo, adalah pribadi yang harus bangun pada “pagi benar-benar” seperti halnya Santa Maria Magdalena yang dikisahkan dalam Injil Yohanes 20:1.11-18 dan sekaligus pestanya diperingati pada hari tersebut.

    Kegiatan MPLS dimulai dengan ice breaking dan yel-yel untuk para siswa yang dipimpin oleh Fr. Bayu Tonggo dan Fr. Sirilus Lewan, O. Carm. Para siswa sangat antusias dan menikmati kegiatan tersebut.

    Setelah itu, Ibu Noni Rasni selaku penanggung jawab kegiatan MPLS mengundang Kepala Sekolah, para guru, dan pegawai SMA Seminari Todabelu guna memperkenalkan diri kepada para siswa. Lalu, kegiatan MPLS dilanjutkan dengan pemaparan visi dan misi SMA Seminari Todabelu oleh Romo Tinyo.

    Para siswa kemudian menyempatkan diri untuk beristirahat dengan menikmati kehangatan teh dan kue yang telah disediakan oleh Seksi Konsumsi Panitia MPLS.

    Sesudah itu, Romo Alex Laba meneruskan kegiatan MPLS dengan memaparkan materi terkait Metode Belajar. Kemudian, Ibu Mertin Bolo menjelaskan kepada para siswa kegiatan-kegiatan di dalam Kurikulum Merdeka yang akan dijalankan selama menempuh pendidikan di SMA Seminari Todabelu, semisal P5 dan ekstrakurikuler. Setelah itu, MPLS hari pertama ditutup dengan doa bersama.

Hari Kedua

    Di tengah kabut yang meyelimuti lingkungan Seminari, para siswa kelas X kembali menjalani MPLS hari kedua. Seperti pada hari pertama, para siswa mengawali MPLS dengan ice breaking yang dipimpin oleh Pak Enso Feto, Pak Yani Koandijalo, dan Pak Doni Damu. Para siswa sangat bersemangat dalam mengikuti ice breaking.

    Setelah itu, para siswa mengikuti kegiatan Pengenalan Sarana dan Prasarana di Perpustakaan SMA Seminari Todabelu. Dalam kegiatan ini, para siswa dituntun oleh Pak Robert Ase selaku Pustakawan SMA Seminari Todabelu.

Di perpustakaan, para siswa juga berkenalan dengan Pustakawati SMA Seminari Todabelu, Ibu Klara Ree. Lalu, Pak Robert mengarahkan para siswa untuk melihat-lihat Ruang Baca dan buku-buku yang ada di dalamnya.

Banyak hal disampaikan oleh Pak Robert kepada para siswa, sehingga membantu mereka untuk lebih mengenal perpustakaan SMA Seminari Todabelu.

    Sesudah mengikuti kegiatan di perpustakaan, para siswa lalu beranjak kembali ke aula untuk beristirahat dan menikmati teh dan kue yang telah disediakan oleh Sie Konsumsi Panitia MPLS.

    Sesudah beristirahat, para siswa kemudian mengikuti sosialisasi anti kekerasan dan perundungan yang dipaparkan oleh Romo Beni Lalo. Banyak bekal berharga yang diperoleh para siswa dari sosialisasi ini.

    Sosialisasi ini kemudian ditutup dengan deklarasi anti kekerasan dan perundungan yang melibatkan civitas academica SMA Seminari Todabelu. Lalu, di bawah pimpinan Ketua OSIS, Olan Nanga, civitas academica secara bersama-sama mengucapkan 13 butir pernyataan anti kekerasan dan perundungan dengan mengangkat tangan kanan.

Adapun ke-13 butir pernyataan anti kekerasan dan perundungan itu ialah sebagai berikut. Pertama, kami akan menghargai teman dan menghormati guru. Kedua, kami akan menghilangkan perundungan dalam segala bentuk. Ketiga, kami akan menghargai pendapat teman. Keempat, kami akan membantu teman yang mengalami kesulitan. Kelima, kami akan peduli terhadap teman. Keenam, kami akan menyebarkan pesan positif secara verbal maupun non-verbal melalui media sosial. Ketujuh, kami tidak akan menyebarkan hoax dalam bentuk dan melalui media apa pun. Kedelapan, kami tidak akan melakukan body shaming/perundungan fisik pada teman. Kesembilan, kami tidak akan memanggil teman dengan makian, nama orang tua, dan panggilan khusus lainnya yang menjatuhkan martabat teman dan membuat teman tidak nyaman. Kesepuluh, kami tidak akan membentak teman. Kesebelas, kami tidak akan melakukan tindakan kekerasan secara fisik maupun psikis pada teman. Keduabelas, kami tidak akan menghina dan mencemooh, baik secara perorangan, maupun berkelompok, kepada siapa pun di lingkungan sekolah, asrama, dan masyarakat. Ketigabelas, kami tidak akan melakukan tindakan pelecehan dan kekerasan seksual dalam segala bentuk terhadap teman dan sesama.

    Usai mengucapkan ke-13 pernyataan tersebut, civitas academica SMA Seminari Todabelu diarahkan untuk menandatangani prasasti anti kekerasan dan perundungan.

    Terkait ke-13 pernyataan tersebut, Romo Tinyo Sera mengatakan bahwa “ke-13 pernyataan ini merupakan pernyataan yang sakral, karena kita sudah mau dan berani mengucapkan serta menandatanganinya”.

    Selanjutnya, kegiatan deklarasi tersebut ditutup dengan doa bersama. Setelah itu, para guru, pegawai, dan siswa menyempatkan waktu untuk bergambar bersama di depan prasasti deklarasi anti kekerasan dan perundungan yang telah ditandatangani. (Roland Reko Li).

HUT Ke-63 Pramuka, RD. Tinyo: “Pramuka Itu Wajib”

Gudep SMPS dan SMA Seminari St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko melangsungkan upacara memperingati hari Pramuka Nasional ke-63pada Rabu pagi, 14 Agustus 2024.

Upacara ini dihadiri pula oleh Pramuka Siaga (UPTD SDI Wogo, SDK Mataia, UPTD SDI Dolupore, SD Citra Bakti, SDK Mataloko), Pramuka penggalang (SMPS Seminari Mataloko, SMPS Kartini Mataloko), dan Pramuka penegak (SMAS Katolik Thomas Aquino Mataloko).

Mabigus SMA Seminari Todabelu, RD. Marianus Agustinus Gare Sera, M. Pd., atau Romo Tinyo yang bertindak sebagai pembina upacara, menegaskan bahwa kegiatan pramuka itu wajib, karena dapat membangun karakter yang baik, membawa kemajuan dalam kerja secara efisisen dan efektif, disiplin dan tanggung jawab, serta memberi ketahanan fisik.

Romo Tinyo menegaskan lebih jauh bahwa kegiatan pramuka itu akan menjadi pembelajaran yang positif apabila melibatkan hati di dalamnya.

“Jika kita libatkan hati dalam pramuka, maka itu akan menjadi pembelajaran yang positif. Segala hal akan terwujud bila kita setia dan konsisten untuk menjalaninya,” tegas Kepala SMA Seminari Todabelu ini.

Selain itu, Romo Tinyo juga menambahkan bahwa konteks pramuka di Seminari adalah pramuka yang bernilai 5S, yakni Sanctitas (kekudusan), Sanitas (kesehatan), Scientia (pengetahuan), Sapientia (kebijaksanaan), dan Socialitas (kemasyarakatan / persaudaraan).

Di akhir sambutannnya, Romo berharap agar kegiatan pramuka mesti wajibada dana dilaksanakan di setiap lembaga. Melallui kegiatan pramuka, pelajar dituntun untuk menjadi manusia yang bermutu, berkepribadian Indonesia, dan berakhlak mulia. (Mario Bay, Aril Mite, dan Efran Meno).

MARTIN CANTER – AN EULOGY

I’d first like to thank you for coming today. Funerals are not something that any of us enjoy but Martin would be surprised to see how many people are here to celebrate his life. We wear many hats and mean different things to the people in our lives.  Martin was a much loved son, brother, uncle, friend, teacher and mentor – many of his friends also thought of him as their brother.

Martin was gifted in so many ways, through his use of language he painted the most amazing word pictures.  Some of you may remember 2 years ago at Dad’s funeral, Martin delivered the eulogy “what he wrote”   – and I’ve got to follow that.  So I’ve done my best, Martin If you’re marking my work – I’m targeting a B but I’d be happy with a B minus or C plus – but what I don’t want is too much green or red ink correcting my grammar or the comment please see me, must try harder.

So ……. How do I start to put into words the amazing life Martin lived  –  I’ve tried to unite the threads but there may be a few thread bare patches.  So here is a glimpse …….

Our Dearest Martin,

We’ll let’s start at the beginning  – your timing has never been great, born during visiting hours 3 days before Christmas.  As children, your birthday was the start of Christmas when we’d decorate the tree and go to the pantomime.

We had a very happy childhood – wonderful family holidays and adventures such as you and Dad decided to dig up a wrecked anchor on a beach in Wales just to see how big it was, the time in Cornwall when you climbed a rock on the beach and the coastguard was called.  Typically you climbed down safely and wondered what the fuss was about. 

When your head wasn’t in a book we’d spend sun drenched days building dens, getting into mischief, being dad’s assistant, cycling, canoeing and camping, and in the dark days of winter playing games such as monopoly for hours and hours.  You were a keen boy scout and were awarded chief scout.

The brains of the family, aged 5 the school Headmistress told Mum and Dad you were very bright, gifted and had the ability to go to university and achieve great things in your life.

Between finishing school and starting university you went on what they now call a gap year – off you went with a small bag, a change of clothes, a razor, toothbrush, some cash and your passport in your pocket to Australia where you worked on construction sites and farms.  Returning  via India Jacqueline and I met you in Delhi. This was pre internet and mobile phones and I recall the arrangements to meet were rather sketchy made on a quick reverse charges phone call – it all worked out and we had a fabulous time and a few adventures.

After your travels  “up North” you went to Huddersfield Polytechnic to read English and Humanities followed by a MA (English Literature) at the University of Leeds.  I remember visiting you in your student accommodation which today would be condemned.  Returning south you completed a Post Graduate Certificate at the University of East Anglia (Norwich) and became an English teacher.

As if two degrees and a post grad certificate wasn’t enough you completed a Master of Business Administration and in 2015 graduated from the University of Pennsylvania with a doctorate in Education focusing on Education in Post conflict environments.

So taking things chronologically your teaching career started in “little Scotland” a steelworks town in the East Midlands – officially known as Corby.  This is where it all began – your passion for all children to have a right and access to education irrespective of their background or gender.

Whilst teaching in Daventry you wrote and produced a musical based on Lord of the Flies by William Golding.  William Golding’s Agent declined your request for permission to write the musical but not to be deterred you went ahead changing the “conch shell” to be a PE teacher’s whistle and the main character to a girl called Peggy.  The head master was not thrilled but it was a success and 3 successful productions followed.

Promotion called and another move to a large comprehensive school in Rugby where you were Head of English, Drama and Media. 

Then a change in direction moving to Shropshire with your partner Jacqui – you became quite the expert in soft furnishings.  Keeping true to your roots you did supply teaching between soft furnishing shows and exhibitions  in areas of deprivation in the midlands where many students were not keen on attending school never mind sitting exams – somehow you inspired and ignited their curiosity for English through Motor bikes and Eastenders.

Unfortunately your relationship with Jacqui ended and it was time for a rethink and a change of scenery.  

Well it was a radical rethink and changed the course of your life –  a career in Educational Development  – which took you to Indonesia, Banda Aceh, Timor Leste and Sierra Leone where you worked for organisations such as VSO, International Rescue Committee, British Red Cross and Plan International to name a few.

Off you went to Indonesia – working initially for VSO in Flores and Bali.

Following the Tsunami in Banda Aceh you worked helping communities rebuild their livelihoods and setting up education programmes.  A few words does not adequately describe the situation and the conditions you worked in.  I remember seeing some of your photos the destruction was indescribable, you told stories of taking hours on difficult  and sometimes nonexistent roads to reach remote areas to set up schools.  Whilst in Banda Ache you met  a team from the University of Pennsylvania and  your life changed direction again.  Recognising  your talent and enthusiasm for education you were invited to study for a Doctorate in Education in the US.

Post doctorate you returned to South East Asia this time to Timor Leste – a post conflict area where you worked on a School Dropout Prevention programme.

Your final overseas role took you to Sierra Leone in West Africa and then you finally returned  to the UK working for a couple of development organisations where overseas trips where limited but you did manage to visit the Rock-hewn Churches of Lalibela on a trip to Ethiopia – which is still on my list to visit.

So let’s go back to the start of your work in Education Development.  I always felt the time you spent in Flores was a happy time in your life. There are so many stories but we’ve not got all day so here are a couple.

Where is Flores we asked as we dug out the trusted Phillips New School Atlas – it’s close to Rinca and Komodo – the home of the famous Komodo Dragons and a few islands East of Bali.  When you went nobody had heard of Flores let alone knew where it was and now it’s a tourist destination! 

After a short intensive language course  in Yogyakarta – you quickly became fluent in Bahasa Indonesian with a Flores accent – you, your backpack and motorbike helmet arrived in Flores  to be met by  –  Romo Nani (an English teacher and priest)  – the beginning of a true and lasting friendship – you became each other’s “eja” which in Indonesian means a very very close friend / brother.  You were welcomed at Johannes Berkmans seminary a catholic boys boarding school and a seminary for priests which was too be your base in the small hill town of Mataloko which could be a bit chilly and misty. Dad always said there aren’t many fathers and sons who have spent part of their working lives living in religious institutions.

You changed the minds of the local English teachers who on your arrival thought teaching English was burdensome.  By the time you left they were proud to be English Teachers.  You motivated them, identified their talents and gave them skills and self confidence to be teachers and to make teaching fun.  

Travelling on your trusted motorbike where the roads were often rough dirt tracks and barely passable with mud and landslides during the rains – you often had to leave your bike in a village and walk the remaining miles to remote village schools.  You were awarded a certificate for 2 days of extra ordinary off road motorcycling  “No river too deep, no mountain too high” – through rivers, paddy’s, stones, bricks, valleys and grass – safely achieved. 

Martin you hold a special place in the hearts of many people in Flores and they are saddened by your loss. I’ve received so many messages of condolences all echoing that you were not only a colleague but also a brother.  Your presence in Flores is still present today – you planted the seed for the creation of FLORETA – Flores English Teachers association which exemplifies how teachers in remote areas can learn together in a professional community – you were like a running stream, flowing abundantly to satisfy those who yearn for water.

In Flores sharing coffee and a family meal together in the kitchen means you’re part of a family – you belong to us. You belonged  – you helped create not only a learning community but a family.  Both I and then Mum and dad witnessed this when we visited Flores with you  – everybody loved you

On leaving Flores your friends gave you the great honour  of calling you a “Mosalaki” – a great man from Flores.   The story goes your friends wanted to give you a leaving gift and something symbolic from Flores – a “hairy bag” –  When you received the gift oh… how you danced and danced happily with a traditional sword lifting it high like a “Mosalaki”  – your friends watched you with their hearts filled with love and pride saying  “Mosalaki Martin”.

Family was important  – being in the  “Bosom of the family” –  simple pleasures just being in each other’s company.  Coming home from overseas at Christmas – Laura, Matthew and Daniel were always excited – we’d spend hours of fun – playing cards – crazy 8s, kings and thief’s at the kitchen table, dressing up with the gifts and trinkets from faraway lands  – brightly coloured necklaces, bracelets, scarves, hats  and fabrics each with a distinguished design and stories from the villages.

We joked about the need to explain Strictly, and characters and plot lines in popular TV drama’s. To our surprise when you returned to the UK permanently you became a Strictly fan and we’d guess the judges scores and who would be eliminated – small rituals, happy memories.

On becoming Dr Martin Canter with a touch of irony we called you Doc Martin as you’ve always worn Doc Marten boots and shoes.  I think you were the only person to receive a replacement pair on the “guarantee shoes for life” scheme.  You and your docs went everywhere irrespective of terrain or climate.

Music played an important part of your life – playing the trombone in the Beyton School and West Suffolk Schools bands, going to concerts, gigs, reading NME and Mojo. 

You listened to various genres – never a fan of commercial music – some might say a fan of the obscure.  If you heard music on the radio you’d previously discovered  you would be most disgruntled as no one liked their heroes to besmirched by the masses.  With friends you’d spend hours introducing each other to different music and bands broadening  your horizons laughing an praising each other’s choices.

Music bonds friendships and on a trip to Bukit Lawang in Indonesia you and your colleagues spent happy evenings relaxing  by the river with a guitar singing raucously and much to my surprise I’ve learnt  John Denver became a  favourite.  You’ve also been known to entertain your niece and nephews and anyone else who was prepared to listen – with renditions of popular songs whilst waiting in the long queues at Alton Towers .

You loved Art and design – a great fan of art deco. You’d spend hours with your friend Ian discussing visual art introducing each other to different artists and styles.  You and I did that too.

It’s no surprise you loved literature you’d read anything from different cultures and genres –  you’d always provided me with recommendations.

One of your greatest passions was cycling, either participating or watching.  Cycling in all weathers to school in Beyton you probably set yourself time trails  You were a great fan of the Tour de France either as a on-route spectator or watching on screen wherever you were in the world.  As a family we would naively chose our riders at the beginning of the race and occasionally select the winner.

Where ever you went in the world you’re bike went with you – It gave you freedom, a means to explore and engage others in your passion.

In Banda Ache you were a founder of the Aceh Bicycle Community a group bringing the joy and pleasure of cycling to those devastated by the tsunami.

Whilst in Timor Leste you completed the Tour De Timor an annual international mountain bike race -five gruelling days of racing covering almost 500 km with significant ascents and descents a tough endurance event.  You said it was a bit tough and your legs and bottom were a bit sore at the end.

Dad was a keen cyclist and you we’re passionate about restoring his bike. We enjoyed many happy hours cycling in Suffolk – you tolerating my moaning on what we called the windy ride of death but was quite impressed at the speed I went through the speed restrictor at Stowlangtoft.

You loved tinkering with bikes and cars – you’d spend hours  with Morris 1000 and bike parts distributed all over the house, garage and conservatory but you never saw the mess.  I can hear you saying driving the Morris 1000 is  “real driving – you’ve got to drive through the gears – the “motor” is unforgiving. No fancy gadgets like modern cars – easy to drive and simple to maintain”.  

You were gifted, talented, clever, bright, intelligent, kind, caring, humble, friendly, helpful, fun, witty, humorous, gentle, thoughtful , reflective, supportive, impactful,  inspirational, creative, practical, a mentor,  a teacher, patient, tolerant, able to see all points of view.  You could relate to anyone whatever their background, you made them feel at ease. You always saw the best in people. You were the life and soul of the party and everyone wanted to be in your company.

We all have light and shade, sunshine and darkness  in our lives and sometimes it’s difficult to keep the balance.  Unfortunately the darkness and shadows were often present during your life and you were unable to see how beautiful, gifted and loved you were as you struggled with your mental health. 

You were so loved by all your family and friends and you have left a significant void in our lives – we will mend but it will take some time and the broken bits may not go back in exactly the same place.

Martin you may be gone but your spirit is still alive in the heart of anyone you shared in your life. You were my brother but you were also a brother to your friends.

Tina Canter