DSC_6433

DOA TAIZE DI SEMINARI

Ratusan siswa SMP dan SMA Seminari Mataloko, membanjiri kapela Santo Alfonsus Maria De Liguori, guna mengikuti doa Taize, Jumat (30/3/2018). Kendati berjumlah besar, Kapela di sisi barat SMA tersebut terasa hening. Para siswa khusuk berdoa diterangi cahaya lilin di altar dan sisi luar barisan bangku kapela itu.

Doa dalam suasana syahdu ini dipimpin oleh Fr. Stefanus F. Tangi, O’Carm, yang sedang menjalani Tahun Orientasi Pastoral (TOP) di seminari. Lantunan lagu-lagu pendek dengan syair dari penggalan Kitab Suci yang dinyanyikan berulang-ulang, diiringi petikan gitar, terasa bergema lembut, dan membawa para seminaris masuk ke dalam perjumpaan batin dengan Tuhan.

Alunan Musik dan Kitab Suci

Inti doa bercorak Taize adalah penggalan Kitab Suci yang dilantunkan berulang-ulang dalam bentuk lagu dengan iringan musik, dan dinyanyikan dengan hati, sehingga terasa lembut. Sabda Tuhan mengalir ke dalam batin, bergema di seluruh tubuh.

Jesus remember me, when You come into Your Kingdom – Yesus ingatlah akan daku, ketika Engkau masuk ke dalam KerajaanMu” (Lk.23:42). Ini salah satu contoh penggalan Kitab Suci yang dilantunkan. Sabda Tuhan ini dinyanyikan berulang-ulang di Kapela, dengan alunan musik yang lembut. Setelah itu ada saat hening, untuk meresapkan Sabda Tuhan. Indah sekali!

Di luar Kapela, Sabda itu diingat, didengungkan terus, dibawa ke dalam kehidupan. “Barangsiapa tinggal di dalam Aku dan Aku di dalam dia, ia berbuah banyak,” kata Yesus (Yoh.15:5). Doa bercorak Taize terasa membantu para seminaris tinggal di dalam Tuhan, di dalam SabdaNya yang membawa kekuatan bagi kehidupannya.

Dari sejarahnya, doa ini dikembangkan Br. Roger Schütz saat pecah perang dunia II. Dia mendirikan sebuah komunitas di Taize, sebuah desa kecil di timur Perancis. Komunitas ini hidup bernapaskan doa dan karya. Doa yang dikembangkan adalah penggalan Kitab Suci, yang dilantunkan dengan lembut. Ini dilakukan tiga kali sehari, yakni pagi, siang dan malam. Doa seperti ini menggelorakan cinta yang mempersatukan. “Cintailah, dan ungkapkanlah cinta itu dengan hidupmu”, itulah motto hidup Br. Roger. Komunitas itu menyatukan segenap umat kristiani (Katolik, Ortodox, Protestan).

Dahaga akan kasih yang mempersatukan di kalangan umat kristiani seakan terpenuhi di dalam komunitas ini, dan yang paling merasakannya adalah kaum muda. Mereka berdondong-bondong datang dari berbagai belahan dunia, dari berbagai gereja, termasuk dari Indonesia, untuk berziarah ke Taize.

“Seseorang yang singgah ke Taize bagaikan mendekati sumber mata air. Di sini seorang peziarah berhenti, melepaskan dahaganya sebentar, sebelum melanjutkan perjalanannya,” ujar Paus Yohanes Paulus II dalam kunjungannya ke Taize, 5 Oktober 1986.

Berakar pada Tuhan

Doa itu membuat kita berakar pada Tuhan, kata Paus Fransiskus, di hadapan ribuan jemaat yang memadati lapangan St. Petrus di Vatikan, 21 Maret 2018 lalu. “Tanpa akar, dapatkah sebuah pohon bertumbuh dengan baik, dapatkah tanaman berbunga? Tidak!” Hidup kristiani harus berbuah dalam kasih dan perbuatan baik, lanjut Paus. Untuk itu seorang Kristen harus berakar pada Tuhannya. “Jangan pernah hidupmu terpotong dari Yesus,” tegasnya.

Doa bercorak Taize bertujuan mengakarkan hidup pada Tuhan. Tentu, ini bukan corak doa satu-satunya, tetapi salah satu bentuk yang bisa membantu para seminaris bertekun dalam doa.

Sebetulnya, doa ini telah lama diperkenalkan di seminari. Namun, saban tahun kegiatan ini meredup. Fr. Even menghidupkannya kembali. “Kami sering melantunkan doa bergaya Taize di biara Karmel”, katanya.

Pengajar bahasa Jerman di SMA Seminari itu mengatakan, doa Taize mempunyai corak kontemplatif. Kekuatannya bukan pada perasaan atau pikiran, tetapi pada Sabda Tuhan yang dilantunkan berulang-ulang, dan membawa suasana hening.

Sabda Tuhan itu memperkaya khasanah batin. Gema Sabda Tuhan yang terus bergaung itu mengundang orang untuk datang menjumpai Tuhan dalam liturgi kudus dan doa-doa pribadi. Taize membantu orang beriman membangun doa-doa batin, berupa perulangan penggalan Sabda Tuhan. Pada gilirannya, doa-doa batin itu menjadi napas hidupnya. Itulah yang telah lama dipraktikkan para rahib dari Gereja Timur sejak abad pertengahan.

Para seminaris berharap doa bercorak Taize ini dijalankan secara teratur dan tetap di lembaga pendidikan calon imam ini. (Kontributor: Ari Djone, Naldy Muga, siswa kelas X. Editor: Nani).

IMG_20180404_173426 (3)

MENULIS: TERAPI YANG DAHSYAT

Pe­­­­­nulis itu i­ba­­­rat se­­­o­rang dokter yang me­nyem­buh­­­kan pa­sien (di­­ri­nya dan o­rang lain) de­ngan o­bat terapi yang ber­na­­ma tu­lisan. Re­sep­­­nya: me­­­­­­­nulis se­tiap saat.

Sekelompok sis­­wa SMA Se­­minari Ma­ta­­lo­ko berbincang dengan ba­­pak Ferdinandus Loke, ketua re­dak­si SA­DHA­NA, majalah bulanan Komisi Pembangunan Sosial Ekonomi Konferensi Wali Gereja Indonesia (PSE-KWI) Jakarta, Ra­bu ­(04/04/18) di English room Seminari. Alum­nus Seminari yang ke­rap disapa Edy ini berbagi pengalaman dan inspirasi bagi sejumlah seminaris tentang dunia tulis-menulis.

Pertemuan sing­kat ter­sebut mence­rah­kan se­mi­naris akan pen­ting­nya menulis. Dikisahkannya, pada mu­lanya karangan yang dibuatnya tidak dimuat dalam majalah-majalah yang dikirimnya. Na­mun, karena sikap pan­tang menyerah serta ke­gigihannya, ia men­jadi sa­lah satu o­rang yang sukses karena menulis. “Awalnya tak sekalipun bakat menulis nampak dalam diri saya. Namun, dengan pem­bia­saan diri, kita menjadi mampu. Ala bisa karena biasa”, papar Edy.

Menyembuhkan

Banyak infor­ma­si dan pengalaman ter­sim­pan da­­lam memori se­­tiap o­rang. Memori ter­­­­­­sebut mem­bentuk kom­­­­­­­plek­si­tas yang kuat se­hing­ga menjadi beban pikiran. “Pikiran kita di­pe­­nuhi de­ngan hal-hal ruwet yang kita terima dari pe­ris­tiwa hidup ki­ta. Se­ca­ra medis, keru­we­­tan ter­sebut bisa membawa beban, seperti frustasi, misalnya, yang pada gilirannya mendatangkan penyakit,”, jelas Edy.

Ia melanjutkan, “salah satu cara mengurai pikiran yang bertumpuk adalah me­­­­­­­­­­­nu­lis. Saat me­nu­lis, ki­ta me­­ra­pikan pi­ki­ran ruwet kita, membuatnya jadi teratur.”  Hal tersebut diakui Rm. Nani Songkares, Pr, teman kelas Edy di seminari, yang turut hadir dalam bincang-bincang tersebut. “Menulis itu menyembuhkan. Itu salah satu kesimpulan yang bisa ditarik dari pembicaraan pak Edy. Kita be­run­­tung didatangi oleh o­rang seperti pak Edy yang berpengalaman da­lam bidang tu­lis­-me­nu­lis, dan beliau sendiri sudah merasakan daya penyembuhan sebuah tulisan”, ujarnya.

Inspirasi Kehidupan

“Penulis hebat adalah mereka yang bisa me­manfaatkan apa dan siapa pun sebagai inspirasi  bagi tulisan me­reka”, kata Edy. Menurutnya, orang yang men­jadi inspirasi tulisan disebut nara­sum­ber ke­hi­dupan, se­ka­lipun itu adalah se­o­rang nenek tua mis­kin yang bekerja keras a­tau anak kecil yang be­gitu naif. Banyak hal yang sederhana berubah menjadi sesuatu yang luar biasa di ujung pena seorang penulis.

Ia mencontohkan, seorang pe­nu­­­lis hebat seperti An­drea Hirata me­mu­lai tulisannya dari pe­nga­laman sederhana semasa kecil te­tapi berilham bagi ba­­nyak orang. Dia mengolah pengalamannya menjadi novel berjudul Laskar Pelangi yang mentransformasi kehidupan orang lain.

Laskar Pelangi adalah novel pertama dari tetralogi buah pena Andrea Hirata. Dalam novel tersebut, pengalaman belajar di sebuah sekolah sederhana di Belitung disajikan sebagai tulisan yang banyak mengubah orang. Ada mahasiswa yang terlibat narkoba disembuhkan setelah membaca novel ini. Ada dokter gigi yang tak mau berputus asa, walaupun belum mendapat pekerjaan. Semangat pantang menyerah itu ditimbanya dari novel Laskar Pelangi.

 “Kita me­nulis  un­tuk orang lain. Jadi, apa yang ki­ta tulis harus di­pa­hami dan berdam­pak bagi orang lain. Kita tak per­lu meru­mit­kan tu­li­san kita dengan ka­ta-kata yang tinggi, me­­lainkan cukup de­­ngan tulisan sederhana, tetapi menarik dan menggugah pembaca. Keterampilan tersebut tidak datang begitu saja, tetapi melalui latihan yang tekun disertai semangat membaca yang tinggi,” ujarnya memotivasi siswa.

Edy melanjutkan, dengan menulis, kita dikenali banyak orang, sekalipun kita tidak mengenal mereka. “Saya banyak berjumpa dengan orang-orang yang tidak saya kenal, yang merasa tergugah oleh tulisan saya. Ada kebahagiaan tersendiri ketika mereka telah mengetahui saya melalui tulisan, saat saya menyebutkan nama. Menulis itu menembus batas ruang dan waktu.”

Kalimat te­ra­khir­­nya membangkit­kan se­ma­ngat para se­minaris yang hadir un­tuk se­gera terjun ke dalam dunia tulis menulis. Ti­dak sia-sia me­mang kedatangan so­sok asal Je­rebu’u ini. Ka­ta­-ka­tanya membuat se­mi­na­ris saat itu terpikat dan tergerak untuk terjun menulis.  “Luar biasa. Sung­­guh memberi banyak dorongan bagi saya untuk menulis”, tu­tur Jordy Mu­ga (17), siswa kelas XI, salah satu peserta pertemuan itu.



Peserta Pelatihan Menulis Membludak

Usai perbincangan yang inspiratif itu, OSIS SMP dan SMA Seminari menyelenggarakan pelatihan menulis, yakni Senin-Jumat (9-13/4/2018) untuk siswa SMP, dan Jumat-Minggu (13-15/4/2018) untuk siswa SMA. Pelatihan ini dibuat berkenaan dengan kegiatan Ujian Sekolah Bersandar Nasional (USBN) di SMP dan Ujian Nasional (UN) di SMA, di mana banyak ruang kelas di SMP dimanfaatkan untuk USBN, dan beberapa guru SMA menjadi pengawas ujian sehingga tidak bisa memroses pembelajaran.

Pelatihan yang sedianya diberikan hanya kepada 25 siswa peminat dari masing-masing jenjang dihadiri lebih dari seratus siswa, masing-masing 55 siswa SMP dan 50 siswa SMA. Kegiatan tersebut dipandu para guru bahasa di Seminari, yakni Rm. Nani Songkares, Pr, P. Anton Waget, SVD (guru bahasa Inggris), Rm. Alex Dae Laba, Pr (guru bahasa Indonesia), dan Rm. Sil Edo, Pr, selaku prefek/pamong SMP. Para formator itu dibantu para guru SMP dan para frater yang menjalani praktik pastoral di Seminari.

Hasil pelatihan tersebut adalah penerbitan “Koran” majalah dinding bercorak rubrik yang diperkenalkan sejumlah wartawan senior Kompas pada pelatihan menulis 2011 silam. Koran Kompas, demikian para siswa biasa menyebutnya, menghiasi sejumlah besar majalah dinding di emperan kamar makan SMP dan SMA, dengan ragam tulisan berupa berita, kisah inspiratif, dongeng dan cerpen. Berbagai topik seputar seminari dan kehidupan para seminaris disajikan.

Pelatihan berikutnya direncanakan Rabu-Minggu (9-13/5/2018) untuk para peminat yang belum sempat mengikuti kegiatan pelatihan April silam.

Kehadiran para penulis seperti Maria Matildis Banda beberapa waktu lalu berdampak amat besar. Para penulis alumni seminari juga menyulut api menulis yang luar biasa. Frans Padak Demon, dan Edy Loke adalah dua penulis alumni seminari yang baru-baru ini berbagi pengalamannya kepada para siswa. “Kita sangat mengharapkan para alumni, para penulis lain singgah dan memberi pencerahan bagi para siswa kita”, kata Rm. Beni Lalo, Pr, prefek/pamong SMA (Penulis: Piere Ralph, Doni Mere – siswa SMA kelas XI. Editor: Nani).

DSC_0429-jadi-pramuka-1024x614

PRAMUKA: “BANGUN KEMAH, BANGUN KADER ZAMAN NOW”

Pramuka (Praja Muda Karana) adalah kegiatan ekstrakurikuler rutin yang diterapkan di Seminari Mataloko. Kegiatan Pramuka siswa SMPS Seminari Mataloko selalu dijalankan setiap hari Jumat pukul 15:00-16:45 yang diisi dengan kegiatan-kegiatan yang telah terprogram. Kegiatan Pramuka pada hari Jumat (16/03) yaitu: latihan membangun kemah secara kreatif dengan menggunakan terpal dan tali Pramuka.

Cuaca panas dan rasa “kantuk” tidak menyurut semangat para siswa untuk berlatih. Kegiatan Pramuka hari ini adalah membangun kemah dari terpal. Kegiatan itu bertujuan supaya seminaris tetap bisa berkreasi di tengah zaman yang disebut “zaman now” ini. “Latihan membangun kemah menggunakan terpal ini melatih kreasi teman-teman agar tidak hanya menggunakan kemah jadi, melainkan kita pun bisa membangun kemah dari terpal,” ujar Gusto Nanga salah satu anggota Pramuka SMPS Seminari.

Latihan itu dihadiri oleh Pelatih Pramuka andalan Seminari yaitu Kak Anton. Beliau selalu memberi semangat bak “bumbu pedas” supaya seminaris tidak putus asa. Di sela-sela kegiatan itu Kak Anton menjelaskan proses dan cara kerja. Beliau katakan bahwa latihannya sangat mudah dengan cara membuat simpul pada setiap lubang di terpal lalu ikatkan tali sisa pada kayu tonggak lalu membentuk segi tiga.

SPORTIF DAN KERJA KERAS 

Pembangunan kemah dari terpal ini tidak hanya melatih adik-adik dan teman-teman untuk membangun kemah secara kreatif. Tetapi kegiatan seperti ini dapat membentuk seminaris menjadi seorang pekerja keras. Selain itu, pembangunan kemah dalam kegiatan Pramuka ini juga dapat menumbuhkan semangat sportifitas di antara mereka. Setiap regu dipacu untuk membangun kemah secara baik, cermat, dan cekatan. Oleh karena itu, kekompakan dan kerja sama merupakan hal yang harus ada dalam diri setiap peserta (anggota regu). “Mereka harus tetap sportif dan memiliki jiwa kerja keras. Dan masing-masing anggota di setiap regu tentunya memiliki barang bawaan masing-masing (yang diperlukan) sehingga tidak repot dalam kelompok!” ujar Kak Anton Ndiwa.

PENERAPAN DI ASRAMA

Kerapian, kerja keras dan kecekatan seminaris dalam setiap kegiatan Pramuka itu membantu mereka dalam menjalani hari-harinya di asrama. Di asrama mereka dibentuk dan membentuk diri lebih lanjut supaya menjadi pribadi yang disiplin, tanggung jawab, dan sportif. Sikap-sikap tersebut nyata dalam keseharian hidup mereka, mulai dari bangun tidur pagi pukul 04:30 sampai tidur malam pukul 21:15. Misalnya, mereka harus disiplin dan cekatan ketika harus bangun pagi, cuci muka-mandi, rapikan tempat tidur, dan kemudian menuju Kapela untuk berdoa dan merayakan Ekaristi. Beberapa kegiatan rutin pagi itu dijalani dengan disiplin yang tinggi dalam waktu 45 menit. Inilah buah-buah sederhana yang bisa langsung dirasakan oleh para seminaris SMP. Oleh karena itu, jelas bahwa kegiatan Pramuka itu penting dan harus diteruskan. (Yoga Kedang (IX A)/ Editor: Fr. Louis Watungadha).

IMG_20180404_193005

MEDIA: WHY MATTERS?

MEDIA: WHY MATTERS?
Bincang-Bincang bersama Frans Padak Demon

Siswa SMA Seminari Mataloko mengadakan bincang-bincang bersama Frans Padak Demon, Independent Consultant Voice of America (VOA), di Ruang Musik SMA, Rabu (4/4). Kegiatan 2 jam yang berlangsung seusai makan malam tersebut menjadi nostalgia tersendiri buat alumnus yang terdaftar sebagai siswa seminari tahun 1969 itu. “Saya terakhir kali berada di sini tahun 1975”, kenangnya. “Di SMP Seminari dulu, saya memulai Mading BIAS (Bimbingan Aspirasi Siswa)”.

Pertemuan tersebut menarik perhatian para seminaris, terutama ketika Frans berbagi pengalaman malang melintang di dunia jurnalistik dalam maupun luar negeri seperti, antara lain, di Harian Merdeka, Jurnal Ekuin, Harian Prioritas, The Mainichi Shinbun, Metro TV, NHK Radio & TV dan VOA.

“Reporter dan seorang imam terpanggil menjadi pembawa berita”, ujar penerima beberapa beasiswa luar negeri seperti di Jepang, Swedia dan Amerika tersebut. Sebagaimana seorang imam mewartakan kebenaran, “kewajiban pertama jurnalisme adalah memberitakan kebenaran”, tandasnya.

Itu sebabnya, jurnalisme yang baik cover both sides, seimbang, tidak berat sebelah. Demi menjamin kebenaran dalam pemberitaan, “seorang jurnalis perlu memiliki disiplin dalam melakukan verifikasi, mengecek dan terus mengecek kebenaran informasi”, lanjutnya, seraya menyebutkan 10 elemen utama jurnalisme, mengutip pendapat Bill Kovack dan Tom Rosentiel.

Frans banyak berbagi pengalamannya menahkodai VOA. Berbagai video tentang VOA ditayangkan. Video-video tersebut mengungkapkan kreativitas pemberitaan VOA, juga kecintaan masyarakat terhadap stasiun TV dan Radio itu. “VOA dicintai masyarakat karena kedalaman isi, dan integritas pemberitaan”. Frans adalah satu-satunya Direktur VOA penerima Gold Medal Award dari pemerintah Amerika Serikat, karena keberhasilannya memimpin stasiun TV dan Radio yang berpangkal di Amerika.

Media Penting

Di tengah banjir informasi yang dahsyat, di mana setiap warga bebas memberitakan apa saja lewat media-media sosial termasuk kebohongan, Frans menegaskan pentingnya media yang berintegritas dan berlandaskan kebenaran.

Media yang berintegritas itu “seperti cahaya di antara banjir berita, cahaya yang menerangi masyarakat. Masyarakat membutuhkan informasi yang benar. Informasi yang salah dapat menimbulkan pengambilan keputusan yang salah di tengah masyarakat”, tegasnya.

Frans mengutip tujuan pemberitaan seperti dikatakan Bill Kovack dan Tom Rosentiel, yakni menyediakan informasi yang diperlukan agar orang bebas dan bisa mengatur diri sendiri. Untuk itu berita harus berlandaskan kebenaran. “Bayangkan kalau berita itu salah atau menyesatkan, masyarakat jadi kacau. Yang sama kan, kalau imamnya memberitakan yang salah, ya umatnya masuk neraka”, candanya memicu gelak tawa.

Lebih jauh dikatakan, berita yang baik dan benar menimbulkan kepercayaan, trust, di tengah masyarakat. Kepercayaan amat penting dalam pewartaan. “Karena itu kita harus menghindari laporan tidak berdasar yang hanya mencari sensasi. Kalau content-nya bagus dan benar, kita tidak perlu membuat iklan, tidak perlu mencari pembelaan, masyarakatlah yang membela kita”, bebernya.

Selanjutnya, Frans menegaskan pentingnya memanfaatkan media digital bagi pewartaan. Dibeberkannya, pengguna HP saat ini mencapai 91 persen penduduk dewasa Indonesia, dan dari jumlah itu, 60 persen menggunakan Smartphone. Selain itu, 79 persen penduduk memanfaatkan internet setiap hari. Mengenai sikap terhadap media digital, 71 persen pengguna memandangnya positip. Ini peluang yang patut digunakan untuk pewartaan. Gereja perlu memanfaatkannya.

“Saya kira penting sekali kita masuk ke dalam media digital. Pewartaan saat ini tidak cukup dilakukan melalui mimbar. Paus Fransiskus saja aktif setiap hari melalui Twitter”, ungkapnya, sambil menampilkan cuitan terkini dari Paus Fransiskus mengenai Paskah. “Setiap hari saya mengikuti cuitan Paus”.

Frans menegaskan, pewartaan melalui media digital menjangkau sejumlah besar umat, dan mereka dapat mengaksesnya kapan dan di manapun. “Pewartaan melalui kertas tetap penting, tapi kertas entah dalam bentuk Harian, Majalah atau buku itu mahal, sedangkan pewartaan media digital dilakukan melalui udara, karena itu murah dan menjangkau banyak orang”, katanya.

Frans mengapresiasi peluncuran website seminari. “Itu keputusan yang tepat. Saya berharap siswa dilibatkan. Tadi saya membaca tulisan mereka di Mading. Content-nya bagus. Sayang kalau tidak dibaca banyak orang. Dengan melibatkan banyak siswa, setiap waktu kita dapat meng-update informasi melalui website”. Frans menganjurkan, website dilengkapi content bercorak audio, berupa renungan, misalnya, yang dapat diperbaharui setiap waktu (Penulis: Mario Degho. Editor: Nani).

WhatsApp Image 2018-03-03 at 00.08.55

VISITASI: RUTINITAS PENUH MAKNA

Begitu lonceng berakhirnya waktu sekolah berbunyi, para siswa seminari berbondong menuju kapel sebelah utara kompleks SMA.  Keheningan menyeruak dalam setiap dinding kapel. Masing-masing seminaris berlutut di bangku yang sudah diperuntukan bagi mereka. Inilah kegiatan visitasi yang rutin dijalankan seminaris setiap hari: berdoa dalam keheningan.

Visitasi berasal dari bahasa Latin visitare yang artinya mengunjungi. Visitasi adalah kegiatan rutin harian yang dilakukan seminaris berupa kunjungan kepada Sakramen Maha Kudus, guna mengucapkan terima kasih kepada Tuhan atas setengah hari yang telah lewat, dan meminta berkat untuk setengah hari yang akan dihadapi. Visitasi diadakan setiap hari pukul 13.10 pada hari sekolah dan pukul 12.00 pada hari Minggu atau hari libur.

Kadang-kadang sebagai ganti visitasi, siswa memanfaatkannya untuk berdoa di depan gua Maria yang berjarak 30 m ke arah selatan kapela. 

Penuh Makna

 “Visitasi itu sangat bermanfaat bagi saya. Setelah memeras otak di jam-jam pembelajaran di kelas, kita bisa menjernihkan otak kita dengan berdoa dalam keheningan. Kita mempersembahkan segala yang kita lakukan, dan menyerahkan apa yang akan terjadi pada Tuhan”, kata Bryan Beka, ketua OSIS SMA Seminari, saat ditemui pada Minggu (18/03/2018) usai kegiatan visitasi.

“Dalam visitasi kita merenungkan kegiatan yang telah dilakukan, agar kita tidak melakukan kesalahan yang sama di hari-hari ke depan”, ujar Martino Djong, siswa kelas X dari Maumere.

Visitasi memang berguna bagi seminaris. Banyak dari mereka terbawa suasana keheningan, yang sangat membantu perkembangan hidup rohani. Tanpa keheningan, orang tak dapat merenung dan berefleksi dengan baik, orang tak dapat menyampaikan keluh kesah di hadapan Tuhan. Padahal dengan menyampaikan keluh kesah, hati kita menjadi lega.

Dengan kemudahan teknologi saat ini, orang dapat mencari hiburan dengan berselancar dalam dunia maya dan tenggelam dalam media-media sosial. Hal tersebut tidak dilakukan oleh para seminaris. Sebagai gantinya, mereka melakukan visitasi.

“Visitasi adalah saat jeda, saat beristirahat dalam Tuhan”, tandas Rm. Benediktus Lalo, Pr, Prefek SMA, saat dimintai komentarnya mengenai kegiatan tersebut. “Di saat kita merasa lelah dan tak berdaya, Tuhan hadir dan membantu. Kalau para siswa terbiasa melakukan hal ini setiap hari, mereka pasti akan merasakan manfaatnya di dalam hidup. Mereka akan menjadi kuat saat mengalami tantangan dan krisis”, lanjutnya.

Visitasi adalah saat kita mendengarkan panggilan Tuhan yang berseru, “Marilah kepadaKu kamu semua yang letih lesu dan berbeban berat. Aku akan memberikan kelegaan kepadamu” (Mat.11:28).

Sebagai kegiatan rohani yang dilakukan setiap hari, visitasi dapat menjadi rutinitas. Tapi kalau dijalankan dengan sungguh, visitasi menjadi rutinitas penuh makna (Penulis: Carlos Feto. Editor: Nani).

CENDANA: INVESTASI JANGKA PANJANG SEMINARI

Tubuh para seminaris membungkuk membersihkan rerumputan di sekitar cendana dan menyirami cendana yang tumbuh subur di atas tanah. Pekerjaan ini dilakukan setiap sore setelah kegiatan istirahat siang, terutama saat musim panas. Saat musim hujan, para siswa membersihkan semak di sekeliling cendana, agar tidak menutupi tanaman tersebut. Pohon-pohon cendana ditanam di lahan sebelah kiri kuburan imam projo kevikepan Bajawa,  utara asrama SMA, yang sebelumnya terlihat kosong.

Pemanfaatan lahan kosong di sekitar kompleks seminari semakin giat dilakukan karena perkebunan Malanuza yang sebelumnya menjadi andalan seminari telah berdiri menjadi PT tersendiri. Pengelolaannya berada di bawah Keuskupan Agung Ende di Ndona.

 Pada pertengahan Desember 2015 RD. Sil Edo, selaku penanggungjawab usaha kebun seminari membeli 2.000 anakan cendana dari Kurobhoko. Sejak itu para siswa SMP dan SMA seminari menanam anakan tersebut pada lahan-lahan kosong sekitar kompleks sekolah dan merawatnya.

Tidak semua cendana hidup. Saat ini terdapat 600-an pohon yang masih bertahan karena sebagian lahan tidak mempunyai unsur hara yang cukup, yakni senyawa yang sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman, seperti cendana. Maklum, di atas lahan tersebut dahulu ditanami jeruk dan alpukat. Perawatan cendana diserahkan tanggungjawabnya kepada Osis SMA.

“Penanaman cendana merupakan salah satu bentuk dari penerapan Grand Design pada poin ketiga tentang pemanfaatan lahan-lahan produktif, “ ujar RD. Gabriel Idrus Praeses seminari, saat diwawancarai pada Sabtu (24/3/2018).

Grand Design  adalah pokok-pokok panduan pembenahan seminari menyongsong 100 tahun berdirinya  pada tahun 2029 mendatang. Pokok-pokok panduan  tersebut, yang ditetapkan setelah diadakan analisis keadaan seminari dengan metode SWOT, adalah: Bidang Manajemen Mutu Pendidikan, Bidang Sarana Prasarana, Bidang Pengelolaan Aset dan Usaha Produktif, Bidang Penataan Lingkungan, dan Bidang Penggalangan Dana.

Diharapkan, cendana-cendana dapat memberikan hasil, yang menunjang pembenahan lembaga seminari ini menyongsong satu abad berdirinya dan sesudahnya. Tentu saja, melalui penanaman pohon cendana, para siswa terlibat aktif mencintai dan melestarikan lingkungan secara produktif.

Juga para siswa dapat belajar berbagai nilai yang memperkuat kepribadiannya. “Tanah itu pintu masuk penumbuhkembangan nilai-nilai“, kata RD. Benediktus Lalo pada suatu kesempatan.

Dengan demikian cendana adalah investasi jangka panjang, baik secara ekonomis, maupun bagi pengembangan kepribadian calon imam (Penulis: Martino Djong. Editor: Nani).

KECEMASAN, TOTALITAS, DAN HARAPAN

Cabang Meluas, karena Akar Mendalam – Kilas-Balik (2)

KECEMASAN, TOTALITAS, DAN HARAPAN

Berpindah ke tempat baru dengan fasilitas lebih memadai tidak serta merta membuat hidup dan pergulatan pendidikan mudah. Ada berbagai tantangan baru yang mesti dihadapi.

Butuh Keberanian dan Tekad Baja

Ketika masih di Sikka, seminari berada di tengah kampung, dengan atmosfir Katolik yang kental, karena semua penduduk beragama Katolik. Di Mataloko seminari berada di tempat yang sunyi. Beberapa perkampungan sekitar, seperti Dolu, Wogo atau pun Belu tersembunyi di rerumpunan bambu.

Kalau di Sikka, sejak sebelum tahun 1600 orang sudah mengenal agama Katolik, di Ngada umumnya, dan Mataloko khususnya, agama Katolik baru diperkenalkan tahun 1920 dengan kedatangan P. Ettel, SVD. Jadi ketika seminari didirikan di Mataloko, baru 9 tahun agama Katolik diperkenalkan di wilayah itu. Sebagian besar umat belum beragama Katolik. Para misionaris lebih dilihat sebagai orang “kulit putih” daripada sebagai imam atau biarawan.

Bahwa seminari diletakkan di tengah bangsa yang sebagian besar belum mengenal agama Katolik, rasanya itu sebuah pertaruhan besar. Lagi-lagi di sini keyakinan kedua tokoh, Mgr. Vestraelen, SVD, dan P. Frans Cornelissen, SVD, bahwa bangsa Flores itu gens naturaliter christiana serta mempunyai cita-rasa religius dan moral yang tinggi, dan tekad baja yang total untuk menyelenggarakan pendidikan calon imam yang bermutu berperan besar di balik keberanian ini.

Belakangan, P. Cornelissen, SVD tegas menulis, “Orang sangat keliru kalau menganggap bahwa seminari harus berada di tengah-tengah masyarakat Katolik” (50 Tahun Pendidikan Imam di Flores, Timor dan Bali, hal. 33).

Menjaga Kesehatan Siswa

Tantangan lain yang dihadapi adalah kesehatan siswa. Kala itu Flores dibagi dalam 5 wilayah administratif kepemerintahan (Onderafdeling), dan di setiap Onderafdeling ditempatkan seorang dokter. Namun tak jarang dokternya kurang dari lima, bahkan sering hanya dua. Di Bajawa sendiri dokter sering tidak ada. Kunjungan dokter setiap bulan datang dari Ende. Tidak selalu seminari mendapat pelayanan medis dari seorang dokter yang kebetulan berkunjung ke Bajawa itu.

Karena itu banyak hal diupayakan sendiri, agar kesehatan para siswa bisa ditangani. Biasanya seorang imam atau suster yang sedikit banyak mengenal obat-obatan ditugaskan untuk menangani kesehatan siswa.

Masalahnya adalah kalau para siswa menderita penyakit berbahaya, seperti radang paru-paru, atau pun TBC. Sering kali mereka tidak ditangani semestinya, atau terlambat penanggulangannya. Akibatnya, beberapa siswa tidak tertolong. Ada yang meninggal di seminari, yang lain meninggal di rumah. Itu beberapa catatan pedih P. Frans Cornelissen, SVD.

Bukan Mendidik Imam Kelas Dua

Namun semua tantangan itu tidak menyurutkan semangat untuk terus mendidik para calon imam. Dari tahun ke tahun jumlah siswa makin bertambah, begitupun jumlah pendidiknya.

Seluruh proses pendidikan dijalankan dengan kesungguhan dan totalitas yang amat besar. Pendidikan Gymnasium ala Eropa diterapkan, dengan bahasa Belanda sebagai bahasa pengantarnya. Ini merupakan sistim pendidikan seminari menengah di Belanda (Klein Seminarie) untuk mempersiapkan para pemuda melanjutkan studi di seminari tinggi (Groot Seminarie).

Mengapa proses pendidikan seperti ini yang dipilih dan dijalankan dengan segenap totalitas, padahal yang dididik adalah calon imam pribumi? Catatan P. Frans Cornelissen, SVD membantu memahami pergumulannya.

Dalam kata sambutannya pada Upacara Peresmian Seminari 15 September 1929, P. Frans Cornelissen, SVD, mengutip Paus Benediktus XV dalam ensiklik Maximum Illud yang mengatakan bahwa para rohaniwan pribumi harus dididik sebaik-baiknya, tidak hanya sekedar diberi pengetahuan elementer. Pendidikan yang diberikan haruslah “lengkap sempurna dan utuh dalam semua seginya sebagaimana lazimnya diberikan dalam pendidikan imam-imam dari bangsa-bangsa yang sudah maju” (50 Tahun Pendidikan di Flores, Timor dan Bali, 35).

Ini merupakan sikap yang dipilih untuk mengembangkan proses pendidikan di seminari, sebuah sikap yang sangat maju karena beberapa hal. Pertama, cukup banyak seminari yang dikembangkan di Asia dan Amerika Latin memilih mendidik imam-imam pribumi sebagai imam kelas dua. Ada banyak contoh yang dikemukakan. Kedua, masa penjajahan Belanda saat itu menganggap wajar perlakuan kelas dua bagi pendidikan kaum pribumi. Tapi P. Cornelissen memilih menerapkan proses pendidikan yang sama kualitasnya dengan proses pendidikan calon imam di negara maju.

Itu sebabnya pilihan ini mewarnai atmosfir pendidikan di seminari sejak awal. Karena itu imam yang akan dihasilkan adalah imam dengan proses pendidikan, hak, kedudukan dan kualitas yang sama, imam sebagai sesama saudara.

Buah-Buah Pertama

Pertengahan tahun 1932 para siswa angkatan pertama yang berawal dari Sikka menamatkan pendidikannya di seminari menengah. Itulah buah-buah pertama hasil pendidikan di seminari ini.

Dengan pemikiran bahwa pendidikan calon imam pribumi haruslah pendidikan yang “lengkap sempurna dan utuh dalam semua seginya”, maka tanggal 8 Januari 1932, diputuskan untuk mendirikan sebuah seminari tinggi, agar para calon imam dapat melanjutkan studi filsafat dan teologi. Seminari tinggi itu didirikan di Mataloko. Sebuah rumah bertingkat dua bagi seminari tinggi itu dikerjakan tahun 1932 dan selesai tahun 1933 dengan nama rumah Arnoldus, atau lebih dikenal di kalangan masyarakat sebagai Rumah Tinggi (Kemah Tabor saat ini). Mereka yang melanjutkan pendidikan ke seminari tinggi itu diterima sebagai anggota novisiat SVD, sesama saudara sederajat dengan para anggota serikat dari Eropa.

Dari angkatan pertama novisiat SVD yang berjumlah 7 orang itu (yang merupakan penggabungan angkatan 1926 dan 1927 di Sikka), 4 orang menjadi imam, yakni Lukas Lusi dan Marsel Seran dari angkatan 1926, dan Gabriel Manek serta Karel Kale Bale dari angkatan 1927. Dari ke-4 orang itu, seorang menjadi Uskup, yakni Mgr. Gabriel Manek, SVD, sebuah pembuktian nyata bahwa seminari yang pada awal mula dibangun dengan sederhana menghasilkan buah yang matang dengan  mencapai pucuk pimpinan tertinggi gereja lokal (Nani).

RATUSAN SISWA IKUTI TESTING MASUK SEMINARI

Ratusan siswa SD di Kabupaten Ngada dan Nagekeo mengikuti testing masuk seminari hari Jumat-Sabtu (16-17/3/2018) di SMP seminari. Kegiatan rutin tahunan tersebut terbagi dalam dua sesi, yakni tes wawancara dan tes tertulis, masing-masingnya berlangsung sehari.

“Kita patut bersyukur pada Tuhan karena dari tahun ke tahun banyak anak terpanggil untuk menjadi imam. Motivasi panggilan akan terus dimurnikan melalui proses pendidikan di seminari. Terima kasih karena orangtua masih mempercayakan anak-anak kepada kami untuk dididik di sini”, kata Rm. Benediktus Lalo, Pr, ketua Panitia Penyelenggara Testing, ketika memberikan pengarahan awal hari pertama.

Kurikulum Seminari

Dalam pengarahan tersebut Rm. Beny menggambarkan secara umum kurikulum seminari yang berintikan lima S (sanctitas, scientia, sapientia, sanitas, socialitas) yang telah dikembangkan sejak awal berdirinya, dan karena itu tahan uji. “Di tengah kekacauan orientasi moral yang melanda masyarakat kita, di seminari kita tetap menjalankan pendidikan hati nurani. Itulah sapientia”, ujarnya, menjelaskan salah satu dari lima S tersebut.

Kurikulum tersebut terejawantah dalam aturan harian yang menata kehidupan seminaris dari waktu ke waktu, mulai bangun pagi pukul 4.30 sampai tidur malam jam 21.30.  “Setiap detik dimanfaatkan untuk proses pendidikan”, katanya. Dengan demikian masing-masing kegiatan ada waktunya. “Termasuk ada waktu untuk keheningan. Pagi hari setelah Misa, kalian harus melakukan berbagai aktivitas dalam keheningan. Bisa?”, tanyanya kepada peserta testing, yang segera dijawab lengkingan penuh semangat, “Bisaaa!” “Juga ada waktu untuk kerja tangan, untuk  bekerja di kebun. Bisa?” “Bisaaa!!”

Opus Manuale

Sehubungan dengan kerja tangan, di Englishroom seminari, Rm. Beny lebih jauh menjelaskan, tanah adalah salah satu unsur penting pendidikan. “Anak harus bersentuhan dengan tanah, karena dari tanah anak belajar nilai-nilai”, katanya, sambil menyebutkan ungkapan opus manuale – kerja tangan – , sebuah konsep tua, yang terasa makin redup dalam proses pendidikan kita. “Bukan kerja tangannya yang menjadi fokus, tetapi semangat yang bisa ditimba dari situ, yakni pengorbanan, kerendahan hati, kerja keras, tanggungjawab, yang bisa siswa dapatkan saat berkontak dengan tanah”.

Pendidikan Karakter yang Kental

Dari beberapa wawancara yang dilakukan bersama orangtua siswa di hari kedua, terungkap kepercayaan terhadap seminari Mataloko bukan tanpa alasan. Pembentukan karakter menjadi salah satu penggerak utama mereka. “Orang pintar banyak, tetapi orang pintar dengan karakter yang bagus jarang. Karena itu pendidikan karakter sangatlah dibutuhkan,” kata Benediktus Naru, orangtua salah seorang siswa peserta testing. Dia mengapresiasi pendidikan karakter yang berlandaskan lima S di seminari. “Mudah-mudahan anak saya berkembang dengan matang di sini”, harapnya. Hal senada disampaikan Dius Taso, orangtua siswa asal Mbay. ”Sebagai orangtua saya bertanggungjawab terhadap perkembangan kepribadian anak. Saya berharap pilihan menyekolahkan anak di sini tepat”, katanya.

Ditemui di sela-sela testing, Rm. Beny mengucapkan terima kasih kepada para orang tua siswa dan para pastor paroki. “Sentuhan motivasi sudah dilakukan di keluarga-keluarga dan juga oleh para imam. Banyak siswa tertarik masuk seminari karena dorongan dan keteladanan para imam di lapangan” tandasnya.

Pada hari pertama peserta dibagi dalam beberapa kelompok untuk sesi wawancara. Pada hari kedua dilaksanakan tes tertulis dengan 3 mata uji yakni berpikir verbal, baris bilangan, dan kosa-kata. Untuk peserta SMP calon KPB (Kelas Persiapan Bawah) ditambahkan bahasa Inggris (Kontributor: Mario Degho. Editor: Nani).

DARI SIKKA KE MATALOKO

Cabang Meluas, karena Akar Mendalam – Kilas-Balik (1)
DARI SIKKA KE MATALOKO

Berdirinya Seminari Menengah St. Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko tidak terpisahkan dari dua tokoh besar, yakni Mgr. Arnold Vestraelen, SVD, Vikaris Apostolik Kepulauan Sunda Kecil (1922-1932) dan P. Frans Cornelissen, SVD.

Mgr. Vestraelen, SVD mendapat tantangan luar biasa dari para Vikaris Apostolik dan Perfek Apostolik se Indonesia ketika ia mengutarakan maksudnya untuk mendirikan sebuah seminari di Flores, dalam sebuah konferensi di Batavia.

Penolakan yang jauh lebih besar datang dari para misionaris di Kepulauan Sunda Kecil. Baru sebagian kecil masyarakat Flores dipermandikan, sebagian besar masih kafir. Karena itu mendirikan sebuah seminari di tengah masyarakat yang sebagian besar kafir itu hampir terasa mustahil. Itu keberatan utama mereka. Maklum banyak dari para misionaris ini adalah pindahan dari tanah misi di Togo, Afrika. Di sana mereka gagal mendirikan seminari karena alasan serupa.

Namun Mgr. Vestraelen, SVD teguh dengan keyakinannya, bahwa bangsa Flores itu gens naturaliter christiana, bangsa yang secara alamiah Kristen. Bangsa ini mempunyai citra-rasa religius dan moral yang tinggi, dan itu menjadi alasan kuat baginya mendirikan seminari.

Ketika P. Frans Cornelissen, SVD tiba di Indonesia tahun 1925, gayung bersambut. Mgr. Vestraelen segera memerintahkan P. Frans mendirikan seminari. Dia tahu watak P. Frans Cornelissen, dan dia tahu pula bahwa imamnya itu telah menyelesaikan kursus guru bantu dan kursus Kepala Sekolah di Belanda, dan baginya bekal itu cukup untuk tugas yang dia sendiri tidak bisa gariskan.

Karena itu ketika P. Frans Cornelissen kebingungan bagaimana memulai proses pendidikan calon imam, Mgr. Vestraelen berkata, “Ajarkan apa saja yang kau anggap berguna. Anda kan guru, anda tahu lebih baik daripada saya”.

Dari yang Kecil
Dengan kepercayaan begitu besar dari Bapak Uskup, P. Cornelissen memulai karya besar ini. Tempat yang dipilih adalah Sikka, sebuah kampung kecil di pantai selatan Maumere, dengan penduduk 1000 orang.

Alasan terpilihnya Sikka sebagai tempat dimulainya seminari ini sederhana saja. Saat itu paroki Sikka tidak mempunyai pastor tetap. Sementara itu di Sikka pastoran peninggalan para imam Jesuit itu besar, terbuat dari kayu jati yang kuat. Jadi kalau seminari dimulai di Sikka, pastor pembina bisa sekaligus merangkap pastor paroki, dan pastoran besar itu dapat langsung dijadikan asrama seminari.

Dengan persiapan dan fasilitas seadanya, seminari itu diresmikan tanggal 2 Februari 1926, oleh Mgr. Vestraelen, SVD. “In het land der blinden is ḗḗn-oog koning! – seorang bermata satu di antara orang-orang buta, dialah raja”, ungkap P. Cornelissen, untuk melukiskan bagaimana karya besar ini dimulai dengan serba sederhana, dan dilakukan nyaris seorang diri.

Itulah uniknya karya Tuhan. Tentang awal yang serba kecil dan sederhana ini, P. Tarsis Djuang, SVD, dan P. Elias Doni Seda, SVD, menulis catatan menarik berkenaan dengan 60 tahun seminari, 15 September 1989: “Hampir setiap orang dapat melakukan hal besar dalam dan bagi suatu peristiwa besar. Tapi hanya Tuhanlah yang melakukan hal besar dalam peristiwa kecil. Karya penyelamatanNya adalah karya besar, tapi dilaksanakan lewat inkarnasi, suatu peristiwa yang begitu kecil dan hina”.

Berpindah ke Mataloko
Tahun 1928, setelah dua tahun berada di Sikka, jumlah siswa membengkak dari 7 orang angkatan pertama menjadi 26 orang. Sebuah tanda jelas, yang menunjukkan suburnya panggilan di Flores, sekaligus mencengangkan sebagian misionaris yang pesimis.

Namun, sebuah tantangan besar menghadang. Pastoran tidak bisa diperluas lagi, dan Sikka tidak mempunyai tanah luas dan kosong untuk membangun sebuah kompleks seminari. Harus dipilih tempat yang baru, di luar Sikka. Di mana?

Ada banyak pro kontra di kalangan misionaris. Namun akhirnya P. Jan van Cleef, SVD dalam jabatannya sebagai Provikaris, meyakinkan para misionaris bahwa Mataloko adalah tempat yang paling cocok sebagai lokasi baru bagi seminari. Iklimnya sejuk, di ketinggian lebih dari 1000 m di atas permukaan laut. Di sana nyamuk tak bertahan hidup dan karena itu para siswa bisa terhindar penyakit malaria. Selain itu, tanah di Mataloko luas dan subur, sehingga dapat diusahakan kebun untuk makanan sehari-hari.

Maka pada tanggal 15 Juli 1928 Mgr. Vestraelen meletakkan batu pertama pembangunan kompleks seminari di Mataloko. Setahun kemudian, pada liburan besar bulan Juni-Juli 1929, mulailah perpindahan seminari dari Sikka ke Mataloko. Pada tahun itu juga beralih tahun ajaran baru dari bulan Januari ke Agustus, sehingga pada bulan Agustus diterima lagi murid baru. Total siswa seminari pada tahun ajaran baru 1929 berjumlah 30 orang.

Tanggal 15 September 1929 dilangsungkan misa pontifical pemberkatan sekaligus peresmian seminari ini oleh Mgr. Arnold Vestraelen, SVD. Hadir saat itu sejumlah tokoh Pemerintah dan Gereja.

Catatan paling lengkap mengenai peristiwa bersejarah itu dibuat oleh P. Henricus Leven, SVD, Provikaris saat itu. Ia menuliskan laporan lengkap mengenai pembicaraan-pembicaraan saat itu, baik oleh P. Frans Cornelissen, SVD, seorang siswa seminari bernama Gabriel Manek, Mgr. Arnold Vestraelen, SVD, maupun Asisten Residen Flores, C.A. Bosselaar.

Semua pembicaraan bernada syukur dan optimisme yang besar, bahwa seminari ini akan tetap eksis, apapun krisis yang dihadapinya, dan akan berkiprah jauh ke depan, tidak hanya demi kepentingan Gereja, tetapi juga bangsa dan tanah air.

Sebagian kata-kata P. Cornelissen, SVD layak digemakan kembali: “Kita berdiri lagi di sini untuk menunjukkan salah satu dari vitalitas yang tak tertahankan dari Gereja Katolik, yang sering mencengangkan mereka yang berbeda pikirannya. Kadang-kadang ketika ia (gereja) seolah-olah melihat bahwa kehancurannya sudah dekat, ia menegakkan dirinya kembali dan setelah kesulitan yang tak henti-hentinya ia pun kembali dengan penuh kejayaan”.

Tentang seminari ini ia mengungkapkan keyakinannya: “Kami memiliki harapan yang teguh, bahwa dari sekolah ini akan muncul para pemimpin bangsa yang berasal dari Flores dan Timor” (Daniel Dhakidae, dalam Percik-Percik Kenangan Alumni, hal.230-233) (Nani – Disarikan dari buku In Dei Providentia).

DSC_9598

MERIAH PENCANANGAN HARI ALUMNI DAN PELUNCURAN WEBSITE SEMINARI

            Pencanangan Hari Alumni dan peluncuran website resmi Seminari oleh Praeses Seminari Menengah Santo Yohanes Berkhmans Todabelu Mataloko, Rm. Gabriel Idrus, Pr,  di aula rekreasi, pada Minggu (11/3/2018) berlangsung meriah. Diapiti puluhan alumni perwakilan berbagai angkatan, dengan iringan bunyi sirene, Rm. Idrus menabuh gong pencanangan Hari Alumni dan peluncuran website tersebut. Tepuk tangan dan sorak sorai seluruh civitas academica Seminari menggemuruh di aula yang dahulu digunakan sebagai kamar tidur siswa itu.

Hadir pada kegiatan tersebut para alumni senior seperti Soter Parera, Frans Mola, Gius Pello, Bas Wea, Johny Watu, Sensi Sengga, Rm. Daniel Aka, Pr, dan sejumlah alumni medior dan junior lainnya, yang membaur bersama para formator, guru dan siswa.  Mans Mari yang membantu design dan pengerjaan website hadir bersama istri dan kedua buah hatinya.

Bangun Kekuatan Bersama Menuju Satu Abad Seminari

Dalam sambutannya Rm. Idrus menjelaskan, penetapan Hari Alumni jatuh pada tanggal 13 Maret, hari lahir santo Yohanes Berchmans, pelindung seminari. “Pencanangannya hari ini, 11 Maret, karena merupakan hari Minggu. Namun ke depan, Hari Alumni dilakukan setiap tanggal 13 Maret, apapun harinya”, tegasnya.

Penetapan Hari Alumni mempunyai narasinya. Bermula dari bisik-bisik di kalangan alumni dari waktu ke waktu, lalu menggema semakin kuat ketika kapela SMP yang menjadi ikon seminari direnovasi dan diresmikan 13 Maret 2017 lalu. Gagasan itu ditanggapi serius oleh para formator, yang memutuskan pencanangan Hari Alumni 11 Maret ini.

Rm. Idrus melanjutkan, Hari Alumni dirasa perlu karena berbagai alasan. Selain kesempatan bernostalgia dan membaca realitas seminari saat ini, “Hari Alumni adalah kesempatan kita membangun mimpi bersama ke depan, dalam kerangka Grand Design Menuju Satu Abad Seminari, yang dipetakan dalam lima bidang sekaligus, yakni: bidang Manajemen Mutu Pendidikan, bidang Sarana dan Prasarana, bidang Pengolahan Aset dan Usaha Produktif, bidang Penataan Lingkungan, dan bidang Penggalangan Dana. Kalau kekuatan itu kita bangun bersama, kita yakin pasti bisa mewujudkan mimpi-mimpi kita”.

Keyakinan tersebut, lanjut alumnus seminari 1982/1983 -1984/1985 itu, bukan tanpa dasar. “Sudah muncul berbagai gerakan alumni, mulai dari alumni se-Jabodetabek, komunitas-komunitas alumni dari masing-masing angkatan yang menyumbang dengan masing-masing cara melalui komunikasi dalam media-media sosial, sampai gerakan perorangan, seperti yang dilakukan Bapak Agus Dhae yang membantu olah musik vokal, dan, hari ini, Bapak Mans Mari yang membantu design website kita”.

Tentang peluncuran website seminari, imam kelahiran 24 Maret 1965 itu menyebutkan, hadirnya website memenuhi kerinduan seminari akan adanya dokumentasi yang bisa disimpan dan diakses kembali, seraya mengisahkan pengalaman getirnya  berkenaan dengan dokumentasi perayaan 75 tahun seminari tahun 2004 lalu yang nyaris tak berbekas.

Ia mengucapkan terima kasih atas pengorbanan dan kerja keras Mans Mari dan  teman-teman untuk menyiapkan website seminari. Ia menyebutkan beberapa karakter khas website tersebut, seperti kemudahan mengakses melalui aplikasi android, keterkaitan utuh lembaga sekolah dan seminari, adanya terjemahan dalam bahasa-bahasa dunia, termasuk bahasa Latin, kemudahan pendaftaran alumni dan lamaran siswa baru. “Tahun ini kita merayakan Hari Alumni dengan peluncuran website sebagai kegiatan unggulan. Setiap tahun kita harus bisa menentukan kegiatan unggulan dalam perayaan Hari Alumni”, tegasnya, sebelum menyampaikan terima kasih pada alumni yang hadir.

Berbagi Pengalaman

Pada kesempatan tersebut beberapa alumni berkenan berbagi pengalamannya selama dididik di seminari. “Saya bahagia sekali seminari telah membekali saya sekian sehingga saya banyak mengalami kemudahan belajar dan bekerja”, ujar Soter Parera, yang menyelesaikan masternya di Amerika. “Seminari membekali orang dengan basis ilmu dan moral yang kuat”, kata Frans Mola di akhir syeringnya. “Kalau Obama mengatakan Together we can dan disambut rakyat Amerika, Yes, we can, kita pun sangat mampu menggalang kekuatan bersama”, kata Gius Pello, bintang sepakbola seminari tahun 1960-an. “Kita sangat bisa bersaing”, ungkap Armin Dhae, alumnus angkatan 1992-1998. “Berbagai keterampilan yang saya dapatkan adalah hasil didikan seminari”, tegas Agus Dhae.

Alumni lainnya seperti Sensi Sengga, Stanis Kesu, dan Rm. Daniel Aka, Pr, menyajikan kisah-kisah yang tak kalah menarik, juga konyol dan lucu: tentang sandal lili yang lebih berharga dari sandal jepit, tentang bolos yang “kudus” dan pertanyaan berapa banyak tikungan di jalan, atau tentang naik traktor kebanggaan. “Why not the best? Itu pertanyaan yang membangun suasana penuh persaingan saat ini. Kita berfokus pada proses pendidikan yang membuat semua siswa kita bertumbuh”, kata Rm. Dani di akhir syeringnya.

Mans Mari membingkai syeringnya dengan sebuah refleksi menarik tentang berbagai pembatasan yang dialaminya di seminari. “Ketika banyak orang di luar diberi kebebasan melakukan dan mengakses berbagai hal, pembatasan di seminari sering dianggap kemunduran. Tapi bagi saya, kalau kita hendak melompat sejauh mungkin, kita harus mundur jauh sekali. Kalau kita ingin membangun gedung yang tinggi, kita harus menanam dasar sedalam-dalamnya. Kalau kita ingin berkembang tanpa batas, kita harus tahu batas. Pembatasan itu penting sekali, karena punya daya dobrak yang luas”, katanya seraya berbagi pengalaman mengembangkan diri dan melayani dalam dunia digital yang tak terbatas.

Rm. Praeses menutup seluruh perbincangan dengan penyampaian mengenai pembangunan asrama SMP. “Pertengahan Juni 2018 ini gedung utama asrama akan dibongkar, lalu dibangun baru berlantai dua. Kita berharap dalam satu tahun bangunan itu selesai”, ujarnya (Nani).